Pelaku Pungli di Rumah Tahanan KPK Hanya Dijatuhi Hukuman Permintaan Maaf
Pungutan liar di rutan KPK disusun secara sistematis oleh mantan pegawai negeri yang dipekerjakan dari Kemenkumham.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
Para pelaku pungutan liar di rumah tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi mengikuti sidang putusan dugaan pelanggaran etik dan perilaku di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Kamis (15/2/2024). Para pelaku dijatuhi sanksi berat oleh Dewan Pengawas KPK berupa permintaan maaf secara terbuka langsung karena terbukti secara sah menyalahgunakan pengaruh. Mereka juga direkomendasikan kepada pejabat pembina kepegawaian untuk diperiksa guna penjatuhan hukuman disiplin.
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 90 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan pungutan liar di rumah tahanan KPK terbukti secara sah menyalahgunakan jabatan dan kewenangan serta pengaruh sebagai insan KPK untuk melakukan pungutan liar di rumah tahanan KPK. Sebanyak 78 pegawai, di antaranya, dijatuhi sanksi berat berupa permintaan maaf secara terbuka langsung.
Dewan Pengawas (Dewas) KPK juga merekomendasikan kepada pejabat pembina kepegawaian untuk memeriksa para pelaku guna penjatuhan hukuman disiplin sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara itu, putusan untuk 12 pegawai lainnya diserahkan ke Sekretariat Jenderal KPK untuk penyelesaian selanjutnya karena perbuatannya dilakukan sebelum ada Dewas KPK. Kasus ini terjadi selama 2018 sampai dengan 2023.
Para terperiksa disidang dalam enam berkas perkara terpisah di gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Kamis (15/2/2024). Sidang etik untuk tiga berkas awal dipimpin oleh Ketua Dewas KPK selaku Ketua Majelis Tumpak Hatorangan Panggabean didampingi anggota Dewas KPK, Albertina Ho dan Harjono. Sementara itu, sidang etik untuk tiga berkas lainnya dipimpin oleh Harjono yang didampingi anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris dan Indriyanto Seno Adji.
Adapun hal yang memberatkan ialah perbuatan yang dilakukan para pelaku dilakukan secara berlanjut dan berulang-ulang. Akibatnya, kepercayaan publik kepada KPK semakin merosot dan tidak mendukung upaya pemerintah dalam memberantas korupsi. Bahkan, ada pelaku yang tidak mengakui perbuatannya.
Hal yang meringankan tidak ada.
Adapun KPK memiliki rumah tahanan (rutan) yang diantaranya bertempat di Gedung Merah Putih, Gedung C1 (gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK), dan Pomdam (Polisi Militer Komando Daerah Militer) Jaya Guntur yang pengelolaannya berada di bawah Biro Umum pada Sekretariat Jenderal KPK.
Struktur organisasi rutan KPK terdiri dari kepala rutan, tiga koordinator yang terdiri dari koordinator keamanan dan ketertiban (kamtib), koordinator pelayanan dan koordinator pengelolaan, serta komandan regu dan anggota regu yang mempunyai tugas untuk menjaga tahanan.
Biaya untuk memasukkan ’handphone’ (telepon genggam) pertama kali ke dalam rutan KPK sekitar Rp 20 juta. Biaya bulanan untuk penggunaan ’handphone’ selama di dalam rutan KPK sekitar Rp 5 juta per bulan.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tahanan KPK dilarang membawa telepon genggam ke dalam rutan KPK atau mendapatkan fasilitas lainnya yang dilarang, seperti menerima makanan dari luar tidak pada waktunya dan meminta bantuan petugas rutan untuk keperluan pribadi tahanan.
Beri uang memasukkan telepon
Indriyanto menjelaskan, para tahanan di rutan KPK diminta memberikan uang agar dapat menggunakan telepon genggam selama berada di dalam rutan KPK. ”Biaya untuk memasukkan handphone (telepon genggam) pertama kali ke dalam rutan KPK sekitar Rp 20 juta. Biaya bulanan untuk penggunaan handphone selama di dalam rutan KPK sekitar Rp 5 juta per bulan,” ujarnya.
Uang bulanan dibagikan kepada para terperiksa oleh ”lurah” secara langsung ataupun melalui komandan regu. Uang bulanan dari para tahanan KPK diberikan kepada para terperiksa sebagai uang ”tutup mata” agar para terperiksa membiarkan dan tidak melaporkan para tahanan KPK yang menggunakan telepon genggam di dalam rutan KPK.
