Di saat tahapan Pemilu 2024 belum selesai, KPU sudah harus bersiap melaksanakan tahapan pilkada serentak 2024.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun masih disibukkan dengan rekapitulasi suara Pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum telah memulai tahapan pemilihan kepala daerah serentak atau Pilkada yang juga dijadwalkan digelar pada tahun ini. KPU diminta berhati-hati menyiapkan tahapan pilkada karena masih beririsan dengan tahapan pemilu. Apalagi, residu dari penyelenggaraan pemilu juga relatif banyak dan belum seluruhnya diselesaikan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah rampung menyusun Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali kota Tahun 2024 yang menjadi pedoman penyelenggaraan pilkada. Rangkaian pelaksanakan Pilkada 2024 telah dimulai 26 Januari lalu serta diawali dengan tahapan perencanaan dan anggaran. Kemudian pada Selasa (27/2/2024) KPU telah memulai tahapan pendaftaran pemantau pilkada.
”KPU harus berhati-hati dalam menyiapkan tahapan pilkada yang beririsan dengan tahapan pemilu. Sebab, residu dari pelaksanaan pemilu saja masih banyak dan belum semuanya selesai. Karena itu, penting bagi KPU untuk melakukan evaluasi dalam berbagai aspek,” kata Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Saat ini, tahapan Pemilu 2024 memang belum tuntas. KPU masih menyelesaikan rekapitulasi suara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Sejumlah kendala muncul dalam penyelenggaraan pemilu, salah satunya Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) yang tidak akurat.
Karena itu, menurut Kaka, evaluasi perlu dilakukan, salah satunya terkait Sirekap. Menurut dia, persoalan akuntabilitas Sirekap sebetulnya sudah banyak disuarakan oleh masyarakat sipil saat uji publik regulasi pungut hitung di KPU. Akan tetapi, suara dari masyarakat sipil itu hanya dianggap noise yang tidak ditanggapi secara utuh.
”Pola-pola komunikasi ’anjing menggonggong kafilah tetap berlalu’ yang diterapkan KPU jangan sampai dibiasakan. Uji publik harus dengan partisipasi bermakna, jangan hanya ingin membuat legitimasi yang dianggap sebagai persetujuan masyarakat,” ujarnya.
Kaka berharap, dalam tahapan Pilkada Serentak 2024, KPU juga harus lebih terbuka soal informasi publik. Meski secara teknis pilkada diselenggarakan oleh KPU provinsi dan KPU kabupaten/ kota, penanggung jawab utamanya tetap KPU RI.
”Di Pemilu 2024 lalu, banyak ditemukan instruksi-instruksi dari KPU RI ke tingkat bawah melalui video call, Whatsapp, Surat Keputusan Nomor 66 yang mengganggu dan sulit dipertanggungjawabkan secara legal. Hal ini jangan sampai terulang karena mengganggu tahapan pemilu,” kata Kaka.
Ketidakjelasan instruksi dari KPU RI itu, menurut Kaka, mengakibatkan munculnya beragam persoalan pada Pemilu 2024 ini. Ada banyak kasus dugaan penggelembungan suara melalui Sirekap, seperti yang ditemukan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dugaan kasus ini diduga karena instruksi yang salah dan pola rekrutmen yang tidak tepat sehingga para penyelenggara ad hoc bisa mengubah angka perolehan suara secara kasar.
Kaka juga mengingatkan bahwa kekisruhan yang terjadi di Pemilu 2024 jangan sampai terulang di Pilkada Serentak 2024 nanti. Ini terutama adalah terlalu banyaknya intervensi politik dari pemerintah pusat, seperti dari Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 90 yang diwarnai pelanggaran etik, politisasi bantuan sosial, dan netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan aparat keamanan.
KPU harus berhati-hati dalam menyiapkan tahapan pilkada yang beririsan dengan tahapan pemilu. Sebab, residu dari pelaksanaan pemilu saja masih banyak dan belum semuanya selesai.
Politisasi seperti itu akan menciptakan preferensi suara yang tidak murni (ingenuine preference) dari pemilih yang membuat legitimasi pemilu dipertanyakan. Intervensi semacam itu, menurut dia, masih mungkin terjadi untuk memperkuat jalur politik pemerintah pusat dan daerah.
”KPU harus berhati-hati. Belajar dari kasus pemungutan suara ulang (PSU) di Paniai, Papua Tengah, misalnya, itu saya yakin bukan hanya masalah teknis logistik yang dibakar. Akan tetapi, juga ada masalah politisnya,” ujar Kaka.
Tak kalah penting, KPU juga harus membenahi seluruh sistem teknologi informasinya mulai dari Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), pelaporan dana kampanye, hingga Sirekap. Kejadian tidak transparan dan akuntabelnya dana kampanye pada pemilu nasional jangan sampai terulang di pilkada nanti.
Tahapan pilkada
Anggota KPU, Yulianto Sudrajat, saat konferensi pers di gedung KPU, Selasa (27/2/2024), menuturkan, sesuai Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali kota Tahun 2024, tahapan pilkada dimulai dengan pendaftaran pemantau pilkada dan pencalonan perseorangan.
”Pendaftaran pemantau pilkada baik pemberitahuan maupun pendaftaran dimulai pada hari ini, 27 Februari sampai 16 November 2024,” kata Yulianto.
Para pemantau yang akan mengamati jalannya pilkada itu harus mendapatkan akreditasi dari KPU. Untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, mereka harus mendapatkan akreditasi dari KPU provinsi. Pemantau pemilihan bupati dan wali kota diakreditasi oleh KPU kabupaten/kota. Adapun pemantau pemilu asing mendaftar di KPU RI atas rekomendasi dari Kementerian Luar Negeri.
Selain pendaftaran pemantau pemilu, tahapan yang paling dekat lainnya adalah pendaftaran pencalonan perseorangan atau jalur independen. Sesuai aturan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang pilkada calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon wali kota dan wakil wali kota adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang didaftarkan ke KPU.
”Pendaftaran jalur perseorangan itu dimulai pada 5 Mei 2024-19 Agustus 2024,” kata Yulianto.