Batas Usia Capres-Cawapres, Masihkah Relevan?
Batas usia capres dan cawapres ditentukan berdasar usia biologis, bukan usia kematangan kognitif dan emosionalnya. Lalu, apakah usia pemimpin relevan dengan kemampuannya bekerja dan memimpin rakyat?
Banyak negara menetapkan batas usia minimal untuk menjadi presiden, anggota parlemen, atau menduduki jabatan politik tertentu. Batas usia itu adalah putusan politik dan hukum sesuai budaya di tiap negara. Sains tidak bisa memberikan batas usia yang pas agar seseorang bisa memimpin negara, tetapi sains bisa menunjukkan gambaran sosok pemimpin yang ideal.
Mahkamah Konstitusi, Senin (16/10/2023), menetapkan batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) paling rendah adalah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan ini menguatkan ketentuan soal batas usia capres-cawapres yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Ketentuan itu juga melengkapi aturan batas usia minimal untuk berbagai jabatan politik lainnya, yaitu 30 tahun untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk menjadi bupati atau wali kota beserta wakilnya. Sementara untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan DPRD kabupaten/kota, seorang warga negara disyaratkan berusia minimal 21 tahun.
Saat di Indonesia sedang ramai membicarakan batas usia minimal capres-cawapres, di Amerika Serikat justru sedang ramai mewacanakan batas usia maksimal capresnya. Di negara itu, untuk menjadi presiden minimal berumur 35 tahun, tetapi tidak ada batas maksimalnya.
Studi Pew Research yang dipublikasikan pada 4 Oktober 2023 menunjukkan, 79 persen orang di AS mendukung adanya batas usia maksimal Presiden AS.
Dorongan batas usia maksimal itu muncul karena dua presiden AS terakhir berusia lanjut saat terpilih. Presiden Joe Biden berumur 78 tahun saat diangkat sumpah pada tahun 2021 dan menjadi presiden dengan usia tertua saat mulai menjabat, mengalahkan rekor sebelumnya yang dipegang presiden Donald Trump yang berumur 70 tahun.
Meski demikian, sains sebenarnya tidak menentukan batasan usia minimal dan maksimal agar seseorang bisa menjadi pemimpin politik. Kondisi itu terjadi karena umur biologis atau umur kronologis tidak senantiasa berjalan beriringan dengan umur psikologis yang menunjukkan kematangan kognitif maupun kematangan mental emosional seseorang.
Ahli neurosains dan perilaku yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Taufiq Pasiak mengatakan, kematangan kognitif dan emosional seseorang itu sangat relatif. ”Namun, kematangan itu setidaknya bisa diukur dari tiga hal, yaitu fleksibilitas kognitif, kendali diri atau kematangan impulsif, dan resiliensi,” katanya, Selasa (17/10/2023), di Jakarta.
Fleksibilitas kognitif atau kelenturan seseorang berpikir menunjukkan kemampuannya beradaptasi dengan lingkungan yang berkembang cepat. Dengan kemampuan ini, dia bisa mengalihkan pikiran, sikap dan perilaku dengan cepat dari satu keadaan ke keadaan lain yang berbeda dalam waktu yang hampir bersamaan.
Fleksibilitas kognitif ini merupakan fungsi luhur atau fungsi eksekutif tertinggi manusia yang dikendalikan oleh bagian otak depan yang disebut korteks prefrontal. Bagian otak ini bertanggung jawab dalam kemampuan berpikir logis, analisis, mengintegrasikan berbagai hal, pengendali stres, hingga sistem nilai.
”Korteks prefrontal sejatinya sudah matang pada usia 17 tahun-18 tahun, tetapi itu tidak membuat mereka otomatis langsung memiliki fleksibilitas kognitif,” katanya. Meski sudah matang, apakah korteks prefrontal itu bisa dimanfaatkan secara maksimal akan sangat bergantung pada pendidikan, wawasan, pengetahuan, pergaulan, hingga pengalaman hidup.
