”Perang” Alat Peraga Kampanye Caleg, Masihkah Efektif Yakinkan Pemilih?
Caleg berlomba-lomba memadati titik strategis dengan alat peraga kampanye. Apakah masih tepat untuk meyakinkan pemilih?
Menghadapi Pemilu 2024, banyak calon anggota legislatif masih mengandalkan poster, spanduk, dan baliho untuk mengampanyekan diri kepada calon pemilih. Saking pentingnya alat peraga kampanye itu, titik-titik strategis yang banyak dilalui orang menjadi rebutan.
Ketika ruang memasang alat peraga tak lagi tersedia, pohon, tiang listrik, hingga rumah warga pun menjadi sasaran untuk dipasangi alat peraga. Namun, sejauh mana sesungguhnya efektivitas dari pemasangan banyak alat peraga itu untuk meyakinkan calon pemilih agar memilih calon anggota legislatif (caleg) tertentu?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Mikhael Sinaga (33), caleg dari Partai Kebangkitan Bangsa yang berlaga di Daerah Pemilihan Sumatera Utara 1, tetap beranggapan alat peraga kampanye (APK), seperti baliho, spanduk, stiker, dan kartu nama, tetap dibutuhkan.
Dia bahkan mengalokasikan hingga 50 persen biaya kampanye untuk pengadaan APK. Baru sisanya untuk biaya operasional dan biaya pertemuan langsung dengan masyarakat.
”Saya sudah mencetak 50.000 kartu nama dan ratusan baliho. Menurut saya, baliho dan sejenisnya penting agar pemilih ingat nama, nomor urut, dan partai kita,” kata Mikhael saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (12/12/2023).
Baca juga: Rahasia Caleg Modal Cekak Menembus Parlemen
Baliho dan spanduk telah disebar ke empat kabupaten yang masuk Dapil Sumut 1. Mikhael setuju pertimbangan calon pemilih memilih caleg bukan karena alat peraga kampanye. Namun, sebagai pengingat bagi mereka, APK jadi sangat penting. Bahkan, sebagian baliho didesain seperti bentuk surat suara dengan harapan akan membekas pada ingatan pemilih di hari pencoblosan, 14 Februari 2024.
Apalagi dirinya merupakan caleg debutan yang tingkat popularitasnya belum sama dengan caleg petahana. ”Caleg sangat banyak, makanya kami perlu pasang APK supaya orang ingat terus dengan nama dan nomor urut saya,” kata Mikhael.
Baca juga: Menembus ”Belantara” Pemilu dengan Basis Saintifik
Namun, tak hanya mengandalkan APK, Mikhael sadar untuk meyakinkan pemilih, dirinya harus bertemu langsung dengan masyarakat di dapilnya. Ini terutama untuk menyampaikan programnya jika kelak berhasil terpilih.
Maka, ia rutin bertemu masyarakat. Bahkan, belakangan, hampir setiap hari dia bertemu masyarakat. ”Kami menyampaikan program kepada pemilih seperti kenaikan dana desa, listrik dan BBM gratis untuk warga miskin,” kata Mikhael.
Tak hanya caleg baru seperti Mikhael, caleg petahana juga tak ingin kalah dan masih mengandalkan APK. Hanya saja, proporsi anggaran untuk pengadaan dan pemasangan APK diklaim tak lagi besar seperti saat baru berkontestasi di pemilu.
Caleg petahana dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Masinton Pasaribu, misalnya, mengungkapkan, hanya mengalokasikan dana kampanye sekitar 35 persen untuk pengadaan APK, 25 persen untuk suvenir, dan 40 persen untuk biaya operasional.
Baca juga: Caleg Tandem, Simbiosis Mutualisme demi Gaet Suara Pemilih
”Baliho dan spanduk tetap ada, tetapi tidak terlalu masif,” ujar Masinton yang mencalonkan diri di Dapil DKI Jakarta 2 yang meliputi Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat serta luar negeri.
Dapil DKI Jakarta 2 disebut sebagai dapil neraka karena banyak caleg petahana dan tokoh yang maju di dapil tersebut, seperti Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dari PKB, anggota DPR petahana Himmatul Aliyah dari Gerindra, anggota DPR petahana Christina Aryani dari Golkar, dan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid dari PKS.
