Bukan hanya membebani penyelenggara pemilu, percepatan Pilkada 2024 juga dikhawatirkan akan menyulitkan pemilih.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mempercepat jadwal pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah 2024 melalui revisi Undang-Undang Pilkada menuai kritik. Tak hanya menyulitkan penyelenggara pemilu, percepatan jadwal pelaksanaan pilkada dari semula ditetapkan bulan November menjadi September 2024 juga dinilai bakal menyulitkan pemilih. Karena itu, pembentuk undang-undang diminta agar tidak main-main dengan jadwal penyelenggaraan pilkada.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur, pemungutan suara Pilkada 2024 digelar pada November 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tajapan dan Jadwal Pilkada 2024 juga telah menetapkan pemungutan suara pilkada serentak digelar pada 27 November 2024. Tahapan pilkada juga sudah dimulai sejak 26 Januari 2024.
Meski demikian, masih ada usulan untuk mengubah jadwal pilkada. Usulan itu salah satunya berasal dari DPR. Saat ini, DPR telah mengusulkan pembahasan bersama revisi UU Pilkada kepada pemerintah. Salah satu materi yang diusulkan dalam draf revisi UU Pilkada itu adalah pemungutan suara Pilkada 2024 diubah, dari November menjadi September 2024.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita berpendapat, tidak ada urgensi bagi DPR dan pemerintah untul memajukan pelaksanaan Pilkada 2024. Perubahan jadwal pelaksanaan pilkada juga akan merepotkan penyelenggara pemilu. Sebab, sejumlah tahapan pilkada dipastikan akan beririsan tahapan Pemilu 2024. Bahkan, memunculkan problem teknis pelaksanaan pilkada nantinya, seperti kesiapan penyelenggara, logistik pilkada, dan lainnya, yang telah disiapkan sesuai jadwal ditetapkan.
”Skema perubahan jadwal dampak dari perubahan jadwal pilkada membuat KPU, Bawaslu, dan jajarannya harus melakukan konsolidasi ulang guna mengelola pelaksanaan pilkada. Ini yang disayangkan sebab konsolidasi dan tata kelola pelaksanaan pilkada berpotensi beririsan dengan pelaksanaan pemilu yang sudah dilakukan jauh-jauh hari. Jika terjadi perubahan lagi, tentu dibutuhkan konsolidasi ulang,” kata Mita saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (29/2/2024).
Percepatan jadwal pilkada, kata Mita, juga akan merugikan pemilih. DPR dan pemerintah seolah-olah memaksa pemilih untuk mengikuti kebijakan mempercepat pilkada yang diputuskan secara terburu-buru. Akibatnya, pemilih tidak dapat menikmati pelaksanaan pilkada yang ideal sesuai informasi yang sudah diterima dengan jadwal yang telah ditetapkan.
”Tahun politik 2024 ini kompleks di mana ada pemilu dan juga pilkada. Ini akan membuat kebingungan pemilih dalam memahami pelaksanaan pilkada yang berubah-ubah. Apalagi berdasarkan jadwal saat ini, pelaksanaannya sudah dimulai,” ujarnya.
Lebih jauh, Mita mengungkapkan, keinginan sejumlah pihak untuk memajukan pilkada justru menimbulkan kecurigaan adanya upaya penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah demi kepentingan kelompok tertentu. ”Jika dimajukan September ini, memungkinkan adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam pelaksanaan pilkada. Karena jelas-jelas tidak ada rasionalisasi yang dapat diterima publik untuk memajukan pilkada ini atas kondisi khusus,” katanya.
Tahun politik 2024 ini kompleks di mana ada pemilu dan juga pilkada. Ini akan membuat kebingungan pemilih dalam memahami pelaksanaan pilkada yang berubah-ubah. Apalagi berdasarkan jadwal saat ini, pelaksanaannya sudah dimulai.
Pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, pemungutan suara pilkada pada November 2024 merupakan desain yang dirancang sejak 2016. DPR dan pemerintah mestinya tidak bermain-main dengan jadwal pilkada yang sudah disepakati bersama saat menyusun UU No 10/2016. Percepatan jadwal pilkada justru akan menimbulkan banyak konsekuensi teknis dan substantif.
Bukan hanya itu, memajukan jadwal pilkada juga akan menambah beban penyelenggara pemilu yang kini tengah menyelesaikan tahapan Pemilu 2024. Kondisi itu juga berisiko bagi kualitas penyelenggaraan pilkada. ”Akhirnya, kualitas dan integritas pemilu menjadi taruhannya jika jadwal pilkada dipercepat. Pemilih dan peserta juga belum tentu tersosialisasi baik. Kelembagaan partai belum sepenuhnya terkonsolidasi setelah kontestasi pemilu legislatif yang pasti ikut memengaruhi soliditas dan kapasitas internal partai,” ujar Titi.
Siap mengawasi
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan siap mengawasi pilkada, termasuk jika akhirnya diputuskan pilkada dipercepat menjadi September. ”Bawaslu hanya pelaksana undang-undang sehingga dalam konteks ini, kami hanya fokus melakukan pengawasan sesuai tahapan dan jadwal yang telah ditentukan terkait Pilkada 2024,” kata anggota Bawaslu, Lolly Suhenty.
Sebelumnya, anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Golkar, Firman Soebagyo, meyakini, KPU dan Bawaslu tak mempermasalahkan apabila pembahasan RUU tersebut dilakukan di tengah tahapan Pemilu 2024. Begitu pula jika pelaksanaan pilkada jadi dipercepat, ia percaya KPU dan Bawaslu bisa segera menyesuaikan.
”Jadi, tidak ada masalah. Sudah kerjaan rutin. Semua itu, kan, pelaksana undang-undang, sedangkan pembuat undang-undang itu, kan, DPR bersama presiden. Kalau sudah ada kesepakatan itu, tentu pelaksana undang-undang harus menjalankan undang-undang yang akan disahkan,” tuturnya (Kompas.id, 28/2/2024).
Dalam catatan Kompas, pertimbangan KPU saat merancang PKPU No 2/2024 pada awal Januari 2024, salah satunya agar ada waktu yang cukup bagi partai politik untuk menyiapkan proses pencalonan kepala/wakil kepala daerah untuk pilkada. Selain itu, dengan penyelenggaraan pemungutan suara di akhir November, penyelenggara pemilu tak akan terbebani terlalu berat karena masih ada jarak waktu yang cukup dengan jadwal pemungutan suara Pemilu 2024.
Namun, jika kelak DPR dan pemerintah memutuskan mengubah jadwal yang tertera di UU Pilkada yang telah menyebutkan pemungutan suara pilkada serentak nasional harus digelar pada November 2024, KPU siap melaksanakannya. KPU meyakini pembentuk UU memiliki kajian yang komprehensif karena penyelenggaraan tahapan Pilkada 2024 beririsan dengan Pemilu 2024. ”Kami yakin mereka akan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi kinerja dalam melaksanakan kedua tahapan ini, baik tahapan pemilu serentak maupun pilkada serentak,” ujar anggota KPU, Idham Holik.