JAKARTA, KOMPAS — Status penetapan eks Wakil Menteri Hukum dah Hak Asasi Manusia Edward OS Hiariej sebagai tersangka suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK akan diputus dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (30/1/2024) sore, besok. KPK yakin penetapan eks Wamenkumham sebagai tersangka itu sudah sesuai dengan ketentuan karena sudah ada dua bukti permulaan. Sementara itu, tim kuasa hukum eks Wamenkumham permohonan pencabutan status tersangka yang mereka ajukan layak dikabulkan.
Sidang praperadilan yang diajukan eks Wamenkumham kembali dilanjutkan pada Senin (29/1/2024) dengan agenda penyerahan kesimpulan. Dalam sidang yang dipimpin hakim tunggal Estiyono itu, tim hukum KPK tetap pada pendiriannya bahwa penetapan status tersangka sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
”Bukti yang diajukan KPK terkait dua bukti permulaan sudah mencukupi, dan para ahli juga sudah memperkuat itu. Besok (Selasa), insya Allah putusan,” ujar M Hafez saat ditemui seusai sidang di praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Sidang dengan agenda penyerahan kesimpulan di Ruang Sidang Oemar Seno Adji itu berlangsung singkat, sejak pukul 11.55 hingga 12.05. Total ada 79 halaman kesimpulan yang diserahkan oleh KPK.
Menurut Hafez, dari jalannya persidangan, mulai dari pembuktian, jawaban, hingga keterangan para ahli dari kedua belah pihak, mengakui jika KPK memiliki lex specialis. Hal ini berarti, KPK dalam penyelidikan tidak hanya mencari peristiwa pidana, tetapi juga mengumpulkan bukti-bukti permulaan.
Sama dengan KPK, tim kuasa hukum eks Wamenkumham yang dikenal dengan panggilan Eddy Hiariej itu juga berkukuh dengan pendapat mereka. Iwan Prianto, salah satu tim kuasa hukum Eddy, menegaskan, permohonan agar PN Jakarta Selatan mencabut penetapan tersangka oleh KPK telah beralasan hukum sehingga layak untuk diterima dan dikabulkan.
Bukti yang diajukan KPK terkait dua bukti permulaan sudah mencukupi, dan para ahli juga sudah memperkuat itu. Besok (Selasa), insya Allah putusan.
Meski demikian, lanjut Iwan, tim kuasa hukum Eddy akan menerima apa pun putusan hakim. ”Ya, kami menghormati (putusan hakim),” ujar Iwan.
Sebelumnya, tim kuasa hukum pemohon juga telah menghadirkan tiga orang ahli, yakni ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa; advokat sekaligus pengajar tidak tetap pada Fakultas Hukum UI, Luhut MP Pangaribuan; dan Jamin Ginting, Guru Besar Hukum pada Universitas Pelita Harapan.
Eddy disangka menerima suap dan gratifikasi hingga Rp 8 miliar dari Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan. Suap itu diterima Eddy terkait sengketa status kepemilikan perusahaan, penghentian proses hukum di Bareskrim Polri, pembukaan blokir di sistem administrasi badan hukum, dan pencalonan Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia.
Praperadilan Harun Masiku
Pada hari yang sama, di PN Jakarta Selatan juga, dijadwalkan sidang praperadilan kasus penyidikan tersangka suap pergantian antarwaktu anggota DPR 2019-2024 dengan tersangka Harun Masiku. Namun, sidang itu diputuskan untuk ditunda selama dua pekan.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman sebagai pemohon menyampaikan bahwa sidang ditunda karena KPK belum siap. KPK meminta sidang ditunda hingga tiga pekan, tetapi hakim memutuskan dua pekan.
”Ya, mudah-mudahan waktu dua minggu ini Harun Masiku sudah bisa ditangkap karena tujuan praperadilan ini sebenarnya Harun Masiku bisa ditangkap. Jika tidak bisa ditangkap, ya, sudah sidang in absentia. Kan, gitu,” kata Boyamin.
Dengan demikian, lanjut Boyamin, asas kepastian hukum bagi semua pihak bisa terpenuhi. Lebih jauh, MAKI berharap agar kasus Harun Masiku ini tidak ”digoreng” atau dipolitisasi di tahun politik seperti sekarang ini.
Harun ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Januari 2020 setelah KPK menangkap anggota Komisi Pemilihan Umum (saat itu), Wahyu Setiawan, sehari sebelumnya. KPK menyangka Harun telah menyuap Wahyu dalam proses pergantian antarwaktu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (Kompas.id, 7 September 2021).
Kebetulan, saat itu, PDI-P tengah mengajukan permohonan pergantian antarwaktu karena calon anggota DPR dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan 1, Nazarudin Kiemas, yang meraih suara terbanyak, meninggal sebelum pemungutan suara Pemilu 2019. Sesuai ketentuan, semestinya calon anggota legislatif (caleg) dengan raihan suara terbanyak kedua yang ditetapkan dan dilantik sebagai anggota DPR.
Berdasarkan hasil penghitungan suara, Riezky Aprilia meraih suara terbanyak kedua setelah Nazarudin, yakni 44.402 suara. KPU pun menetapkan Riezky sebagai caleg terpilih dan berhak dilantik menjadi anggota DPR 2019-2024.
Namun, kemudian, Wahyu diminta mengatur agar Harun yang ditetapkan sebagai caleg terpilih untuk menggantikan Nazarudin, bukan Riezky. Permintaan itu disampaikan kader PDI-P Saeful Bahri kepada orang dekat Wahyu, Agustiani Tio Fridelina. Wahyu dan Agustiani disebut menerima 19.000 dollar Singapura dan 38.350 dollar Singapura atau setara Rp 600 juta dari Saeful.
Kini, Wahyu, Agustiani, dan Saeful telah divonis bersalah karena terbukti memberikan dan menerima suap dalam proses pergantian antarwaktu anggota DPR. Saeful dihukum 1 tahun 8 bulan penjara, Agustiani 4 tahun penjara, dan Wahyu 6 tahun penjara. Sementara Harun, sampai saat ini, belum satu kali pun memenuhi panggilan KPK untuk diperiksa sebagai tersangka.
Boyamin meyakini Harun Masiku sebenarnya bisa ditangkap. Kalaupun Harun bepergian, hanya di sekitar Malaysia dan Filipina. ”Sebelum Covid-19, saya pernah ungkapkan Harun ada di Melaka (Malaysia). Nah, kalau sekarang ada informasi baru, kalau ketemu di jalan, sulit. Sebab, informasinya, yang bersangkutan agak gemuk dan gondrong,” ucapnya.
Pencarian terhadap Harun Masiku sebenarnya masih memungkinkan, asalkan, lanjut Bonyamin, ada kemauan dari penegak hukum. Dia pun mengimbau kepada Harun untuk menyerahkan diri ketimbang terus berlari. Informasi terakhir yang diterima Bonyamin, yang bersangkutan ada di Indonesia.