Meski demikian, Masinton tak gusar dengan mengumbar terlalu banyak APK. ”Saya dua periode di DPR, saya punya rumah aspirasi tempat bertemu dengan warga. Sebenarnya saya kampanye setiap hari, bukan hanya saat pileg (pemilihan anggota legislatif),” katanya.
Begitu pula calon anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil. Caleg petahana yang akan kembali berkontestasi di Dapil Aceh ini juga mengaku hanya mengalokasikan sekitar 25 persen dari total dana kampanye dan sisanya untuk biaya operasional.
Kiprahnya selama tiga periode menjabat anggota DPR diyakininya sudah diketahui masyarakat di dapilnya. Selama menjabat anggota DPR, ia rajin bertemu masyarakat sehingga masyarakat sudah cukup mengenalnya.
Dengan demikian, ia merasa tak perlu terlalu banyak pemasangan APK di dapilnya meski APK tetap penting untuk mengenalkannya pada calon pemilih yang belum mengenalnya, atau sebagai penanda bagi pemilih lama bahwa ia maju kembali di Pemilu 2024, dan bisa dipilih oleh pemilih.
Baca juga: Caleg Pesohor, dari Panggung Turun ke Kampung
Nasir juga masuk dalam tim kampanye capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Ia melihat calon pemilih Anies banyak di Aceh. Hal itu pun memberikan keuntungan kepadanya karena efek ekor jas atau efek suara dari pemilih capres Anies bisa berpeluang besar ikut diterimanya.
Tantangan caleg
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) Hurriyah, saat ini perhatian publik tersedot pada kompetisi calon presiden-calon wakil presiden sehingga caleg harus bekerja lebih keras dan lebih kreatif untuk memikat atensi dari calon pemilih.
Untuk itu, tidak cukup dengan model konvensional seperti pemasangan APK. Dia bahkan menilai pemasangan APK ini tidak efektif untuk bisa meyakinkan calon pemilih agar memilih calon tertentu.
Pasalnya, dari analisisnya, pemilih cenderung memilih karena figur atau personal kandidat. Dengan kata lain, pemilih harus mengenali betul calon yang akan dipilihnya. Untuk itu, caleg mau tidak mau harus rajin turun ke masyarakat, mengenalkan diri, termasuk menyosialisasikan program dan gagasannya jika kelak terpilih.
Pengamat politik dari Voxpol Centre, Pangi Syarwi, sepakat dengan hal ini. Menurut Pangi, pertemuan tatap muka dengan masyarakat tidak bisa digantikan oleh kehadiran APK seperti baliho dan spanduk.
”Pertemuan tatap muka, menyapa, menyalami calon pemilih sangat penting agar pemilih kenal calon. Jangan hanya minyak goreng yang datang, tetapi orangnya tidak pernah datang,” kata Pangi.
Program yang dibawa oleh calon, lanjut Pangi, juga harus relevan dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan ini bisa berbeda-beda di setiap wilayah dalam dapil sehingga calon harus siap dengan beberapa program dan mengampanyekan program di satu wilayah sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayah itu. Maka, agar program tepat sasaran dan menarik atensi pemilih, caleg dituntut untuk riset terlebih dahulu.
Selain kampanye tatap muka, menurut Pangi, para caleg harus memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan gagasan dan memperkuat citra. ”Apa yang dilakukan secara offline dikoneksikan ke media sosial agar dampaknya lebih luas,” tambahnya.
Baca juga: Lain Partai Politik, Lain Pula Strategi Twitnya
Hal yang juga patut diperhatikan, katanya, calon dituntut hati-hati dalam memasang APK. Pemasangan APK yang sembarangan, sehingga merusak estetika, melukai pohon, dan di rumah-rumah warga tanpa seizin pemilik rumah, justru bisa menjadi bumerang bagi kandidat.
Ini seperti bisa dilihat dari kicauan banyak warganet di media sosial. Bahkan tak jarang, karena geram dengan pemasangan APK secara sembarangan, muncul seruan agar caleg pemasang APK tak dicoblos pemilih. Tentu, hal itu tak diharapkan oleh kandidat untuk bisa dipilih di Pemilu 2024.