Baca juga: Uji Materi Usia Capres-Cawapres dari Mahasiswa Gulirkan Bola Panas
Sementara kendali diri merupakan wujud dari kematangan korteks prefrontal dan sistem limbik atau otak bagian belakang yang mengatur emosi. Manusia selalu terdorong untuk melakukan sesuatu secara impulsif, tiba-tiba tanpa dipikir panjang. Pola ini terbentuk melalui kebiasaan berulang yang sudah dilakukan sejak kecil.
Dalam proses adaptasi saat menghadapi sesuatu, seseorang cenderung menunjukkan impulsivitasnya sehingga perlu memiliki kendali diri yang baik. ”Kemampuan seseorang mengendalikan dorongan-dorongan dari kebiasaan dan emosi itu berkaitan dengan kemampuan visioner mereka,” tambahnya.
Namun, kematangan terhadap sikap impulsif ini juga berlangsung sepanjang hidup. Artinya, kemampuan seseorang mengendalikan diri tidak tergantung pada usianya. Ketidakmatangan impulsif itu membuat sebagian orang yang sudah berusia lanjut, termasuk politisi, tetap memiliki impulsivitas tinggi. Mereka mudah tersinggung, gampang marah, sangat sensitif, hingga sulit merasakan empati kepada orang lain.
Sebaliknya, pada anak muda, meski memiliki pendidikan sangat tinggi dengan gelar akademik serenceng, kendali impulsivitasnya umumnya masih lemah. Kendali impulsivitas itu bisa diasah jika mereka aktif berorganisasi, bergaul dengan masyarakat sekitar, hingga berkawan dengan banyak kalangan.
Seorang pemimpin seharusnya juga memiliki resiliensi yang baik, kemampuan untuk bangkit kembali setelah jatuh atau hancur. Tantangan menjadi pemimpin tidak mudah, baik tekanan dari dalam maupun ancaman dari luar. Jika seorang pemimpin memiliki resiliensi tinggi, dia akan lebih mudah bangun dari keterpurukan, memperbaiki diri, dan menjadi sosok yang tangguh dalam menghadapi berbagai rintangan.
Baca juga: Mahfud MD: Penegakan Hukum, Jembatan Emas Indonesia Maju
Karena itu, Taufiq menegaskan bahwa batasan umur pemimpin politik yang ada dalam undang-undang di berbagai negara itu disusun tidak berdasarkan basis sains, tetapi keputusan politik dan hukum sesuai budaya yang berlaku di masing-masing negara.
Kurang relevan
Ahli psikologi kognitif yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Galang Lufityanto, menilai gagasan batasan umur minimal seseorang bisa menjadi pemimpin sudah kurang relevan dengan situasi saat ini. Batasan usia pemimpin itu sangat pas diterapkan di masa lalu, saat akses informasi dan kesempatan belum terbuka lebar seperti sekarang.
Generasi muda saat ini telah dipaparkan dengan banyak peluang, mulai dari memimpin organisasi hingga menjadi wirausahawan. Teknologi membantu mewujudkan semua itu. Berbagai proses itu telah membekali anak muda dengan pengalaman yang cukup. ”Namun, kecukupan itu sangat tergantung pada seberapa dalam, intens, atau seberapa besar isu kepemimpinan yang dihadapinya dan bagaimana cari dia mengelolanya,” katanya.
Daripada membahas batasan usia pemimpin, lanjut Galang, studi terakhir malah mendorong munculnya keragaman usia (age diversity) dalam kepemimpinan. Kombinasi antara pemimpin senior dan yunior dinilai bisa menyatukan potensi atau kelebihan yang ada serta mampu menekan konsekuensi negatif dari umur yang mereka miliki.
Gagasan batasan umur minimal seseorang bisa menjadi pemimpin sudah kurang relevan dengan situasi saat ini. Batasan usia pemimpin itu sangat pas diterapkan di masa lalu, saat akses informasi dan kesempatan belum terbuka lebar seperti sekarang.
Umur senior menjamin seseorang untuk memiliki perspektif beragam sebagai buah dari pengalaman dan pertemuannya dengan banyak orang. Mereka juga memiliki kesempatan untuk merasakan kegagalan lebih banyak dan bangkit lebih sering. Orang tua juga cenderung memiliki mentalitas lebih baik dan bijak dalam menghadapi kritikan sehingga tidak mudah emosional.
