Firli Bahuri Lawan Penetapan Tersangka terhadap Dirinya
Firli mengajukan permohonan praperadilan karena menganggap penetapannya sebagai tersangka tidak berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Kuasa hukum Firli juga menegaskan penetapan tersangka ini menyesatkan keadilan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komisi Pemberantasan KorupsiFirli Bahuri mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka terhadap dirinya dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi. Sementara itu, Dewan PengawasKPK akan mempercepat proses etik Firli pada pekan depan.
Pejabat Humas Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Djuyamto, mengatakan, kepaniteraan pidana PN Jakarta Selatan telah menerima permohonan praperadilan atas nama Firli Bahuri pada Jumat (24/11/2023).
”Ketua PN Jakarta Selatan telah menunjuk hakim tunggal Imelda Herawati untuk memeriksa dan mengadili perkara permohonan peradilan tersebut,” kata Djuyamto. Ia menambahkan, hakim tunggal tersebut telah menetapkan sidang pertama perkara ini diselenggarakan pada Senin (11/12/2023).
Dihubungi secara terpisah, kuasa hukum Firli, Ian Iskandar, menegaskan, pihaknya melawan karena penetapan tersangka terhadap Firli menyesatkan keadilan.
Di dalam surat permohonan praperadilan Firli disebutkan salah satu alasan penetapannya sebagai tersangka tidak sah karena tidak berdasarkan pada bukti permulaan yang cukup sekurang-kurangnya dua alat bukti. Selain itu, Firli juga dianggap tidak memenuhi unsur mens rea (sikap batin) dan actus reus (perbuatan yang dilakukan) dalam perbuatan yang disangkakan.
Di dalam surat tersebut juga dinyatakan tidak ada satu alat bukti pun yang dapat membuktikan perbuatan Firli telah memenuhi keseluruhan unsur Pasal 12 e, 12 B, dan 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal tersebut terkait dengan pemerasan dan penerimaan gratifikasi.
Dewan Pengawas (Dewas) akan segera memproses etik Firli pada pekan depan. ”Surat (pemberitahuan kepada Presiden Joko Widodo) sudah (dikirimkan) sejak kemarin. Intinya kita percepat prosesnya (etik) minggu depan,” kata anggota Dewas KPK, Syamsuddin Haris.
Menurut peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, revisi Undang-Undang KPK dan dipilihnya pimpinan yang memiliki rekam jejak bermasalah merupakan dosa besar reformasi. Imbasnya, kinerja KPK turun drastis dan semakin jauh dari semangat pemenuhan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) dan Jakarta Principles yang mengatur standar independensi sebuah lembaga antikorupsi bekerja.
Ia juga melihat kinerja Dewas yang sangat mengecewakan. Alvin tidak akan terkejut jika putusan etik Firli nanti cenderung lembek. Ia menegaskan, peristiwa penersangkaan Firli menjadi momentum penting untuk memulihkan kembali UU KPK.