Pemilu 2024 Penentu Indonesia Bergerak di Era Pascareformasi
Setelah 25 tahun Reformasi, oligarki menguat dan dibarengi melemahnya kohesi sosial di masyarakat. Dalam kondisi ini, kita harus berhati-hati. Dalam hal ini, fungsi MK sebagai penafsir konstitusi perlu dioptimalkan.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Spanduk yang dibawa aktivis yang tergabung dalam People Heist saat berunjuk rasa di depan Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/10/2021). Mereka antara lain menyuarakan dan memperingatkan tentang bahaya oligarki yang semakin merejalela, khususnya pascapengesahan UU Cipta Kerja. Pengesahan UU yang banyak mendapat protes dari masyarakat tersebut mereka nilai lebih banyak merugikan rakyat dibandingkan dengan memberi manfaat.
BATAM, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu selaku penyelenggara pemilu, serta Mahkamah Konstitusi yang menjadi penentu dalam sengketa hasil pemilihan, harus benar-benar berhati-hati dalam menjalankan kewenanganannya. Sebab, Pemilu 2024 merupakan titik krusial yang menjadi penanda berakhirnya Era Reformasi menuju era baru, yaitu Era Pascareformasi.
Apalagi, terdapat sejumlah fenomena yang muncul sepanjang Era Reformasi yang sudah berlangsung kurang lebih selama hampir 25 tahun ini. Hal itu adalah menguatnya oligarki dibarengi dengan melemahnya kohesi sosial di dalam masyarakat.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengungkapkan hal tersebut saat memberikan pidato kunci dalam pembukaan Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara Ke-2, di Batam, Kepulauan Riau, Jumat (29/9/2023) malam.
Hadir dalam kegiatan tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Guntur Hamzah, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Widodo Eka Tjahjana, dan kurang lebih 100 pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara dari berbagai kota di Indonesia.
Berdasarkan pengalaman yang terjadi di Indonesia, menurut Arief, proses pergantian satu era ke era yang lain terjadi antara 25 tahun dan 30 tahun. Era pertama, yaitu masa pemerintahan Presiden Soekarno, berakhir di rentang waktu tersebut. Demikian pula dengan masa kepemimpinan Presiden Soeharto yang juga memakan waktu sekitar 32 tahun. Saat ini merupakan Era Reformasi yang sudah berjalan sekitar 25 tahun.
”Oleh karena itu, Pemilu 2024 merupakan titik yang sangat rawan karena sudah 25 tahun (Era Reformasi berjalan),” kata Arief.
Baginya, saat ini adalah era akhir Reformasi menuju Era Pascareformasi. Perjalanan menuju Era Pascareformasi, apabila dipelajari dan dikaji dalam konteks sistem ketatanegaraan, Indonesia bisa tidak baik-baik saja. Ada beberapa fenomena yang turut menyumbang pengaruh mengapa pergeseran era tersebut bisa tidak berjalan mulus. Salah satunya adalah munculnya kecenderungan kekuasaan yang bertumpuk dalam satu tangan.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU MUSTIKA
Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan putusan perselisihan hasil pemilihan umum legislatif di Gedung MK, Jakarta, Selasa (6/8/2019).
Ilmu hukum mengajarkan tentang adanya pemisahan kekuasaan yang jelas, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif (trias politica). Namun, saat ini tak hanya tiga cabang kekuasaan itu yang berperan. Ada satu kekuatan yang menguasai ketiga cabang tersebut, dengan menguasai kepemimpinan partai politik yang memiliki reprentasi di legislatif dan eksekutif, menguasai pula media serta memegang bisnis atau perdagangan.
”Semuanya ada di satu tangan. Itu luar biasa. Di zaman Bung Karno tidak ada. Di zaman Soeharto yang katanya otoriter pun tidak terjadi. Tapi sekarang itu terjadi. Itu positif atau negatif? Itulah yang namanya oligarki,” kata Arief.
Menurut dia, hal tersebut sangat berbahaya. Ia juga mempertanyakan apakah demokrasi yang dibangun di Indonesia harus melahirkan sistem yang demikian itu. ”Dalam kondisi seperti ini, kita harus hati-hati betul. Ini belum pernah terjadi selama Indonesia Merdeka,” ungkapnya.
