Tak Cukup Pemberantasan Korupsi
Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya sudah seperti Indonesia, hukuman yang setengah-setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga merupakan masalah besar tersendiri, semua sudah terjangkiti korupsi.

Heryunanto
Korupsi berkaitan sangat erat dengan kolusi dan nepotisme. Kadar kolusi dan nepotisme kian menjadi-jadi dengan berjalannya apa yang dinamakan ”era Reformasi”.
Maka, yang kita perangi harus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), bukan sekadar korupsi. Bahwa korupsi sangat merusak semua sendi kehidupan bangsa, hal itu tak perlu diuraikan karena bisa kita rasakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Caranya ber-KKN tak hanya mencuri uang APBN, tetapi juga sudah meluas sampai ”menghabisi” sumber daya alam, tanpa peduli akibatnya terhadap perusakan lingkungan.
Kita harus menghargai bahwa dengan adanya KPK, pemberantasan korupsi relatif dilakukan dengan sungguh-sungguh dibandingkan sebelumnya. Saya katakan relatif karena pelaksanaannya terasa adanya tebang pilih dan ”tajam ke bawah” dan ”tumpul ke atas”. Namun, dengan segala kekurangannya itu, kita harus menghargai dan mendukungnya.
Tanpa mengetahui dengan tepat sebab-musababnya, KKN sangat sulit diberantas. Mengetahui sebab-musabab terjadinya KKN dan proses selanjutnya membuat kita dengan sendirinya berpikir tentang bagaimana mencegahnya.
Penyebab awal dan utama korupsi ialah orang diberi kekuasaan, tetapi gajinya hanya cukup untuk hidup dua minggu per bulan, sedangkan uang yang berseliweran sangat besar jumlahnya.
Korupsi berkaitan sangat erat dengan kolusi dan nepotisme.
Andai yang dibutuhkan Rp 12 juta per bulan, gajinya hanya Rp 6 juta. Yang lewat dan mungkin dicurinya adalah mark up (penggelembungan nilai) dalam pembelian barang dengan jumlah Rp 100 juta. Satu kali dia melakukan ini, langsung merasakan nikmatnya punya uang demikian banyak, hingga lupa daratan.
Istri dan anak-anaknya merasakan kenikmatan luar biasa, dan ini jadi desakan untuk melakukan lebih banyak lagi. Pada saat itu, kebutuhan jadi keserakahan, yang lambat laun tak kenal batas. Faktor penting yang membentuk kebutuhan ber-KKN ialah masyarakat yang menghargai orang kaya walau kekayaannya diperoleh dari KKN.
Pikiran yang sudah terkorupsi
Yang paling berbahaya dari KKN ialah hilangnya nalar dan hilangnya rasa malu. Gaji seorang anggota DPR yang resmi sekitar Rp 16 juta, direkayasa dengan berbagai tunjangan. Setiap otak bekerja, setiap tangan bergerak, setiap mata membaca harus diimbali dengan uang, sehingga gaji sekitar Rp 16 juta menjadi pendapatan sekitar Rp 500 juta.
Baca juga : Daftar Kepala Daerah yang Terjerat Korupsi Sepanjang 2021
Dalam acara Mata Najwa pernah ada wawancara dengan wakil gubernur yang menyebutkan gajinya yang sudah sangat tinggi. Namun, Najwa mengetahui adanya ”dana operasional” Rp 1,7 miliar per bulan. Yang bersangkutan ditanya apa benar dan apakah dihabiskan? Jawabnya: ”benar dan habis tiap bulannya”.
Masih banyak lagi contoh ber-KKN dengan dalih ”keuangan negara tidak dirugikan”. Seorang menteri yang sangat dihormati bercerita, kalau seorang menteri dalam membeli barang atau jasa untuk pemerintah sudah ”memeras” harga dari pemasok secara habis-habisan, dan sebelum menandatangani kontrak sang menteri minta X persen, atau kontrak tidak ditandatangani, itu bukan korupsi; dia memeras pemasok, bukan keuangan negara. Orang waras akan bertanya, mengapa hasil pemerasannya tidak diberikan kepada negara? Dia bisa melakukan ”pemerasan” pada pemasok karena jabatannya sebagai menteri.
Kita andaikan ada seorang menteri membeli kapal tanker besar sekali senilai 100 juta dollar AS dengan masa pembangunan dua tahun. Sebelum selesai, kapal dijual lagi dengan harga 170 juta dollar AS; kelebihan 70 juta dollar AS dibagi antara Kas Negara 20 juta dollar AS dan dirinya sendiri 50 juta dollar AS.

