Butuh Jawaban Presiden, Komisi III DPR Buka Peluang Hak Interpelasi
Setelah Ketua KPK 2015-2019 Agus Rahardjo mengaku pernah diminta Presiden Jokowi menghentikan kasus korupsi KTP-el, sejumlah anggota dan pimpinan Komisi III DPR minta Agus menjelaskan rinci soal intervensi Presiden.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah anggota dan pimpinan Komisi III DPR menilai mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo perlu menjelaskan secara rinci mengenai intervensi Presiden Joko Widodo dalam penanganan kasus korupsi pada proyek pengadaan KTP elektronik atau KTP-el yang melibatkan bekas Ketua DPR Setya Novanto. Tak berhenti di sana, terbuka kemungkinan pula, Komisi III DPR menggunakan hak interpelasinya untuk meminta keterangan Presiden Jokowi mengenai tuduhan ini sehingga tidak menjadi liar di publik.
Sebelumnya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Agus Rahardjo mengaku pernah diminta Presiden Joko Widodo menghentikan kasus korupsi KTP-el. Agus menyampaikan pengakuannya itu dalam acara bincang-bincang dengan Rosianna Silalahi di KompasTV, Kamis (30/11/2023) malam. Terhadap tuduhan itu, Istana membantahnya.
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (1/12/2023), mengatakan, pihaknya belum bisa menindaklanjuti pengakuan itu lebih jauh. Sebab, persoalan hukum harus berbasis fakta. Agus dinilai perlu memberikan penjelasan dan bukti-bukti terkait dugaan intervensi yang dilakukan Presiden terhadap penanganan kasus korupsi KTP-el.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, menegaskan, DPR sebaiknya memanggil Agus untuk menerangkan lebih rinci mengenai pernyataannya ini. ”Apa betul Presiden Jokowi mengintervensi proses hukum di KPK? Jangan sebar hoaks ke masyarakat, sebab kalau cerita ini benar, rakyat bisa marah,” ujarnya.
Apa betul Presiden Jokowi mengintervensi proses hukum di KPK? Jangan sebar hoaks ke masyarakat, sebab kalau cerita ini benar, rakyat bisa marah.
Bisa gunakan hak interpelasi
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, mengaku terkejut setelah mendengar pernyataan Agus. Informasi yang disampaikan Agus, menurut dia, membuat rakyat miris, menurunkan derajat seorang presiden, serta memberi gambaran bahwa institusi penegak hukum menjadi alat kekuasaan politik. ”Nah, ini yang kemudian kita khawatirkan,” ujarnya.
Nasir beranggapan, bantahan Istana belum cukup memberikan jawaban atas situasi yang terjadi. Sebab, tuduhan Agus sangatlah serius. Jika Istana menganggap tuduhan Agus tidak benar dan merasa dirugikan dengan tuduhan tersebut, seharusnya mereka melaporkan Agus ke aparat penegak hukum. Sebab, tuduhan itu sudah mengarah ke pembunuhan karakter, fitnah, dan mendegradasikan posisi Presiden.
”Jadi, ini serius. Kalau memang tidak ada, lapor. Karena (pernyataan Agus) itu dilihat dan ditonton oleh banyak orang. Pertanyaannya, Presiden berani enggak melaporkan itu? Kalau enggak lapor, ya itu, kan, hanya bantah-bantah doang. Membantah itu, kan, bisa jadi sekadar untuk meyakinkan publik. Tetapi apa iya sekelas Agus berbohong di depan publik dan mengada-ada. Kan, ini membahayakan posisinya. Agus juga sadar, sebagai mantan penegak hukum, jika pernyataannya tidak benar, ada konsekuensi hukum,” kata Nasir.
Kalau enggak lapor, ya itu, kan, hanya bantah-bantah doang. Membantah itu, kan, bisa jadi sekadar untuk meyakinkan publik. Tetapi, apa iya sekelas Agus berbohong di depan publik dan mengada-ada. Kan, ini membahayakan posisinya. Agus juga sadar, sebagai mantan penegak hukum, jika pernyataannya tidak benar, ada konsekuensi hukum.
Di sisi lain, menurut Nasir, pernyataan Agus juga harus disikapi secara serius oleh kekuatan-kekuatan politik di DPR. Jika dilihat secara politik, DPR bisa saja menggunakan haknya, hak interpelasi. ”Kami berhak untuk bertanya apa benar seperti itu? Itu kalau DPR mau menggunakan haknya. Soal apakah DPR mau menggunakan itu, ya tergantung inisiatif dari anggotanya. Dan anggota tergantung sikap politik dari fraksi-fraksi. Artinya, secara politik, DPR bisa saja bersikap, bisa saja juga tidak bersikap,” tegasnya.
Nasir berharap, proses ini tidak sampai pada penggunaan hak interpelasi. Untuk itu, Presiden harus bisa menjelaskan secara rinci atas tuduhan Agus. ”Yang jelas, kalau Presiden merasa disudutkan, tidak cukup bantah-membantah. Buktikan kalau itu tidak benar. Sebagai negara hukum, kita punya perangkat hukum untuk buktikan itu benar atau tidak. Begitu pula dari sisi politiknya,” ujarnya.