Ada satu kekuatan yang menguasai kepemimpinan partai politik yang memiliki reprentasi di legislatif dan eksekutif, menguasai pula media serta memegang bisnis atau perdagangan.
Selain itu, Arief juga menyoroti amandemen konstitusi di awal Era Reformasi yang bersifat fundamental. UUD 1945 yang semula memuat 37 pasal berubah secara fundamental dengan lahirnya 199 norma dasar.
”Tapi semua norma dasar itu melahirkan, sebagaimana yang saya sebutkan, memunculkan, oligarki-oligarki. Sekarang bagaimana, apakah kita ingin mengembalikan konstitusi ke arah pembetulan kembali, meluruskan kembali, atau bagaimana,” ucapnya.
”Dengan kondisi sosial yang seperti sekarang ini, saya bayangkan Indonesia bisa terjadi constitutional deadlock. Masih bisa mengarah pada anarki sebagaimana kita alami pada tahun 1950 waktu kita akan mengubah konstitusi yang sementara itu,” kata Arief.
Akan tetapi, meskipun dalam perkembangannya ada sejumlah hal yang perlu diluruskan di dalam norma dasar tersebut, Arief mengungkapkan, hal tersebut sulit untuk dilakukan melalui perubahan atau amandemen konstitusi. Sebab, kohesi sosial di dalam masyarakat saat ini sedang melemah. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah mengoptimalkan fungsi MK sebagai penafsir konstitusi.
Oleh karena itu, menjadi tugas MK menafsirkan konstitusi untuk memperbaiki sedikit demi sedikit agar dalam perkembangannya muncul liberalisasi dan individualisasi.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Suasana penghitungan suara Pemilihan Umum 2019 di di Tempat Pemungutan Suara 039 Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (17/4/2019).
Pelajaran dari Pemilu 2019
Ketua MK Anwar Usman dalam sambutannya mengungkapkan, Pemilu Serentak 2019 yang menguras perhatian, sumber daya, dan energi yang besar harus menjadi pelajaran yang berharga. Ada sejumlah pihak yang menyalahkan perubahan sistem pemilu yang semula terpisah antara pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden, tetapi kalangan lain menyatakan bahwa pemilu serentak merupakan konsekuensi dari sistem presidensial.
Dalam kondisi tersebut, MK sudah berupaya menuntaskan amanat konstitusionalnya dengan menyelesaikan sengketa hasil pemilihan. Namun, diakui oleh Anwar, MK tidak dapat memuaskan semua pihak terlepas apa pun hasil atau putusan yang dihasilkan.
Terkait dengan pelaksanaan Pemilu 2019, Anwar memiliki beberapa catatan. Yang pertama, demokrasi berbiaya tinggi serta masifnya penggunaan teknologi informasi dan media sosial.
Terkait pemilu yang menelan biaya besar, Anwar mengakui adanya sejumlah pihak yang mengkritisi hal tersebut dan menyatakan bahwa pemilu pada dasarnya tidak membawa manfaat untuk rakyat, khususnya pemilihan presiden secara langsung. Namun, ia tak sepakat dengan pandangan tersebut. Pemilihan langsung merupakan kehendak rakyat yang dituangkan melalui amandemen konstitusi, khususnya Pasal 6A UUD 1945.
”Kalau dikaitkan dengan biaya tinggi, tidak benar juga. Secara faktual, pemilihan presiden cuma salah satu variabel dalam pemilu. Pemilihan anggota legislatif memiliki variabel yang lebih kompleks mulai dari pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan kota. Tiap partai harus memiliki empat calon anggota legislatif. Belum lagi diperumit dengan banyaknya jumlah caleg untuk tiap kursi legislatif,” papar Anwar.
Ia pun menyebut bahwa di seluruh dunia pemilu menelan biaya yang tinggi.
Terkait dengan penggunaan media sosial yang masif, ia menyayangkan banyaknya pemberitaan dan konten di media sosial yang diwarnai dengan berita bohong atau fitnah yang jauh dari kenyataan serta berita tendensius.
”Ini terjadi pada 2019. Mudah-mudahan tidak terjadi lagi,” kata Anwar sembari menegaskan bahwa lembaga peradilan juga akan melakukan ikhtiar untuk menghasilkan putusan terbaik.