Cegah Politisasi Bansos, Puan Minta Anggota DPR Tingkatkan Pengawasan
Bansos adalah amanat konstitusi sehingga tak boleh ada diskriminasi dan intimidasi karena beda pilihan politik.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE, KURNIA YUNITA RAHAYU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan mengenai adanya intimidasi yang dialami para penerima bantuan sosial mengemuka di tengah gencarnya pemerintah mendistribusikan salah satu program jaring pengaman sosial tersebut. Karena itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani mengingatkan pemerintah agar distribusi bansos adaptif disertai protokol krisis untuk mencegah politisasi jelang Pemilu 2024. Di sisi lain, semua anggota DPR juga diminta untuk meningkatkan pengawasan.
”Pelaksanaan APBN oleh pemerintah harus memenuhi ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang APBN, termasuk dalam hal adanya bansos adaptif yang harus disertai dengan protokol krisis,” kata Puan saat menyampaikan pidato penutupan Masa Persidangan III Tahun Sidang 2023-2024 di Gedung Nusantara II, Jakarta, Selasa (6/2/2024).
Tak hanya itu, Puan juga meminta pengawasan terhadap pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 juga digencarkan. APBN di tahun pemilu telah disusun bersama oleh pemerintah dan DPR. Karena itu, pelaksanaannya juga harus memenuhi ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang.
Pada APBN 2024, anggaran perlindungan sosial ditetapkan Rp 496,8 triliun. Alokasi anggaran itu ditetapkan setelah mendapat persetujuan bersama pemerintah dan DPR. Selain penganggaran, DPR juga bertugas mengawasi pelaksanaan kebijakan pemerintah, termasuk realisasi APBN.
Intimidasi
Dalam rapat paripurna itu, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PKS, Wisnu Wijaya Adi Putra, mengungkapkan adanya intimidasi yang dialami penerima bansos menjelang Pemilu 2024. Padahal, bansos merupakan hak warga negara sehingga seharusnya bebas dari intimidasi, eksploitasi, dan kepentingan politik.
”Ironisnya intimidasi ini tidak hanya menyasar kepada para penerima manfaat, tetapi juga para pendamping bantuan sosial, penyuluh, dan pekerja sosial,” kata Wisnu.
Wisnu menuturkan, bantuan sosial adalah amanat konstitusi Pasal 34 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-undang tersebut mengamanatkan kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak telantar. Kewajiban memelihara fakir miskin dan anak telantar juga didefinisikan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
Ironisnya intimidasi ini tidak hanya menyasar kepada para penerima manfaat, tetapi juga para pendamping bantuan sosial, penyuluh, dan pekerja sosial.
Oleh karena itu, menurut dia, tidak boleh ada diskriminasi dan intimidasi kepada warga negara hanya karena berbeda pilihan politik. ”Lagi pula secara peraturan, kewenangan untuk mencabut dan mengusulkan bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) didasarkan pada perundang-undangan bukan oleh faktor like or dislike penguasa, apalagi karena berbeda pilihan politik,” katanya.
Ia menegaskan, pemenuhan hak masyarakat rentan atas bansos dari negara tidak boleh dihambat, ditunda, apalagi dipersonifikasi untuk memberikan keuntungan bagi kepentingan pemberi. ”Bansos merupakan bantuan dari warga negara untuk warga negara. Dana bersumber dari APBN. Pemerintah adalah operator yang ditugaskan oleh peraturan perundang-undangan untuk menyalurkan kepada rakyat,” katanya.
Ia juga meminta kepada para penerima bansos, khususnya bansos PKH, agar tidak khawatir dengan ancaman atau intimidasi yang dilakukan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab. ”Adalah tugas kami sebagai anggota DPR pusat untuk melindungi ibu dan bapak sekalian agar senantiasa terpenuhi haknya,” ujarnya.
Laporan mengenai adanya ancaman dan intimidasi bansos sudah muncul beberapa kali. Lembaga survei dan konsultan Indopol, misalnya, mengungkapkan ada laporan penolakan survei karena terdapat intimidasi bansos kepada warga.
”Bansos menjadi alat politik bukan hanya untuk memenangkan rezim, tapi instrumen untuk kontrol hasil survei. Dengan mengancam warga, bansos tidak turun, ini buruk. Padahal, masyarakat sadar, bansos ini adalah pajak rakyat karena berasal dari APBN,” kata Direktur Eksekutif Indopol Survei Ratno Sulistiyanto, Rabu (24/1/2024).
Awasi netralitas ASN
Dalam pidatonya, Puan juga meminta seluruh alat kelengkapan dewan (AKD), baik komisi maupun badan di DPR, memberikan perhatian besar agar Pemilu 2024 berlangsung sesuai dengan amanat konstitusi. Pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pemilu terus dilakukan. Pengawasan dimaksud terutama terkait dengan netralitas aparatur sipil negara (ASN) dan penyelenggara pemilu.
”DPR melalui alat kelengkapan dan fungsi konstitusionalnya memastikan bahwa seluruh aparat negara harus dapat menciptakan kondisi politik, sosial ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan memilih secara bebas, jujur, adil, setara, dan rahasia,” kata Puan.
Menurut Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu, pengawasan terhadap netralitas aparat negara penting karena negara tidak boleh mengurangi hak rakyat dalam menjalankan kedaulatannya. Hal itu tidak terlepas dari praktik politik yang bisa menampilkan banyak wajah, mulai dari politik yang ingin membebaskan, politik yang ingin mendominasi, hingga politik yang ingin membenarkan segala cara.
”DPR berkomitmen untuk menegakkan praktik berdemokrasi yang tetap menjaga persatuan bangsa, menjaga konstitusi, membangun cara berpolitik yang berdemokrasi yang semakin berkeadaban yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan,” kata Puan.