Jorjoran Bansos, Saat Uang Rakyat Dipolitisasi
Meski pola menggelontorkan bansos menjelang pemilu sering terjadi, kali ini eksekusinya terasa lebih gencar.
Menuju hari pemungutan suara 14 Februari 2024, pemerintah semakin semangat menyalurkan bantuan sosial atau bansos kepada rakyat kecil. Setelah membagikan bantuan langsung tunai atau BLT El Nino pada November-Desember 2023 di awal masa kampanye pemilu, pemerintah kini akan membagi bansos baru, yaitu BLT mitigasi risiko pangan.
BLT pangan sebesar Rp 200.000 per bulan itu akan diberikan pada periode Januari-Maret 2024. Namun, alih-alih menyalurkannya satu per satu setiap bulan, pencairan BLT untuk tiga bulan itu akan diberikan sekaligus sebesar Rp 600.000 pada Februari, mendekati momen puncak Pemilu 2024. Alasannya, bansos ”dirapel” karena bulan Januari sudah hampir selesai.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tak heran, momen penyaluran bansos tepat pada bulan pemungutan suara ini dipertanyakan publik. Banyak pihak khawatir bansos dipakai sebagai alat kampanye guna memenangkan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, yang maju sebagai calon wakil presiden dari Prabowo Subianto, mantan rival politik Jokowi yang kini jadi kawan.
Baca juga: Bansos, dari Bantuan Negara hingga Politisasi
Apalagi, pembagian program bansos baru secara jorjoran di Februari sebenarnya tidak mendesak. Menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Teguh Dartanto, Kamis (1/2/2024), BLT pangan tidak tepat waktu karena dampak dari El Nino sudah lewat.
Momentum penyaluran bansos yang dirapel pada Februari secara sekaligus tanpa urgensi itu pun memunculkan kecurigaan bahwa pengelolaan APBN dimanfaatkan untuk kepentingan pemilu.
Teguh menilai, seharusnya BLT El Nino dan BLT pangan dikucurkan pada Juli-September 2023 ketika dampak El Nino sangat membebani masyarakat. Bukan pada November-Desember 2023 saat kampanye pemilihan presiden baru dimulai dan Februari 2024 menjelang hari pemungutan suara.
”Saat ini, Pulau Jawa dan Indonesia secara umum sudah masuk musim tanam dan tidak ada isu besar dengan isu pangan karena harga pangan relatif stabil. Semestinya pemerintah fokus saja ke bansos yang sudah ada dan sudah dianggarkan, tidak ada urgensi memberikan bansos baru,” kata Teguh saat dihubungi dari Jakarta.
Ia menegaskan, memaksakan pencairan bansos BLT pangan yang belum dianggarkan dalam APBN hanya akan membuat tata kelola APBN tidak kredibel. Sebab, pemerintah akhirnya harus melakukan realokasi anggaran serta mengurangi anggaran dari pos lain.
”Ini akan mengurangi kredibilitas APBN karena tidak ada hal yang mendesak yang membuat pemerintah harus mengeluarkan BLT pangan,” ujarnya.
Meski pola menggelontorkan bansos menjelang pemilu atau pilkada adalah hal yang sering terjadi di Indonesia dan negara lain, kali ini eksekusinya terasa lebih gencar. ”Pemilu 2024 ini lebih jorjoran, yang semangatnya jauh dari tujuan utama bansos itu sendiri, yaitu untuk menolong kelompok rentan dan miskin,” kata Teguh.
Anggaran masih dicari
Gelagat utak-atik anggaran demi menggelontorkan bansos sebelumnya disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.
Sehabis rapat high level meeting Tim Pengendalian Inflasi Pusat, Senin (29/1/2024), di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Febrio mengatakan, pemerintah masih akan mencari anggaran untuk membiayai program BLT pangan yang baru itu.