Saat menjadi pemimpin, warga senior umumnya memiliki manajemen waktu lebih baik. Seiring bertambahnya usia, makin canggih pula pengalamannya dalam mengelola aktivitas harian dengan tuntutan yang banyak. Aspek senioritas yang dimiliki membuat pemimpin ini mampu menekan ambisi yang besar sehingga tujuannya menjadi lebih terarah dan realistis.
Pemimpin senior juga lebih memiliki jiwa mengayomi (nurturing) dan penuh kebajikan (benevolent). Artinya, fokus pemimpin senior biasanya sudah bergeser dari dirinya (self-centered) ke arah membangun orang lain. Semakin senior, makin tinggi jiwa welas asihnya dan keinginannya untuk berkontribusi bagi orang lain.
Memang, tidak semua pemimpin politik senior ingin mengabdikan hidupnya pada masyarakat. Sebagian dari mereka justru mengejar power alias kekuasaan, baik sebagai bentuk prestasi pribadi atau digunakan untuk mengubah sesutau. ”Pandangan awam selalu melihat mereka mengejar harta karena dikaitkan dengan gaji dan tunjangan jabatan yang besar. Namun sejatinya mereka, sedang mengejar power,” kata Galang.
Selain itu, pemimpin senior umumnya juga memiliki pengalaman kerja luas dan membuatnya terpapar dengan berbagai macam situasi yang membutuhkan pemecahan masalah. Pengalaman ini akan mendukung proses pengambilan keputusan menjadi lebih cepat dan efektif.
Sementara anak muda umumnya masih dalam fase pembuktian diri untuk menunjukkan prestasi dan memperoleh banyak hal yang ingin dicapai. Kemauan yang tinggi dan didukung energi yang memadai membuat mereka menjadi sosok yang ambisius, terlalu ngotot atau bersemangat untuk mewujudkan impiannya.
Baca juga: Gagasan Keberlanjutan Menuju Negara Maju
Namun, karena terlalu fokus pada diri sendiri (self-centered), dia menjadi kurang peka dengan orang lain, sulit menerima kondisi setiap orang yang berbeda-beda, atau tidak bisa menerima jika ada orang lain yang ritme dan kecepatan kerjanya berbeda dengan dirinya. Mereka juga kurang pengalaman dalam mengenali keragaman karakteristik manusia sehingga menganggap bahwa semua orang seharusnya bisa seperti dirinya.
”Orang muda cenderung lebih nyaman dengan diri sendiri sehingga cenderung kurang memiliki kepekaan terhadap sekitarnya,” tambah Galang.
Karena itu saat menjadi pemimpin, anak muda dengan energi dan antusiasme yang tinggi akan memiliki motivasi yang besar pula dan bisa dimanfaatkan untuk mengarahkan pendukung atau masyarakat yang dipimpinnya. Energi besar itu akan menjadi bahan bakar bagi dirinya untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan, apalagi jika visi dan misinya itu cukup besar dan butuh waktu lama untuk mewujudkannya.
Pemimpin muda umumnya juga memiliki kemampuan teknikal lebih baik. Pemimpin muda cenderung lebih menguasai teknologi tinggi serta bisa memanfaatkan teknologi itu untuk mendukung kinerja kepemimpinannya, seperti dalam pengambilan keputusan, menyusun prioritas, membangun sistem kerja yang efektif, hingga berkomunikasi langsung dengan masyarakat.
Kerentanan
Meski demikian, baik usia tua atau usia muda sama-sama memiliki kerentanan. Usia yang terlalu tua atau terlalu muda sama-sama mengandung risiko jika mereka menjadi seorang pemimpin politik.
Seiring bertambahnya usia, fungsi-fungsi tubuh manusia pasti akan berkurang. Pemimpin senior umumnya memiliki keterbatasan fisik, belum lagi jika mereka sudah mengidap sejumlah penyakit degeneratif, mulai dari penyakit jantung, diabates melitus, dan stroke. Mereka umumnya juga memiliki sejumlah faktor risiko yang bisa memengaruhi kesehatannya, seperti hipertensi, kolesterol, gula darah tinggi, hingga asam urat.
