Bersiap Hadapi Sengketa Hasil Pemilu, KPU Identifikasi Persoalan Hukum
KPU telah membentuk tim penyelesaian sengketa hasil Pemilu 2024 yang diperkirakan meningkat ketimbang pemilu sebelumnya.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum mulai meminta jajarannya di semua tingkatan untuk mengidentifikasi persoalan hukum yang muncul dalam rekapitulasi suara di provinsi, kabupaten/kota, hingga tempat pemungutan suara. Langkah tersebut dilakukan untuk menghadapi potensi gugatan sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi yang diperkirakan akan meningkat dibandingkan dengan perkara serupa pada pemilu sebelumnya.
Anggota KPU, Mochammad Afifuddin, mengungkapkan, KPU telah membentuk tim penyelesaian sengketa atau Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif di MK. Tim tersebut terdiri dari jajaran KPU dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota serta tim eksternal yang melibatkan kuasa hukum.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Meskipun gugatan PHPU baru bisa diajukan setelah hasil Pemilu 2024 ditetapkan pada 20 Maret mendatang, KPU mulai mengidentifikasi dan menginventarisasi permasalahan hukum yang terjadi di tingkat provinsi, kabupaten/kota, termasuk kejadian-kejadian yang terjadi saat pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS). KPU RI bahkan telah meminta jajaran KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota mempersiapkan bukti-bukti yang dibutuhkan untuk menghadapi gugatan sengketa hasil pemilu tersebut.
”Seluruh catatan kejadian dan permasalahan dalam tahapan pemungutan hingga rekapitulasi suara kami siapkan, termasuk formulir C hasil yang menjadi bukti otentik perolehan suara peserta pemilu di TPS,” ujar Afif di Jakarta, Rabu (6/3/2024).
Di sisi lain, kata Afif, KPU juga akan menggelar simulasi untuk menyiapkan skema penanganan PHPU di MK. Tak hanya itu, KPU juga akan menyusun prosedur standar operasi internal untuk mengatur penanganan perkara sengketa hasil pemilu. Dengan demikian, diharapkan jajaran KPU akan lebih siap membedah permohonan PHPU dan menjalankan gelar perkara.
”Posisi KPU, bertahan pada siapa yang mendalilkan dia harus membuktikan. Kami bertahan atau menunjukkan bukti-bukti untuk meyakinkan bahwa yang kami lakukan sudah sesuai aturan,” katanya.
Pada Pemilu 2019 juga gugatan sengketa hasil pemilu yang diterima MK sebanyak 340 perkara. Jumlah tersebut menurun dibandingkan dengan gugatan PHPU pada Pemilu 2014 yang mencapai 767 perkara.
Seluruh catatan kejadian dan permasalahan dalam tahapan pemungutan hingga rekapitulasi suara kami siapkan, termasuk formulir C hasil yang menjadi bukti otentik perolehan suara peserta pemilu di TPS.
Sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, permohonan sengketa hasil pemilihan presiden diajukan paling lambat tiga hari kerja setelah KPU menetapkan perolehan suara. Sementara untuk pemilihan legislatif, sengketa hasil diajukan paling lambat 3x24 jam atau tiga hari setelah penetapan perolehan suara oleh KPU.
Diprediksi meningkat
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ihsan Maulana, memperkirakan, gugatan sengketa hasil pada pemilu kali ini akan meningkat. Sebab, ada sejumlah persoalan yang muncul saat tahapan pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara yang belum tuntas. Permasalahan itu biasanya akan dibawa oleh caleg dan peserta pemilu ke MK.
Salah satu yang diperkirakan akan digugat ke MK adalah temuan penggelembungan suara salah satu partai politik peserta Pemilu 2024. Sebab, menurut Ihsan, persoalan ini telah merugikan parpol lain, khususnya parpol yang suaranya diduga dicuri. Praktik manipulasi suara tersebut juga akan berpengaruh terhadap perolehan kursi dan pemenuhan ambang batas parlemen.
”Penggelembungan suara yang tidak terlesesaikan di proses rekapitulasi berpotensi dibawa ke MK agar bisa dikoreksi,” ujarnya.
Selain itu, kata Ihsan, rekapitulasi suara yang belum tuntas juga kemungkinan akan dipersoalkan. Tenggat tahapan rekapitulasi mengakibatkan persoalan yang muncul saat penghitungan di tingkat kecamatan tidak terselesaikan berlanjut ke kabupaten/kota kemudian provinsi hingga pusat. Permasalahan tersebut sering kali tidak mendapatkan solusi sehingga caleg merasa dirugikan.
Sebab, KPU biasanya mengejar tenggat rekapitulasi sehingga permasalahan cenderung diakumulasi di tingkat rekapitulasi lebih tinggi.
”Saksi yang tidak mau menandatangani berita acara rekapitulasi menjadi sinyal bahwa mereka akan mengajukan gugatan PHPU ke MK. Kalau mereka menerima hasil rekapitulasi, tentu tidak akan menolak tanda tangan,” kata Ihsan.
Ihsan mengingatkan, caleg yang akan mengajukan gugatan PHPU ke MK semestinya menginstruksikan saksi untuk tidak menandatangani berita acara rekapitulasi suara di semua jenjang. Sikap itu menunjukkan adanya permasalahan saat rekapitulasi sehingga bisa lebih meyakinkan MK. Hal ini menjadi penting karena kerap kali caleg yang mengajukan gugatan justru memerintahkan saksi untuk menerima hasil rekapitulasi.
Di sisi lain, caleg yang akan mengajukan gugatan harus sudah mulai mengumpulkan formulir C hasil. Dokumen tersebut merupakan bukti otentik yang bisa menunjukkan penambahan atau pengurangan suara dari TPS hingga penetapan hasil oleh KPU. ”Sering kali gugatan tidak disertai bukti C hasil yang lengkap sehingga gugatannya ditolak,” ujarnya.