Didie SW
Itu dikatakan bukan korupsi karena keuangan negara ”diuntungkan”. Namun, bahwa kebutuhan akan kapal tanker besar ditiadakan dan BUMN bersangkutan dijerumuskan kembali ke dalam permainan maskapai pelayaran internasional tak dianggap korupsi. Finansial memang tidak, tetapi otak, logika, moral sudah rusak tanpa dia sadar. Dia masih merasa sebagai menteri hebat.
Penyelenggara negara yang seperti ini meyakini kriterianya sendiri tentang apa yang benar dan apa yang tidak bener. Menurut ukuran orang yang belum ”masuk angin”, dia sudah gila seperti halnya orang gila yang mengatur lalu lintas di tengah jalan karena dia yakin benar bahwa dia seorang polisi lalu lintas.
Banyak ”pemimpin” kita yang sudah tidak waras. Kena operasi tangkap tangan (OTT), disorot pers, kok tersenyum sambil mengacungkan jempol.
Langkah konkret cegah KKN
Konsep pemberantasan KKN sederhana, yaitu menerapkan carrot and stick. Keberhasilannya sudah dibuktikan banyak negara, seperti Singapura dan yang sekarang sedang berlangsung di China.
Carrot adalah pendapatan neto untuk pegawai negeri, baik sipil maupun TNI/Polri yang jelas mencukupi untuk hidup dengan standar sesuai dengan pendidikan, pengetahuan, kepemimpinan, pangkat, dan martabatnya. Jika perlu, pendapatan ini dibuat demikian tinggi sehingga tidak hanya cukup untuk hidup layak, tetapi juga cukup untuk hidup dengan gaya yang ”gagah”. Tak berlebihan, tetapi tak kalah dari pendapatan orang dengan kualifikasi pendidikan, kemampuan, dan kepemimpinan sama di sektor swasta.
Stick adalah kalau semua ini sudah dipenuhi dan masih berani korupsi, hukumannya tak tanggung-tanggung, kalau perlu hukuman mati, karena tak ada alasan sedikit pun untuk KKN.
Konsep pemberantasan KKN sederhana, yaitu menerapkan carrot and stick.
Sistem penggajian (salary system) harus dibenahi, sesuai merit system. Yang tingkat pekerjaan dan tanggung jawabnya lebih berat harus beroleh pendapatan neto lebih besar, penjenjangan tingkat pendapatan neto harus proporsional dan adil.
Yang sekarang berlaku, gaji presiden lebih rendah dari dirut BUMN. Pendapatan neto menteri lebih rendah dari manajer perusahaan swasta. Maka, tindakan pertama adalah benahi keseluruhan pendapatan neto PNS dan TNI/Polri, diselaraskan sampai proporsional dan adil berdasar sistem merit.
Jumlah pegawai negeri kita sekitar empat juta. Kalau kita secara sekilas saja memperhatikan besarnya gedung-gedung kementerian, lembaga pemerintah nondepartemen, dan gedung pemerintah lainnya, segera saja muncul pertanyaan di benak kita, berapa pegawai negeri yang bekerja di dalamnya. Lebih-lebih lagi sulit dibayangkan apa saja yang dikerjakan selama jam-jam kerja.
Reformasi dan perampingan
Jumlah PNS yang demikian besarnya tentu tak terlepas dari kenyataan bahwa selama RI berdiri sampai sekarang tak pernah dilakukan audit terhadap struktur organisasi, jumlah personalia, garis-garis komunikasi, rentang kendali (span of control), sistem dan prosedur pengambilan keputusan, dan sebagainya. Maka berlakulah apa yang dalam ilmu organisasi dan manajemen dikenal dengan Parkinson Law.
Baca juga : Korupsi di Bali Terjadi Mulai dari Desa
Ahli organisasi Parkinson menemukan bahwa manusia selalu punya kebutuhan dirinya dianggap penting oleh sekelilingnya. Simbol bahwa dirinya penting adalah kalau ia punya banyak anak buah yang dalam hierarki organisasi adalah bawahannya.
Maka, tanpa sadar setiap orang dalam organisasi ingin menunjukkan dirinya penting dengan mengangkat bawahan. Semakin banyak bawahan semakin dianggap penting kedudukannya di masyarakat. Dengan berlakunya teori ini, setiap organisasi punya kecenderungan membengkak tanpa ada gunanya.
