Kinerja DPR Dinilai Tak Maksimal Selama Pandemi Covid-19
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus mengatakan, selama pandemi Covid-19 satu setengah tahun, DPR dinilai bekerja tak maksimal jalankan tugas pokok dan fungsinya di pengawasan dan legislatif.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama pandemi Covid-19 berjalan satu setengah tahun, DPR dinilai bekerja tidak maksimal melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Mereka diharapkan memperbaiki kinerjanya dalam tiga tahun sisa masa baktinya. Perlu langkah terobosan untuk pengawasan di tengah keterbatasan yang ada.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, hingga masa sidang kelima atau masa sidang terakhir 2020-2021, kinerja DPR dirasakan paling kurang di era reformasi.
”Bayangkan, sampai berakhirnya dua tahun sidang pertama DPR, baru empat undang-undang prioritas yang berhasil disahkan. Itu sangat memprihatinkan. Kerja dua tahun, dari seratus sekian RUU prioritas lima tahun, baru empat yang berhasil disahkan DPR 2019-2024 ini,” kata Lucius dalam konferensi pers bertajuk ”DPR ke Mana?” yang diadakan Formappi secara daring, Kamis (12/8/2021).
Ia menjelaskan, jumlah pengesahan undang-undang tersebut jauh lebih sedikit dibandingkan dengan DPR periode 2014-2019. Dalam dua tahun pertamanya, DPR periode 2014-2019 bisa menghasilkan 16 rancangan undang-undang (RUU).
Bayangkan, sampai berakhirnya dua tahun sidang pertama DPR, baru empat undang-undang prioritas yang berhasil disahkan. Itu sangat memprihatinkan. Kerja dua tahun, dari seratus sekian RUU prioritas lima tahun, baru empat yang berhasil disahkan DPR periode 2019-2024. (Lucius Karus)
Selama masa sidang kelima, DPR hanya mampu mengesahkan satu RUU prioritas, yakni RUU Perubahan UU tentang Otonomi Khusus Papua. Sebaliknya, RUU yang sudah dibahas secara mendalam dan pernah diperpanjang beberapa kali masa sidang tidak kunjung disahkan.
RUU tersebut, antara lain, RUU Perubahan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, RUU Perubahan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan RUU tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Padahal, UU tentang PDP dan penanggulangan bencana sangat dibutuhkan masyarakat.
Pengesahan RUU Perubahan UU Otonomi Khusus Papua juga tidak layak mendapatkan apresiasi. Sebab, pembahasannya sangat minim partisipasi masyarakat.
Lebih memprihatinkan lagi pelaksanaan fungsi DPR yang lainnya, seperti pengawasan dan anggaran. Lucius mengatakan, di tengah situasi sulit masa pandemi Covid-19, alih-alih menunjukkan kinerja yang memadai terkait dengan pelaksanaan fungsi, DPR justru disibukkan oleh berbagai kontroversi dari kejanggalan kebijakan.
”Kita masih ingat beberapa kebijakan terkait dengan permintaan fasilitas khusus, fasilitas istimewa. Ada juga yang kemudian menyelenggarakan pernikahan di masa pandemi, di restoran. Ini hal-hal yang membuat kita semua merasa bahwa sebagai wakil rakyat, DPR ini justru gagal hadir bersama rakyat di tengah situasi di mana rakyat paling membutuhkan mereka,” tutur Lucius.
Oleh karena itu, Lucius mengatakan, pengawasan terhadap DPR harus terus dilakukan. Kinerja DPR harus terus dikontrol. Sebab, mereka masih punya masa bakti sekitar tiga tahun lagi. Ia tidak ingin dalam tiga tahun tersebut hanya akan diakhiri dengan cerita tentang produktivitas buruk yang terus berlanjut. Ia berharap, akan muncul semangat dari DPR untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi rakyat dan bangsa.
Kurangi pengawasan
Demikian juga fungsi legislasi terhambat karena banyak anggota DPR khawatir bahwa pembahasan secara virtual nanti menimbulkan persoalan-persoalan terkait rumusan yang disepakati dan lain-lain. (Arsul Sani)
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, tidak bisa dimungkiri bahwa pandemi Covid-19, dengan berbagai kebijakan pembatasan, mengurangi aktivitas pengawasan dan legislasi DPR. Namun, tidak dengan fungsi anggaran.
Arsul mengungkapkan, rapat-rapat dalam rangka pembahasan RAPBN 2022 dan pembahasan RUU Perhitungan RAPBN 2020 tetap berlangsung dengan baik meskipun banyak dilakukan dengan cara virtual.
Ia menuturkan, aktivitas pengawasan secara fisik terhadap mitra kerja paling terbatasi, terutama dalam enam bulan terakhir. Kunjungan ke lapangan sedikit sekali karena ada berbagai kebijakan pemerintah yang membatasinya yang disertai dengan kebijakan bekerja dari rumah.
”Demikian juga fungsi legislasi terhambat karena banyak anggota DPR khawatir bahwa pembahasan secara virtual nanti menimbulkan persoalan-persoalan terkait rumusan yang disepakati dan lain-lain,” kata Arsul.