Kerja DPR dinilai belum memuaskan meski Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan. Masih ada sejumlah RUU mendesak, salah satunya RUU tentang Perlindungan Data Pribadi belum tuntas dibahas DPR.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan di masa sidang keempat dinilai masih jauh dari memuaskan. Pada periode tersebut, hanya satu rancangan undang-undang yang disahkan, yakni Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Masa Sidang IV DPR Tahun 2021-2022 dimulai pada 15 Maret dan berakhir pada 14 April 2022. Pada masa sidang tersebut, DPR mengesahkan satu rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang, yaitu RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Namun, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, pengesahan RUU tersebut bukan karena prestasi pimpinan DPR atau pimpinan Badan Legislasi, melainkan karena dorongan dan tekanan dari publik.
”Hanya karena RUU TPKS ini memang dirindukan oleh publik sehingga apresiasi terhadapkinerja DPR kemudian dapat menutup celah untuk menyampaikan kritik ataskinerja mereka yang sesungguhnya tidak banyak berubah dari sisikuantitatif,” kata peneliti Formappi, Lucius Karus, dalam jumpa pers daring, Kamis (12/5/2022).
Menurut Lucius, disahkannya RUU TPKS menjadi undang-undang menjadi bukti bahwa DPR terkadang dapat memberikan respons sesuai yang diinginkan publik. Meski demikian, terlalu berlebihan jika mengatakan bahwa disahkannya RUU TPKS karena semata jasa DPR. Sebab, DPR tidak bisa menunjukkan produktivitas yang serupa dalam masa sidang IV tersebut.
Peneliti senior Formappi, Djadijono, memaparkan, meski RUU TPKS akhirnya disahkan, masih ada RUU tentang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP) yang tak kunjung disahkan. Padahal, kasus pencurian data pribadi terus terjadi. Penundaan pengesahan RUU PDP hanya menyangkut tentang pihak yang menjadi pengawas perlindungan data pribadi. Demikian pula RUU tentang Penanggulangan Bencana malah dihentikan pembahasannya hanya karena menyangkut nomenklatur Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Masih terkait fungsi legislasi DPR, Formappi juga menyoroti pembahasan Revisi Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) yang dalam waktu singkat disetujui Badan Legislasi DPR bersama pemerintah untuk segera disahkan rapat paripurna menjadi undang-undang. Hal itu dilakukan untuk merespons putusan Mahkamah Konstitusi atas UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Menurut Djadijono, langkah DPR dan pemerintah tersebut dinilai ceroboh. Kedua pihak dinilai tidak memahami amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tertanggal 25 November 2021 terhadap perkara Nomor 91/PUU- XVIII/2020 yangmenyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja cacat secara formil dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan tersebut diucapkan.
”Jadi perintah MK bukan untuk merevisi UU PPP, melainkan memperbaiki UU Cipta Kerja,” kata Djadijono.
Secara keseluruhan, kata Djadijono, kinerja legislasi DPR tidak pantas diapresiasi karena dari 40 RUU dalam Prolegnas Prioritas tahun 2022 baru 3 RUU yang dapat disahkan, yakni UU tentang Ibu Kota Negara (IKN), UU tentang Keolahragaan serta UU tentang TPKS. Sementara, masih banyak RUU yang belum diselesaikan, termasuk yang mendesak untuk segera dituntaskan, antara lain Revisi terhadap UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, RUU tentang PDP, serta Revisi terhadap UU tentang Cipta Kerja. Dengan masih banyaknya beban tersebut, 40 RUU Prolegnas Prioritas Tahun 2022 hampir pasti tidak dapat diselesaikan.
Terkait dengan fungsi anggaran, pembahasan realisasi serap anggaran kementerian/lembaga tahun anggaran 2021 oleh komisi pada masa sidang keempat hanya dilakukan oleh 4 dari 11 Komisi, yaitu Komisi I, II, III, dan V. Jika dibandingkan dengan masa sidang ketiga, saat itu terdapat sembilan komisi yang membahas serap anggaran. Hal itu menunjukkan terjadinya penurunan yang sangat drastis dari kinerja komisi di DPR.
