DPR tunggu persetujuan pemerintah untuk membahas bersama revisi UU Pilkada yang mengatur percepatan jadwal pilkada.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR mengusulkan mempercepat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak 2024 dari November ke September 2024. Meski tahapan Pilkada 2024 sudah dimulai, DPR tetap siap membahas revisi Undang-Undang Pilkada secara cepat. Saat ini, DPR tinggal menunggu surat presiden berisi persetujuan pembahasan karena RUU Pilkada telah diusulkan kepada pemerintah.
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada sebenarnya telah disepakati menjadi RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR, akhir November 2023. Dari sembilan fraksi di DPR, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menolak RUU tersebut, sementara Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) dan Fraksi Partai Demokrat (F-PD) menyetujui dengan catatan.
Melalui RUU itu, DPR mengusulkan percepatan Pilkada Serentak 2024. Pilkada yang sedianya dilaksanakan pada November dimajukan menjadi September 2024. Salah satu pertimbangan pilkada diusulkan dipercepat adalah menghindari kekosongan kepala daerah pada 1 Januari 2025. Selain itu, percepatan pilkada juga diusulkan untuk mengantisipasi jika pemilihan presiden berlangsung dua putaran.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Golkar (F-PG), Firman Soebagyo, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (28/2/2024), mengatakan, DPR telah mengusulkan pembahasan RUU Pilkada kepada pemerintah. Jika pemerintah serius ingin memajukan jadwal pilkada, seharusnya pemerintah segera mengirimkan surat presiden (surpres) beserta daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait RUU Pilkada.
”Apakah pemerintah akan meneruskan kembali pembahasan RUU itu untuk menjadi undang-undang atau pemerintah menolak, itu yang kami belum tahu sampai hari ini,” ujar Firman.
Namun, lanjut Firman, pemerintah masih memiliki waktu hingga pembukaan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2023-2024 pada Maret 2024 mendatang. Jika surpres dan DIM terkait RUU Pilkada dikirim sebelum pembukaan masa sidang, DPR bisa segera membahas bersama pemerintah pada sisa masa persidangan yang ada.
”Kemungkinan ada saja (dibahas Maret nanti). Kalau yang diubah itu tidak banyak, katakan satu sampai dua pasal, kan, bisa selesai dalam kurun waktu yang tidak lama. Jadi, kami tinggal menunggu surpres dan DIM dari pemerintah saja,” ucap Firman.
Firman pun meyakini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak mempermasalahkan apabila revisi UU Pilkada dibahas di tengah tahapan Pemilu dan Pilkada 2024. Ia meyakini, baik KPU maupun Bawaslu, bisa membuat aturan dengan cepat. Begitu pula jika pelaksanaan pilkada dimajukan, ia percaya KPU dan Bawaslu bisa segera menyesuaikannya.
”Jadi, enggak ada masalah. Sudah kerjaan rutin. Semua itu, kan, pelaksana undang-undang, sedangkan pembuat undang-undang itu, kan, DPR bersama presiden. Kalau sudah ada kesepakatan itu, tentunya pelaksana undang-undang harus menjalankan terhadap undang-undang yang akan disahkan,” tutur Firman.
Belum ada perubahan
Secara terpisah, anggota Baleg dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), Guspardi Gaus, membenarkan bahwa keputusan merevisi UU Pilkada kini berada di tangan pemerintah. DPR sebagai inisiator dalam posisi menunggu persetujuan pemerintah.
”Saya kira pimpinan DPR sudah bersurat juga kepada pemerintah dalam menyikapi keputusan terkait percepatan pilkada itu,” ungkap Guspardi.
Sampai detik ini belum ada perubahan jadwal pelaksanaan pilkada dari November ke September. Kalau mau buat undang-undang, kan, tidak bisa hanya DPR saja, tetapi juga harus ada pemerintah
Hal yang pasti, menurut anggota Komisi II DPR ini, jika pemerintah tidak juga mengirimkan surpres dan DIM terkait RUU Pilkada, kemungkinan besar jadwal pelaksanaan pilkada tak berubah. Berdasarkan Pasal 101 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, pemungutan suara Pilkada 2024 digelar pada November 2024.
”Sampai detik ini belum ada perubahan jadwal pelaksanaan pilkada dari November ke September. Kalau mau buat undang-undang, kan, tidak bisa hanya DPR saja, tetapi juga harus ada pemerintah. Pemerintah tanpa DPR juga tidak bisa. Jadi, artinya tidak bisa bertepuk sebelah tangan,” kata Guspardi.
Meski demikian, Guspardi meminta penyelenggara pemilu tetap bekerja sesuai dengan aturan yang berlaku saat ini. ”Agenda-agenda ke depan harus mereka sudah hadapi. Mereka juga sudah buat PKPU terkait tahapan-tahapan pilkada, sudah dibahas dan disetujui juga oleh kami. Jadi silakan dilanjutkan,” katanya.
Guspardi tidak memungkiri, sinergi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah menjadi salah satu alasan F-PAN setuju merevisi UU Pilkada. Alasan lain adalah sinergi anggaran pusat dan daerah serta perencanaan pembangunan pusat dan daerah.
Kompas sudah menghubungi Pelaksana Harian (Plh) Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Togap Simangunsong, tetapi yang bersangkutan meminta Kompas bertanya kepada Plh Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Yudia Ramli. ”Saya baru dapat informasi yang memberi penjelasan ke pers adalah Kapuspen Kemendagri. Silakan hubungi beliau,” katanya. Namun, Kompas juga tetap tidak mendapat jawaban ketika sudah menghubungi Yudia Ramli.