’Lurah’ tersebut merupakan petugas rutan yang ditunjuk oleh Hengki yang pernah menjabat sebagai Koordinator Kamtib di rutan KPK. Hengki merupakan pegawai negeri yang dipekerjakan (PNYD) dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Para ’lurah’ telah diberi tahu oleh tahanan kepada siapa dan di mana uang bulanan diambil.
”Lurah” tersebut merupakan petugas rutan yang ditunjuk oleh Hengki yang pernah menjabat sebagai Koordinator Kamtib di rutan KPK. Hengki merupakan pegawai negeri yang dipekerjakan (PNYD) dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Para ”lurah” telah diberi tahu oleh tahanan kepada siapa dan di mana uang bulanan diambil.
Harjono mengungkapkan, ”lurah” mengambil uang bulanan sekitar Rp 60 juta sampai Rp 70 juta dari korting (koordinator tempat tinggal) atau orang kepercayaan/keluarga secara tunai. Di antaranya, di sekitar Taman Tangkuban Perahu, Swiss Bell Hotel, dan belakang Pasar Festival (Jakarta Selatan) atau melalui tarikan tunai di anjungan tunai mandiri (ATM) dari rekening atas nama Surisma Dewi dan Auria Yusrin Fathya.
Selain menerima uang bulanan, para terperiksa juga menerima uang dari para tahanan KPK yang meminta bantuan untuk mengisi daya power bank, membelikan makanan atau rokok dari luar, mengambilkan barang/makanan dari loker, dan lainnya. Para terperiksa mengakui pernah menerima uang karena faktor ekonomi. Mereka tidak pernah melaporkan penerimaan uang bulanan dan penerimaan lainnya dari para tahanan kepada atasannya.
Usai sidang, Albertina Ho menjelaskan, ada sembilan orang yang bertindak sebagai ”lurah” atau orang yang dituakan. Adapun Dewan Pengawas tidak bisa menindak Hengki karena Hengki saat ini sudah menjadi pegawai di Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
”Untuk etik, kami tidak bisa melakukan apa-apa. Untuk pidana masih bisa dijangkau karena kewenangan pidana itu ada KPK untuk memproses,” kata Albertina.
Ia mengungkapkan, awal mula penerimaan pungutan ini hanya dilakukan secara pribadi atau belum tersusun secara sistematis. Hengki membuat pungutan ini secara sistematis. Setelah Hengki pergi, ada ”lurah” yang ditunjuk secara langsung karena dituakan.
Total uang pungli yang diterima oleh para terperiksa lebih dari Rp 6 miliar. Sebanyak 90 persen tahanan KPK pernah memberikan uang tersebut.
Untuk etik, kami tidak bisa melakukan apa-apa. Untuk pidana masih bisa dijangkau karena kewenangan pidana itu ada KPK untuk memproses.
Albertina menambahkan, tiga orang yang saat ini belum diputus ialah mantan pelaksana tugas kepala rutan, Kepala Rutan KPK Ahmad Fauzi, dan PNYD dari Polri. Ia tidak menyebutkan nama dua orang yang belum diputus tersebut.
Ia mengungkapkan, permintaan maaf secara terbuka langsung dilakukan oleh para pelaku dengan direkam secara audiovisual, lalu disiarkan di portal televisi KPK. Tujuan hukuman itu untuk efek jera dengan membiasakan budaya malu.
Terkait dengan hukuman yang diberikan terhadap para pelaku, Tumpak Hatorangan Panggabean menjelaskan, setelah pegawai KPK berubah menjadi aparatur sipil negara (ASN), hukuman yang bisa diberikan berupa sanksi moral. Sebab, sanksi etik pada ASN berupa sanksi moral.
Saat ini, ASN bisa diberhentikan jika melanggar disiplin ASN. Disiplin ASN bukan ranah Dewas KPK untuk mengadilinya. Mereka akan diadili oleh Sekretaris Jenderal atau Inspektorat.
Saat ini, kata Tumpak, pegawai ASN bisa diberhentikan jika melanggar disiplin ASN. Disiplin ASN bukan ranah Dewas KPK untuk mengadilinya. Mereka akan diadili oleh Sekretaris Jenderal atau Inspektorat.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri memastikan, selain etik, kasus ini juga diproses di Kedeputian Penindakan yang sampai saat ini masih terus berjalan.