Di sisi lain, proyek penggantian gorden rumah dinas anggota DPR di Kalibata, Jakarta, senilai Rp 48,7 miliar yang menuai kritik dari publik tetap berlanjut hingga sekarang. Bahkan, rangkaian proses tender yang akhirnya memenangkan PT Bertiga Mitra Solusi dinilai hanya formalitas.
Mengenai fungsi pengawasan, Formappi menilai, DPR lebih membela kepentingan elite dibandingkan rakyat. Hal itu tampak antara lain Komisi VI yang mendukung penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi dan mendesak pemerintah untuk segera menetapkan formula harga pertalite yang tidak merugikan PT Pertamina. DPR juga dinilai tidak peduli dengan situasi keamanan masyarakat sipil di Papua.
Demikian pula tentang wacana penundaan pemilu tidak direspons oleh DPR secara kelembagaan dengan cepat. DPR melalui alat kelengkapannya tidak memanggil para menteri yang melontarkan wacana tersebut. Respons DPR secara kelembagaan baru muncul menjelang berakhirnya masa sidang keempat dengan menegaskan bahwa hari pemungutan suara pemilihan umum serentak adalah 14 Februari 2024.
”Patut diduga bahwa jika tidak terjadi unjuk rasa secara besar-besaran di sejumlah daerah dan di depan Gedung DPR, maka penundaan Pemilu 2024 bisa saja menjadi kenyataan. Jika itu terjadi, maka secara otomatis masa jabatan para anggota DPR pun akan ikut diperpanjang. Dengan demikian, DPR terlihat lebih berpihak kepada elite dan dirinya sendiri,” tutur Djadijono.
Meski demikian, di sisi lain, peristiwa pimpinan DPR bersedia menemui demonstran pada 11 April maupun menerima perwakilan demonstran pada 21 April dinilai sebagai kemajuan. Sebab, selama ini jarang atau tidak pernah terjadi anggota DPR atau pimpinan DPR menemui atau menerima demonstran. Hal itu menimbulkan harapan bahwa anggota DPR mulai menyadari salah satu tugasnya, yakni menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Dari banyak hal yang disorot Formappi, Lucius berharap agar fungsi legislasi DPR, khususnya dalam membahas rancangan undang-undang yang sudah lama ditunggu publik, seperti RUU PDP, dapat segera dituntaskan. Sebab, Pemilu 2024 dikhawatirkan akan memengaruhi DPR.
”Selama ini RUU itu berantakan (pembahasannya) karena kepentingan politik, misal berebut lembagapengawas untuk data pribadi yang ketika mendekati pemilu, perebutan itu jadisemakin kuat. Oleh karena itu, sebelum sangat memanas persiapan Pemilu 2024,kita berharap di masa sidang kelima nanti RUU itu dibahas dan diselesaikan dengan cepat,” kata Lucius.
Secara terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya mengatakan, proses pembahasan RUU TPKS menjadi undang-undang menjadi tolok ukur DPR ke depan. Sebab, dalam proses penyusunan RUU TPKS, terjadi kesesuaian kemauan politik antara DPR, pemerintah, beserta masyarakat sipil yang mengawal dan terlibat dalam arti yang luas.
Terkait dengan kritik yang disampaikan Formappi, Willy menyatakan, pihaknya menerima kritik itu sebagai kontrol atas kerja-kerja legislatif. ”Tentu itu akan menjadi catatan untum memperbaiki kerja-kerja legislasi,” kata Willy.
Menurut Willy, terkait dengan kekhawatiran bahwa persiapan Pemilu 2024 akan mengganggu kinerja DPR, ia berharap agar anggota DPR tetap fokus dengan tugas-tugasnya. Meski demikian, Willy juga menyampaikan adanya pergeseran tendensi kerja parlemen di dunia dari kerja legislasi menjadi kerja pengawasan. Sebab, katanya, kerja pengawasan untuk memastikan undang-undang beserta peraturan turunannya berjalan efektif atau tidak juga tidak kalah penting. Jika kerja legislasi berada di hulu, kerja pengawasan berada di hilir.
”Fungsi parlemen sekarang adalah fungsipengawasan karena undang-undang sudah banyak (dibuat). Legislasi penting tetapi yang tidak kalah penting adalah pengawasan.Efektivitasnya seperti apa, aturan turunannya seberapa efektif,” kata Willy.