Alokasi yang dibutuhkan untuk BLT pangan adalah Rp 11,25 triliun, yang akan dibagikan kepada 18,8 juta keluarga penerima manfaat. ”Sebagian besar (anggaran bansos), kan, sudah ada di APBN, tetapi ini memang ada beberapa perubahan yang mungkin sifatnya merespons kondisi yang ada di masyarakat dan global,” katanya.
Baca juga: Kemensos Akui Kesulitan Cegah Politisasi Bansos
Menurut dia, mengingat sifat APBN sebagai peredam guncangan ekonomi, pemerintah akan mendahulukan anggaran yang dinilai paling mendesak. ”Ini tentunya kita akan carikan (anggarannya). APBN akan tetap bisa fleksibel dan ini bagian dari strategi kita mengelola APBN. Kalau ada kebutuhan yang butuh intervensi, APBN siap,” ucap Febrio.
Sementara saat ditanya soal momen penyaluran bansos yang jorjoran pada Februari dan peluang bansos dipolitisasi kandidat tertentu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memilih menjawab secara normatif.
Akan tetapi, ia beberapa kali menegaskan bahwa pemberian bansos adalah instrumen yang sudah ada dalam APBN dan sudah disetujui semua partai politik di DPR. ”APBN itu undang-undang, dibahas bersama seluruh partai politik di Senayan,” katanya.
Politisasi APBN
Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Berly Martawardaya mengatakan, apa yang dilakukan pemerintah saat ini diduga bagian dari siklus bisnis politik (political business cycle). Istilah itu mengacu pada aktivitas dan kebijakan ekonomi yang kerap kali digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik.
Di beberapa negara maju, bentuk dari strategi itu adalah pemangkasan tarif pajak sebelum pemilu oleh pemerintah (calon petahana) demi menaikkan citra dan elektabilitas.
Dalam contoh lebih ekstrem, calon petahana juga bisa membiarkan pertumbuhan ekonomi turun pada 2-3 tahun pertama menjabat. Berikutnya, mengeluarkan gebrakan kebijakan reformasi yang bisa mendongkrak ekonomi menjelang pemilu untuk menunjukkan rapor kinerja yang baik.
Di Indonesia, praktik bagi-bagi bansos selalu menjadi strategi jitu untuk menarik suara dari rakyat kecil yang merupakan ceruk pemilih besar. ”Sebenarnya kalau pemerintah mau tegas tidak ada politisasi, bansos seharusnya dicairkan setelah pemilu, setidaknya seminggu setelah pemungutan suara. Agar perlindungan sosial (perlinsos) tetap jalan, tetapi tidak bisa diklaim terkait pemilu,” kata Berly.
Ia mempertanyakan urgensi BLT pangan dikeluarkan jelang pemungutan suara. ”Dengan kondisi ekonomi yang membaik dan pandemi sudah surut, kenapa perlu kenaikan bansos, walau kenaikan anggaran bansos itu masih di bawah kenaikan belanja APBN,” katanya.
Dalam APBN 2024, belanja negara secara umum meningkat 8,63 persen dari tahun 2023 ke 2024. Kenaikan anggaran untuk perlindungan sosial (perlinsos) memakan porsi cukup besar, yakni 4,2 persen, hampir separuh dari total kenaikan belanja secara keseluruhan.
Besaran anggaran perlinsos pada 2024 mencapai Rp 496,8 triliun. Alokasi tersebut hanya beda tipis dibandingkan anggaran perlinsos pada awal pandemi Covid-19 yang mencapai Rp 497,9 triliun (2020) dan lebih besar dari bansos selama pandemi sebesar Rp 468,2 triliun (2021) dan Rp 460,2 triliun (2022).
Dengan tambahan kebutuhan anggaran baru untuk BLT pangan, total anggaran perlinsos tahun ini pun berpotensi naik menjadi Rp 508,05 triliun, tertinggi sepanjang sejarah. Total anggaran perlinsos itu masih bisa naik lagi karena Presiden ingin memperpanjang penyaluran bansos sampai Juni 2024.