Indeks Negara Hukum Indonesia Stagnan Selama Pemerintahan Jokowi
Dari delapan indikator yang diukur dalam Indeks Negara Hukum, nilai yang hijau untuk Indonesia hanya terkait ketertiban dan keamanan. Indikator lainnya, seperti absennya korupsi mendapat nilai rendah.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama sembilan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indeks Negara Hukum Indonesia mengalami stagnasi. Hasil ini menjadi rapor merah di pengujung kepemimpinan Presiden Jokowi karena menunjukkan keadilan dan reformasi hukum yang tidak pernah menjadi prioritas kebijakan pemerintah.
Berdasarkan Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index/ROL) tahun 2023 yang disusun oleh World Justice Project, indeks negara hukum Indonesia berada pada skor 0,53 (dengan nilai 1 sebagai nilai tertinggi). Skor ini menunjukkan stagnasi dalam perkembangan pembangunan hukum di Indonesia. Sejak 2015–2023 atau selama pemerintahan Jokowi, skor Indonesia konsisten di angka 0,52–0,53.
Di tingkat dunia, Indonesia dengan skor 0,53 menempati peringkat ke-66 dari 142 negara dan menempati peringkat ke-9 dari 15 negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Denmark menjadi negara dengan peringkat tertinggi dengan perolehan skor 0,90 dan dalam lima tahun terakhir selalu mendapatkan angka yang sama. Sementara Venezuela menempati posisi paling bawah dengan skor 0,26. Dalam penghitungan ROL index, skor 1 sebagai nilai tertinggi.
Berdasarkan Indeks Negara Hukum (Rule of Law Index/ROL) tahun 2023 yang disusun oleh World Justice Project, indeks negara hukum Indonesia berada pada 0,53 (dengan nilai 1 sebagai nilai tertinggi). Skor ini menunjukkan stagnasi dalam perkembangan pembangunan hukum di Indonesia.
Terdapat delapan indikator untuk mengukur Indeks Negara Hukum, yaitu absennya korupsi, keterbukaan pemerintah, hak dasar, ketertiban dan keamanan, penegakan peraturan, peradilan perdata, dan peradilan pidana. Hasil penghitungan indeks ini diterbitkan pada 25 Oktober 2023, melalui situs https://worldjusticeproject.org/rule-of-law-index/.
Untuk Indonesia, dari delapan indikator yang diukur, nilai yang hijau hanyalah terkait ketertiban dan keamanan dengan nilai 0,71 dan diikuti dengan pembatasan kekuasaan pemerintah dengan nilai 0,66. Sementara indikator lainnya, termasuk absennya korupsi, keterbukaan pemerintah, serta pemenuhan hak dasar, mendapat skor di bawah 0,58.
Peneliti Centra Initiative, Erwin Natoesmal Oemar, salah satu ahli ”rule of law index” di World Justice Project untuk Indonesia, mengatakan ada empat faktor yang menjadi masalah utama sejak awal pemerintahan Jokowi. Keempat faktor yang mengarah kepada gagalnya reformasi peradilan itu adalah korupsi, sistem peradilan pidana, perdata, dan hak asasi manusia.
”Setiap tahun nilainya segitu terus. Kami evaluasi, tetapi tidak ada perubahan. Isunya juga sama, sehingga menunjukkan keempat isu itu tidak pernah menjadi prioritas kebijakan pemerintah Joko Widodo,” ujarnya, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (26/10/2023).
Erwin memberikan contoh kasus yang cukup menonjol dalam sistem peradilan, yakni dugaan keterlibatan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) dalam kasus korupsi. Pada Juli 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Sekretaris MA Hasbi Hasan dalam perkara dugaan suap pengurusan perkara di MA.
Sebelum Hasbi, bekas Sekretaris MA Nurhadi menerima gratifikasi terkait penanganan perkara pada suap, gratifikasi, dan pencucian uang. Nurhadi dan menantunya, Rezky, divonis masing-masing 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.
