Tahun Politik, Ketua MA Minta Hakim Jaga Integritas dan Netralitas
MA meminta para hakim serta jajaran pengadilan di bawahnya menjaga integritas dan independensi dalam menangani perkara. Begitu pula ketika perkara-perkara tersebut berkenaan dengan masalah politik.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Mahkamah Agung M Syarifuddin meminta para hakim untuk menjaga integritas dan netralitas di dalam mengadili perkara, termasuk perkara-perkara yang bersinggungan dengan persoalan politik. Ia juga berjanji akan melakukan tindakan tegas bagi aparat pengadilan yang melakukan tindak pidana.
”Siapa pun yang melakukan tindak pidana, tentu akan kami ambil tindakan tegas, seperti yang sudah-sudah. Saya harap jangan ada lagi. Sudahlah. Cukup ini saja. Sudah susah kita. Jangan ada lagi. Tapi kalau memang terjadi, kami akan serahkan sepenuhnya ke pihak yang berwajib untuk menangani itu,” kata Syarifuddin dalam Refleksi Kinerja MA tahun 2023 yang digelar secara daring, Jumat (29/12/2023).
Pada 2022, sejumlah pegawai MA dan juga hakim agung diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat penerimaan suap terkait penanganan perkara. Pascaperistiwa tersebut, Ketua MA mengagendakan 14 langkah perbaikan yang diharapkan mampu mengembalikan kepercayaan publik.
Dalam kesempatan tersebut, Syarifuddin juga mengaku sempat membaca berita mengenai rumor adanya operasi senyap dalam penanganan perkara gugatan yang dilayangkan mantan Ketua MK Anwar Usman terkait pemberhentiannya sebagai Ketua MK ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Sebelumnya, Anwar mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta terkait pemberhentian dirinya sebagai Ketua MK dalam gugatan nomor 604/G/2023/PTUN.JKT.
”Saya tetap mengimbau kepada rekan-rekan kita, di tingkat pertama. Kalau memang ada, karena saya tidak tahu ada apa enggak, baik senyap maupun tidak senyap, jangan dilakukan. Yang kedua, hakimnya sendiri jangan terpengaruh dengan itu,” kata Syarifuddin.
Begitu pula dengan perkara-perkara politik mengingat tahun depan merupakan tahun politik, Ketua MA juga meminta agar aparat pengadilan menjaga netralitas dan tidak berpihak pada salah satu kontestan. Imbauan ini sudah disampaikan di setiap kesempatan kepada seluruh jajaran pengadilan.
Dalam paparannya, Ketua MA juga mengungkapkan ada 296 sanksi disiplin yang dijatuhkan kepada hakim dan pegawai di lingkungan pengadilan sepanjang 2023. Adapun rincian sanksi tersebut, 87 orang dikenai sanksi berat, 55 orang sanksi sedang, dan 154 orang sanksi ringan.
Adapun jumlah pengaduan yang masuk ke Badan Pengawas MA sepanjang 2023 ada 4.137 laporan. Dari jumlah tersebut, 3.885 pengaduan atau 94 persen telah selesai ditangani. Sedangkan sisanya, 252 pengaduan masih dalam proses penanganan.
Begitu pula dengan perkara-perkara politik, mengingat tahun depan merupakan tahun politik, Ketua MA juga meminta agar aparat pengadilan menjaga netralitas.
Sepanjang 2023, MA menerima perkara masuk sebanyak 27.248 perkara. Ditambah sisa perkara tahun sebelumnya sebanyak 260 perkara sehingga total beban MA pada tahun ini adalah 27.508 perkara. Dari jumlah tersebut, MA berhasil memutus 26.903 perkara atau 98,96 persen.
Sementara itu, kinerja minutasi perkara MA tahun 2023 adalah 27.876 perkara atau 102,3 persen dari jumlah perkara yang masuk tahun 2023. Dari jumlah tersebut, 25.096 perkara atau 90,23 persen berhasil diminutasi dalam jangka waktu kurang dari tiga bulan.
Menurut Syarifuddin, capaian kinerja tersebut dihitung berdasarkan data hingga 22 Desember 2023. Jumlah riilnya bisa lebih banyak lagi karena sejak tanggal tersebut hingga kemarin MA masih terus bersidang dan datanya belum masuk dalam laporan yang disampaikan.
Penggunaan kecerdasan buatan
Selain penanganan perkara, MA juga terus melakukan berbagai inovasi dalam mendukung core bussiness MA. Salah satu upaya untuk mendukung agar MA lebih transparan dan akuntabel adalah penggunaan teknologi kecerdasan buatan. Beberapa aplikasi sudah digunakan dan akan terus dikembangkan, antara lain menggunakan Smart Majelis, yakni aplikasi robotika berbasis kecerdasan buatan untuk memilih majelis hakim secara otomatis. Pemilihan majelis hakim tersebut sudah mempertimbangkan jenis perkara yang diadili dan keahlian hakim.
Smart Majelis, kata Syarifuddin, masih diterapkan untuk MA. Ke depan, aplikasi serupa akan dikembangkan hingga pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama agar penentuan majelis hakim bisa lebih transparan dan akuntabel.
Selain itu, MA juga telah menunjuk vendor untuk mengembangkan aplikasi bernama early detection. Aplikasi ini nantinya berguna untuk mendeteksi perkara-perkara serupa saat perkara yang masuk diregister dan diberi nomor perkara. ”Ini menjadi bahan bagi hakim bagaimana perkara itu ditangani sehingga nanti tidak terjadi putusan pengadilan ini begini, putusan pengadilan itu begitu,” kata Syarifuddin.
Peneliti Centra Initiative, Erwin Natosmal Oemar, mengungkapkan, suka tidak suka teknologi kecerdasan buatan harus diterima sebagai fakta yang tidak bisa ditolak. Meskipun demikian, ada dua faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu masukan dari sejumlah pemangku kebijakan seperti akademisi dan praktisi, mengingat penggunaan kecerdasan buatan akan berimplikasi tak hanya ke internal MA, tetapi juga publik.
Selain itu, MA juga perlu mengedepankan transparansi dan akuntabilitas teknologi yang dipakai. Dalam arti, apa fungsi dan manfaat dari kecerdasan buatan tersebut. ”Saya khawatir bahwa penggunaan teknologi hanya menjadi alat simbolik untuk menjustifikasi reformasi. Padahal, sebaliknya, teknologi itu tidak cukup membantu dalam memastikan fungsi-fungsi utama hakim,” kata Erwin.
Ia juga mengingatkan bahwa teknologi tersebut juga berkaitan dengan etik dan fundamental rights (hak-hak fundamental) sehingga tidak sembarangan bisa dipakai. ”Saya khawatir atas nama teknologi, kita hanya jadi epigon atau ikut-ikutan saja. Dalam situasi penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence) untuk hakim dalam pemidanaan, situasinya akan makin rumit karena harus mempertimbangkan standar hak asasi manusia,” pungkas Erwin.