Tak hanya memengaruhi fisik, berbagai penyakit itu dipastikan juga akan memengaruhi kemampuannya berpikir. Padahal sebagai pemimpin, dia dituntut bisa mengambil putusan secara cepat dan tepat.
”Semakin tua usia, fleksibilitas kognitif seseorang akan semakin turun. Dia menjadi lebih kaku, tidak bisa beradaptasi, dan sulit melihat peluang baru. Apalagi, jika mereka memiliki gangguan psikiatri, seperti bipolar atau skizofrenia,” kata Taufiq.
Sementara anak muda, meski pintar secara kognitif, kematangan psikologisnya justru lambat terbentuk. Ini adalah karakter anak muda masa kini yang dibesarkan oleh teknologi. Waktu yang sebenarnya digunakan untuk mematangkan emosi mereka, justru diambil alih teknologi untuk mematangkan kognitifnya.
Pada umur lebih dari 17 tahun, seseorang dianggap sudah mampu mengambil keputusan dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya karena otaknya sudah matang. Namun, apakah otak yang sudah matang itu bisa berfungsi optimal atau dimanfaatkan menjadi persoalan lain.
Teknologi yang membuat segalanya lebih mudah cenderung membuat mereka kurang peka, kurang bisa peduli dan berempati dengan sekitarnya, serta kurang berpengalaman dalam menghadapi tantangan hidup. Keterlambatan kematangan emosional ini membuat mereka menjadi lebih mudah stres, cemas, depresi, atau mengalami gangguan kejiwaan lain.
Di sisi lain, proses pematangan emosi itu berlangsung sepanjang hidup. Kondisi itulah yang membuat sains tidak bisa memberi jawaban pasti tentang batasan umur berapa agar seseorang untuk bisa menjadi pemimpin politik, baik batas usia paling rendah atau batas paling tinggi. Meski demikian, batasan umur pemimpin politik yang ditetapkan di banyak negara itu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
”Pada umur lebih dari 17 tahun, seseorang dianggap sudah mampu mengambil keputusan dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya karena otaknya sudah matang. Namun, apakah otak yang sudah matang itu bisa berfungsi optimal atau dimanfaatkan menjadi persoalan lain,” ujar Taufiq.
Galang menambahkan, menentukan usia kematangan emosional seseorang itu jauh lebih rumit dibanding menentukan usia biologi atau usia kronologi, yaitu usia berdasarkan tahun kelahirannya. Kematangan mental emosional itu ditentukan oleh pengalaman hidup sehingga bisa saja seseorang memiliki usia mental dewasa meski umurnya masih muda. Demikian pula sebaliknya. mereka yang tua bisa jadi usia mentalnya masih muda.
Bagaimanapun, batas usia pemimpin politik yang tercantum pada sejumlah undang-undang itu hanyalah usia yang menunjukkan tahun berapa mereka lahir. Matang atau tidak kognitif dan emosionalnya sangat ditentukan oleh pendidikan, pengetahuan, wawasan, pergaulan, hingga riwayat hidup. Batas usia itu hanyalah angka, tetapi kematangan kognitif dan emosionalnya akan ditentukan dalam proses yang dijalani sepanjang hidup.
Baca juga: Gibran Cawapres Prabowo Menguat, PDI-P Ingatkan Tugas Menangkan Ganjar-Mahfud
Agar bisa memilih pemimpin dengan kematangan kognitif dan emosional yang baik, satu-satunya cara yang bisa dilakukan menurut Taufiq adalah mempelajari rekam jejak setiap calon. Perhatikan pula pandangan kawan maupun lawan mereka sehingga bisa diperoleh gambaran lebih utuh tentang figur setiap calon.
Jangan pula terpaku pada angka usia calon pemimpin politik karena pemimpin senior bisa jadi tetap gesit dan pemimpin muda juga belum tentu bisa kuat bekerja. Pemimpin senior bisa saja ambisius dan tidak bisa bekerja baik, sedangkan pemimpin muda bisa jadi lebih memiliki kematangan emosional yang lebih baik. Semua serba mungkin.
Jadi, jangan salah pilih!