Selain itu, terdapat penurunan skor sebesar 0.2 terkait faktor hak atas hidup dan keamanan pribadi, yakni dari 0.50 menjadi 0.48. Subfaktor ini mengukur praktik kekerasan oleh polisi terhadap tersangka serta ancaman (hukum dan nonhukum) atau kekerasan bagi jurnalis atau mereka yang memiliki pandangan politik berbeda dari pemerintah.
”Penurunan nilai terkait jaminan atas hak hidup dan keamanan ini kemungkinan besar terjadi karena makin maraknya ancaman dan kriminalisasi bagi aktivis dan pejuang HAM, sebagaimana terlihat dari proses hukum terhadap Haris Azhar dan Fathia (aktivis hak asasi manusia, terdakwa dugaan pencemaran nama baik),” ujar Direktur Program Keadilan, Demokrasi dan Tata Pemerintahan Kemitraan, Rifqi S Assegaf.
Dalam pemerintahan yang akan datang, Erwin Natoesmal Oemar berharap ada orang-orang yang punya pandangan keadilan memimpin Indonesia. ”Keadilan bukan hanya terkait ekonomi, tetapi juga perbaikan sistem di Mahkamah Agung, Mahkamah Konsistusi, Komisi Pemberantasan Korupsi. Itu yang harusnya dibayangkan sebagai negara hukum,” katanya.
Dari delapan indikator penilaian, terdapat pula sejumlah perbaikan. Misalnya, terdapat peningkatan 0.3 poin terkait efektifitas peradilan pidana. Perbaikan ini didapatkan dari penilaian peningkatan kinerja penuntutan dan pengadilan pada isu peradilan pidana.
”Peningkatan ini kemungkinan didorong oleh perbaikan kinerja, khususnya kejaksaan, dalam penanganan kasus-kasus korupsi besar,” ujar Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M. Syarif.
Peningkatan serupa terjadi terkait efektivitas sistem pemasyarakatan yang efektif dalam mengurangi perilaku kriminal dan pemenuhan proses hukum dan hak-hak terdakwa.
Terkait peradilan perdata, terdapat peningkatan skor 0.2 yang berhubungan dengan kemudahan bagi masyarakat dalam mengakses peradilan perdata. Peningkatan ini kemungkinan besar disebabkan karena pemberlakuan “e-court” yang didorong MA, yang mengurangi kebutuhan pencari keadilan untuk datang ke pengadilan dalam proses peradilan perdata.
Satu-satunya penurunan pada isu peradilan adalah terkait imparsialitas peradilan pidana, yakni penurunan sebesar 0.2 (dari 0.28 menjadi 0.26). Faktor ini mengukur netralitas polisi dan hakim dalam menjalankan tugasnya, termasuk ada atau tidaknya diskriminasi terhadap tersangka/terdakwa, baik karena status sosial, jender, atau lainnya.
Satu-satunya penurunan pada isu peradilan adalah terkait imparsialitas peradilan pidana, yakni penurunan sebesar 0.2 (dari 0.28 menjadi 0.26).
Pada pertengahan September 2023, Tim Percepatan Reformasi Hukum yang dibentuk oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, telah menyampaikan berbagai rekomendasi jangka pendek dan menengah kepada Presiden untuk mempercepat perbaikan lembaga peradilan dan penegakan hukum, antikorupsi, serta peraturan perundang- undangan.
Rekomendasi tim tersebut mencakup berbagai agenda, seperti penguatan kepemimpinan (leadership) pada Polri, Kejaksaan, Pengadilan dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), penguatan kualitas, transparansi dan partisipasi penyusunan peraturan perundang- undangan, hingga penguatan jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat.
”Kami yakin bahwa mayoritas rekomendasi tersebut, jika dijalankan oleh pemerintah, akan secara bertahap memperbaiki pembangunan hukum di Indonesia, termasuk meningkatkan RoL Index Indonesia,” ujar Laode Syarif.