Selain minimnya jumlah undang-undang yang berhasil diselesaikan, proses legislasi di DPR juga masih minim partisipasi publik.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kinerjalegislasi Dewan Perwakilan Rakyat pada tahun keempat masa jabatannya masih belum memuaskan. Mayoritas rancangan undang-undang yang masuk ke dalam program legislasi nasional prioritas tahun 2023 mandek, tak ada perkembangan dalam pembahasannya. DPR hanya berhasil mengesahkan enam RUU atau 15,4 persen dari total RUU yang ditargetkan.
Selain kurang optimal secara kuantitatif, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) juga mencatat masih adanya masalah dalam proses pembahasan, yaitu kurangnya/sulitnya Masyarakat mengakses informasi. Hal tersebut juga berkorelasi dengan tidak terpenuhinya syarat partisipasi bermakna atau meaningfull participation dalam proses pembahasan.
Hal tersebut mengemuka dalam webinar ”Catatan Akhir Tahun Legislasi 2023, Kemunduran Reformasi dan Merosotnya Demokrasi” yang diselenggaran PSHK, Jumat (22/12/2023). Hadir sebagai pembicara dalam webinar tersebut, peneliti PSHK Bugivia Maharani dan Violla Reininda, serta Deputi Direktur Eksekutif PSHK Fajri Nursyamsi.
Berdasarkan catatan PSHK, pada tahun 2023, ada sebanyak 27 RUU yang mandek/tanpa perkembangan. Lalu, ada 10 RUU yang masih dalam proses pembahasan antara DPR dengan pemerintah. Sementara hanya enam RUU yang berhasil disahkan.
Maharani juga memaparkan capaian kinerja DPR dari tahun 2020 hingga 2023. Pada tahun pertama masa jabatan DPR periode 2019-2024 atau tahun 2020, sebanyak tiga RUU disahkan dari total 37 RUU yang menjadi target pada tahun tersebut atau hanya sekitar 8,1 persen. Pada tahun berikutnya, sebanyak 3 RUU kembali diselesaikan dari target 37 RUU atau terealisasi 8,1 persen. Kemudian, pada tahun 2022, sebanyak 7 dari target 40 RUU terselesaikan atau terealisasi 17,5 persen.
Dalam catatan PSHK, DPR periode ini terlihat kurang produktif dalam hal legislasi. Dari target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) lima tahunan sebanyak 259 RUU, hanya 19 RUU atau sekitar 7,3 persen yang berhasil diselesaikan.
Angka tersebut jauh dibandingkan dengan DPR periode sebelum-sebelumnya. DPR periode 2014-2019 dapat menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan 33 RUU dari target 189 RUU atau sekitar 17,4 persen. Sementara DPR periode 2009-2014 mampu menyelesaikan 70 RUU dari 262 RUU yang ditargetkan atau sekitar 26,7 persen dari target yang ditetapkan.
DPR periode ini terlihat kurang produktif dalam hal legislasi. Dari target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) lima tahunan sebanyak 259 RUU, hanya 19 RUU atau sekitar 7,3 persen yang berhasil diselesaikan
Peneliti PSHK, Bugivia Maharani, menyoroti tentang sulitnya Masyarakat mengakses informasi terkait proses pembahasan sebuah RUU. Tidak semua informasi yang tercantum dalam rekam jejak legislasi DPR (di laman resmi DPR) sesuai dengan perkembangan pembahasan terkini. Sebagian RUU juga tidak dilengkapi dengan dokumen pendukung.
Terbatasnya akses informasi tersebut membuat partisipasi publik dalam proses legislasi juga minim. Menurut Maharani, partisipasi yang bermakna yang mensyaratkan terpenuhinya tiga hak, yaitu hak untuk didengarkan, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk memperoleh penjelasan apakah masukannya diakomodasi atau tidak belum terpenuhi.
Sementara itu, Fajri menilai, partisipasi publik yang dilakukan dalam pembahasan RUU sering kali hanya bernilai mobilisasi. Padahal, konstitusi menjamin adanya transparansi dan partisipasi bagi publik dalam proses legislasi, yakni di dalam Pasal 28F dan 28E UUD 1945. Lebih jauh, putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait pengujian formil UU Cipta Kerja memerintahkan terpenuhinya partisipasi yang bermakna, Di mana mensyaratkan terpenuhinya tiga hak (right to be heard, right to be considered, right to be explained).
Namun, ia mencatat setidaknya lima hambatan terpenuhinya partisipasi dalam proses legislasi. Di antaranya, tidak tersedianya dokumen legislasi karena tidak terpublikasi (misalnya draf RUU yang belum menjadi dokumen terbuka untuk publik karena statusnya masih dalam proses pembahasan); sulitnya mengakses rapat pembahasan RUU karena rapat dinyatakan sebagai rapat tertutup atau karena rapat tidak dilakukan secara live streaming.
Selain itu, hambatan ketiga bagi publik untuk dapat berpartisipasi juga karena proses pembahasan di Senayan dilakukan secara terburu-buru. Hal ini mengakibatkan masyarakat tidak memiliki waktu yang cukup untuk memberikan masukan sehingga partisipasi Masyarakat dikorbankan. Hal lainnya, kata Fajri, partisipasi masih dilakukan secara satu arah atau bukan deliberasi (ada dialog).
”DPR/Presiden melaksanakan ‘hak didengarkan’ bagi publik, tetapi tidak untuk ‘hak dipertimbangkan’ dan ‘hak mendengarkan penjelasan’,” ujarnya.
Hal lainnya adalah partisipasi dipandang sebagai mobilisasi. Dalam konteks ini, menurut Fajri, kehadiran kelompok masyarakat untuk memberikan masukan dalam pembahasan RUU sebatas formalitas untuk memenuhi tahapan pembahasan.
Ke depan, ia berharap ada perbaikan-perbaikan dalam proses legislasi. Hal itu, antara lain, dilakukan dengan memastikan siapa yang bertugas menghadirkan transparansi dan partisipasi dalam proses legislasi, juga perlu dipastikan bahwa partisipasi tersebut merupakan ruang dialogis (bukan satu arah untuk menampung aspirasi).
Fajri juga meminta adanya pengetatan syarat penentuan rapat tertutup dalam pembahasan sebuah RUU. Selain itu, perlu ada penegasan bahwa bila ada hal yang dirahasiakan, obyeknya ada pada informasinya, tetapi bukan pada dokumen legislasinya.