Gaji Melimpah Tak Membendung Hakim Melakukan Korupsi
Gaji seorang hakim bisa berkisar Rp 126 juta hingga Rp 542 juta per tahun. Bagi hakim agung, jumlah itu masih ditambah dengan honorarium per perkara yang diadilinya, plus tunjangan jabatan yang mencapai Rp 72,8 juta.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
Kasus dugaan penerimaan suap yang dilakukan Hakim Agung non-aktif Sudrajad Dimyati sangat disayangkan karena ia telah memperoleh pendapatan hampir ratusan juta per bulan di luar honorarium per perkara yang diadilinya. Dalam kasus yang menjeratnya, Sudrajad diduga menerima suap hingga Rp 800 juta melalui hakim yustisial/panitera pengganti Mahkamah Agung Elly Tri Pangestu.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung, gaji pokok hakim tergantung pada golongan dan masa kerjanya. Golongan terendah (IIIA) dengan masa kerja kurang dari satu tahun memiliki gaji pokok Rp 2.064.100. Sementara itu, gaji golongan tertinggi (IVE) dengan masa kerja 32 tahun memiliki gaji pokok Rp 4.978.000.
Selain gaji pokok, hakim juga mendapatkan tunjangan jabatan yang diberikan setiap bulan berdasarkan jenjang karier, wilayah penempatan tugas, dan kelas pengadilan. Hakim pengadilan tinggi memiliki tunjangan paling rendah Rp 27,2 juta (hakim madya muda) hingga paling tinggi Rp 40,2 juta (ketua pengadilan tinggi).
Sementara itu, hakim pengadilan kelas II untuk jenjang hakim pratama memiliki tunjangan paling rendah Rp 8,5 juta, dan paling tinggi ketua/kepala pengadilan kelas IA khusus memiliki tunjangan Rp 27 juta.
Dari data tersebut terlihat gaji seorang hakim sebesar Rp 126 juta hingga Rp 542 juta per tahun. Bagi hakim agung, jumlah itu masih ditambah lagi dengan honorarium per perkara yang diadilinya. Pendapatan honorarium tersebut merupakan realisasi dari PP No 82/2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Andi Samsan Nganro, Selasa (27/9/2022), mengungkapkan, insentif perkara untuk para hakim agung sangat fluktuatif tergantung berapa banyak perkara yang bisa diputus dan diselesaikan oleh hakim agung dengan tepat waktu. Namun, ia enggan menyebutkan honorarium yang diperoleh seorang hakim agung per perkara.
Hingga kini, jumlah hakim yang pernah diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 23 orang.
Hingga kini, jumlah hakim yang pernah diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 23 orang. Mantan hakim ad hoctindak pidana korupsi pada MA, Krisna Harahap, menegaskan, seorang hakim, terutama hakim agung, sudah memperoleh pendapatan yang tinggi.
”Jika ada hakim (agung) yang korupsi, pasti karena keserakahan,” ujarnya.
Berdasarkan PP No 55/2014, tunjangan jabatan hakim agung MA dan hakim Konstitusi mencapai Rp 72,8 juta, sedangkan Ketua MA dan Mahkamah Konstitusi sebesar Rp 121,6 juta.
Bahkan, menurut Krisna, gaji hakim agung mencapai hampir ratusan juta per bulan belum ditambah bonus setiap memutus perkara. Alhasil, semakin banyak perkara yang diputus, semakin banyak bonus yang diperoleh. Berdasarkan data MA pada periode Januari-Juli 2022, MA menangani 18.753 perkara atau rata-rata 2.579 perkara per bulan.
”Tinggal di apartemen, anggota lembaga tinggi negara. Semua dijamin. Termasuk bahan bakar dalam dan luar kota untuk (mobil) Camry yang juga leluasa dipakai. Lalu, apalagi alasan untuk korupsi? Bukankah hanya karena serakah?” tutur Krisna.
Senada dengan Krisna, Peneliti Senior Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter Kaban menilai korupsi yang dilakukan seorang hakim patut diduga karena keserakahan. Gaji yang diperoleh hakim seharusnya sudah mencukupi kebutuhan.
Harta yang dimiliki Sudrajad, misalnya, berdasarakan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) periodik 2021, Sudrajad memiliki harta hingga Rp 10,7 miliar.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Arsil, menyayangkan seorang hakim agung melakukan korupsi. ”Agak kurang bisa diterima akal jika hakim agung yang pendapatannya sudah sangat mencukupi, berada di puncak karier, hidupnya terjamin hingga 70 tahun, memiliki jabatan yang sedemikian prestisius, masih melakukan koroupsi. Apa tidak malu, ya, di masa tuanya? bukannya meninggalkan nama baik, tetapi justru sebaliknya,” tuturnya.
Salah satu faktor yang cukup besar menyebabkan korupsi di peradilan adalah rendahnya kepastian hukum.
Menurut Arsil, salah satu faktor yang cukup besar menyebabkan korupsi di peradilan adalah rendahnya kepastian hukum. Ketika hukum itu tidak pasti dan tidak terduga, maka bisa memberikan diskresi yang besar pada aparatnya. Diskresi yang terlalu besar ini membuka peluang besar terjadinya korupsi.
Oleh karena itu, MA perlu membangun sistem yang mampu memberikan kepastian hukum dan putusan harus dapat diprediksi. ”Memastikan, baik hakim, panitera, pegawai, dan lain-lain dimulai dari yang ada di MA itu sendiri, memiliki harta kekayaan yang wajar, sebanding dengan pendapatannya yang sah,” tutur Arsil.