Berdampak buruk
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Trimedya Panjaitan, mengaku kaget atas pengakuan yang disampaikan Agus. Selain kabar yang disampaikan, keberanian Agus untuk mengemukakan pengalaman yang menyebut bahwa Presiden bermaksud mengintervensi penanganan kasus korupsi juga mengagetkan. Sebab, keberaniannya mengungkapkan hal tersebut tentu bakal memiliki konsekuensi, baik sosiologis maupun yuridis.
Kami mengapresiasi keberanian Pak Agus menyampaikan itu, apalagi Pak Agus bukan tim sukses dari salah satu pasangan calon presiden, dan kita tahu dia adalah orang yang sangat jauh dari ingar-bingar politik saat ini atau saat memimpin KPK. Jika ada yang menganggap ini bermuatan politis, saya kira berlebihan.
”Kami mengapresiasi keberanian Pak Agus menyampaikan itu, apalagi Pak Agus bukan tim sukses dari salah satu pasangan calon presiden, dan kita tahu dia adalah orang yang sangat jauh dari ingar-bingar politik saat ini atau saat memimpin KPK. Jika ada yang menganggap ini bermuatan politis, saya kira berlebihan,” katanya.
Meski belum terbukti kebenarannya, Trimedya mengingatkan bahwa Presiden tidak boleh mengintervensi kasus hukum. Ia pun meyakini, persoalan ini masih akan terus bergulir dan membutuhkan penjelasan dari Presiden. ”Istana harus menjawab itu,” katanya.
Trimedya melihat, salah satu yang bisa menjadi kecurigaan publik adalah kepentingan pemerintah dalam merevisi Undang-Undang KPK. Selama ini, publik mengkritik revisi UU KPK yang dilakukan pada 2019 merupakan kepentingan DPR untuk melemahkan lembaga antirasuah. Akan tetapi, pengakuan Agus memicu dugaan bahwa pemerintah juga berkepentingan untuk memasukkan KPK menjadi bagian dari eksekutif karena tidak bisa mengintervensinya.
Yang jelas, itu bisa berdampak buruk dan ekspektasi publik terhadap Presiden Joko Widodo akan menurun, dan ya pantas saja indeks persepsi korupsi kita rendah.
Apalagi Agus juga menyampaikan, setelah pertemuan dengan Presiden itu, dirinya tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan revisi UU KPK, bahkan tidak mendapatkan draf RUU tersebut. ”Karena itu, kalau selama ini dianggap kami (DPR) yang punya syahwat tinggi untuk merevisi UU KPK, ternyata pemerintah juga seperti itu,” ujar Trimedya.
Kendati demikian, ia belum bisa menegaskan langkah apa yang bisa dilakukan DPR. Informasi ini baru didengar. DPR pun perlu memperhatikan dinamika politik yang terjadi ke depan. ”Yang jelas, itu bisa berdampak buruk dan ekspektasi publik terhadap Presiden Joko Widodo akan menurun, dan ya pantas saja indeks persepsi korupsi kita rendah,” kata Trimedya.
Tidak boleh intervensi
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD seusai kunjungan ke Pondok Pesantren Mathlaul Anwar, Pandeglang, Banten, mengatakan, jika ditanya boleh atau tidak seorang presiden mengintervensi penegak hukum, itu tidak boleh. ”Lembaga penegak hukum itu tidak boleh diintervensi oleh siapa pun. Tetapi, apakah itu benar atau tidak bahwa Presiden mengintervensi Pak Agus, itu Pak Agus yang tahu,” ujarnya.
Ke depan, pemerintah yang akan datang harus memastikan bahwa lembaga penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi benar-benar diberi independensi dan disediakan dana yang cukup dari negara serta dikawal agar mereka benar-benar profesional.
Ia berharap, KPK bangkit kembali sesudah terpuruk karena kasus pimpinannya yang ternyata juga tidak profesional, bahkan sampai ada yang diintervensi. Menurut dia, jika memang betul, intervensi ke KPK bukan hanya dari Presiden, melainkan juga dari partai politik dan pejabat-pejabat yang melakukan lobi-lobi untuk mengganggu penegakan hukum.
”Nah, ke depan, pemerintah yang akan datang harus memastikan bahwa lembaga penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi benar-benar diberi independensi dan disediakan dana yang cukup dari negara serta dikawal agar mereka benar-benar profesional,” kata Mahfud.
Ia berharap, KPK kembali menjadi lembaga penegak hukum yang kuat seperti Kejaksaan Agung sekarang. Saat ini, kinerja Kejaksaan Agung sangat terukur dan memiliki target yang jelas. ”Itu kejaksaan, kan, bagus. Kita kembangkan semua. KPK yang dulu pernah berjaya, nanti kami naikkan lagi agar semua lembaga penegak hukum itu kuat,” ujarnya.
Mahfud enggan mengomentari soal anggapan KPK yang diperlemah melalui RUU KPK pada 2019. ”Soal bagaimana nanti undang-undang dan sebagainya, nanti kami dalami lagi,” tegasnya.