Di negara-negara maju sudah lama menjadi kebiasaan bahwa secara teratur, misalnya setiap 3-5 tahun sekali, organisasinya diaudit. Diteliti oleh para ahli organisasi, apakah organisasinya masih optimal untuk mencapai tujuan dari organisasi yang bersangkutan. Para ahli atau konsultan itu tak melihat pada struktur organisasi yang ada. Mereka mewawancarai pimpinan tentang tujuan yang hendak dicapai organisasinya.

Didie SW
Kesemuanya ini direnungkan dengan mendalam. Para ahli dan konsultan menggunakan keahliannya menyusun organisasi yang pas dan yang optimal untuk mencapai tujuan organisasi. Yang disusun bukan hanya strukturnya, tetapi juga jumlah personalianya, kualifikasinya, tugas, tanggung jawabnya, sistem dan prosedur pengambilan keputusan, sistem komunikasi, dan rentang kendali organisasi atau span of control.
Setelah organisasi yang optimal terbentuk, organisasi yang ada diganti dengan yang sudah dibuat optimal.
Prosedur ini dinamakan structure follows strategy. Ini kebalikan dari yang biasa kita alami. Setiap kali organisasi baru dibentuk atau organisasi lama hendak dibenahi, yang pertama dilakukan adalah menggambar struktur organisasi yang sudah kita kenal, yaitu kotak-kotak yang disusun secara vertikal dan horizontal. Setelah struktur selesai, barulah diisi dengan nama orang-orang yang akan ditempatkan dalam posisi yang sudah digambarkan di kotak-kotak itu.
Prosedur ini sangat salah, tetapi sangat lazim dilakukan orang karena keawamannya di bidang ilmu organisasi dan ilmu manajemen. Prosedur yang salah ini disebut strategy follows structure. Jelas bahwa strategi dikalahkan oleh organisasi yang disodorkan. Bagaimana mungkin tujuan dapat tercapai secara optimal? Kita bayangkan apa jadinya kalau birokrasi kita selama 76 tahun tak pernah diaudit, dan coba dibayangkan berapa jumlah PNS dapat diperkecil dengan segala penghematan yang menyertainya.
Saya sangat yakin kalau birokrasi disusun sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuannya yang optimal, jumlah PNS bisa diperkecil banyak sekali.
Apa hubungan reformasi birokrasi dengan pemberantasan korupsi? Hubungannya sangat erat. Saya sangat yakin kalau birokrasi disusun sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tujuannya yang optimal, jumlah PNS bisa diperkecil banyak sekali. Pengeluaran untuk gaji, ruang kerja, ATK, listrik, biaya perjalanan, dan sebagainya akan bisa dihemat dalam jumlah yang besar.
Dampaknya adalah tersedianya sebagian dana yang dibutuhkan untuk menaikkan pendapatan bersih yang dibutuhkan untuk memberlakukan carrot and stick.
Dengan pendapatan yang jelas cukup, bahkan cukup ”mewah” atau comfortable, kita bisa dengan tenang menghukum para koruptor dengan hukuman seberat-beratnya. Dampak yang tak langsung berhubungan dengan pemberantasan korupsi dari reformasi birokrasi adalah efektivitas dari birokrasi.
Karena birokrasi menciut, kita bisa menempatkan orang-orang yang paling kapabel. Mereka pasti mau karena pendapatan bersihnya sangat memadai dan sama dengan kalau mereka bekerja di sektor swasta yang pendapatannya sudah didasarkan atas sistem merit dan tingginya sudah sama dengan yang berlaku di segmen-segmen lain masyarakat dalam segala jenjangnya.
Yang jadi kendala adalah pembiayaan. Pembiayaannya sangat besar, karena kita harus menyediakan dana untuk memberikan pesangon buat yang harus di-PHK. Pesangon ini harus cukup besar. Pertama supaya manusiawi. Kedua supaya membuat pegawai tergiur untuk di-PHK, dan ketiga supaya yang di-PHK mempunyai waktu yang cukup panjang untuk mencari pekerjaan lain.
Untuk pembiayaan ini, utang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau pencegahan KKN berhasil, akan terjadi penghematan yang sangat besar, yang dengan mudah bisa digunakan untuk membayar utang.

Kwik Kian Gie
Dalam masyarakat yang tingkat korupsinya sudah seperti Indonesia, hukuman yang setengah-setengah sudah tidak mempan lagi. Mulainya dari mana juga merupakan masalah besar tersendiri, karena boleh dikatakan semuanya sudah terjangkit penyakit korupsi.
Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Ekonomi 1999-2000 dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas 2001-2004