Oligarki yang berdwifungsi ekonomi dan politik melahirkan ketimpangan ekonomi. Pemberian privilese dan kebijakan favoritisme kepada pemilik modal kuat menyebabkan hak-hak dasar rakyat terbengkalai.
Oleh
MUKHAER PAKKANNA
·3 menit baca
Blantika perpolitikan nasional lazim diwarnai isu adanya kelompok oligarki yang diklaim ikut mendanai setiap kandidasi. Akibat biaya kontestasi politik yang cukup mahal, tentu membutuhkan dana politik yang tidak sedikit. Karena itu, setiap partai politik dan pasangan calon yang ikut bertarung berspekulasi di tengah ketidakpastian.
Merujuk riset Komisi Pemberantasan Korupsi (2022), ada 82,3 persen calon kepala daerah mendapat bantuan pihak ketiga untuk membiayai kontestasi mereka dalam pemilihan kepala daerah. Para calon kepala daerah itu membutuhkan sokongan dana dari pihak ketiga karena aset yang mereka miliki tidak mencukupi.
Tentu ada janji, barter, dan konsesi-konsesi ekonomi politik di balik itu. Meminjam istilah Stein Ringen (2004), ada relasi simbiosis mutualisme di antara mereka. Maka, itu pula yang mengonfirmasi mengapa Indeks Persepsi Korupsi jeblok empat poin, terparah dalam sejarah, merujuk laporan Transparency International (1/2/2023).
Lantas, apa peran oligarki dalam meredam ketidakpastian itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebut, oligarki sebagai pemerintahan yang dikendalikan segelintir orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Bahkan, Winters (2013) lebih vulgar, oligarki sebagai politik pertahanan kekayaan di antara para aktor yang menguasainya.
Kendati pemaknaan oligarki berspektrum luas, jamak dipahami oligarki lebih banyak digunakan dalam pertarungan politik dan bisnis (ekonomi). Politik membutuhkan pendanaan yang besar, sementara bisnis membutuhkan fasilitas dan akses ke sumberdaya. Jika oligarki politik dikuasai elite partai politik penguasa berjumpa dengan oligarki ekonomi yang dikuasai segelintir pemilik modal raksasa, terjadilah dwifungsi harmoni antara penguasa dan pengusaha.
Konsekuensi dwifungsi
Oligarki yang berdwifungsi ekonomi dan politik, ujungnya melahirkan ketimpangan ekonomi. Distribusi dan akses bagi kelompok ekonomi mayoritas, ekonomi rakyat, terputus ke sumber daya ekonomi. Kata Amartya Sen (1981), distribusi akses sumberdaya ekonomi yang tidak merata menyebabkan rakyat miskin tidak dapat mengembangkan usaha produktifnya.
Secara politik, rakyat miskin sangat sulit mengakses dan terlibat pelbagai kebijakan publik, sehingga kebijakan tersebut tidak menguntungkan mereka. Maka, kemiskinan di suatu wilayah/negara lebih dipicu karena pemerintah tidak dapat memenuhi hak-hak dasar masyarakatnya. Pemberian privilese dan kebijakan favoritisme sebagai konsekuensi adanya konsesi politik kepada para pemilik modal kuat, telah berdampak pada hak-hak dasar rakyat terbengkalai.
Kemiskinan di suatu wilayah/negara lebih dipicu karena pemerintah tidak dapat memenuhi hak-hak dasar masyarakatnya.
Pada kasus rendahnya hak rakyat kepada gizi seimbang misalnya, laporan Kompas (9/12/2022), terang benderang menyebutkan, mayoritas warga Indonesia ternyata tidak mampu membeli makanan bergizi untuk dikonsumsi sehari-hari. Makanan bergizi seimbang, artinya menu dengan porsi seimbang antara makanan pokok (sumber karbohidrat), lauk-pauk (sumber protein dan lemak), sayuran dan buah, serta air minum.
Jika dibandingkan dengan kemampuan membeli makanan per hari, ada 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut. Bahkan, dengan memperhitungkan faktor paritas daya beli, harga pangan bergizi di Indonesia sangat mahal, mencapai angka 4,47 dollar AS atau sekitar Rp 69.000 per hari. Harga jauh lebih tinggi dibandingkan Thailand (4,3 dollar AS), Filipina (4,1 dollar AS), Vietnam (4 dollar AS), dan Malaysia (3,5 dollar AS).
Minimnya akses rakyat kepada pangan bergizi, mengirim pesan bahwa rakyat memiliki kendala. Harga pangan yang mahal dan akses ke sumberdaya pangan yang terbatas menjadi persoalan yang seolah diawetkan. Tingginya harga pangan berkorelasi dengan tingkat ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan. Laporan Kementerian Perdagangan (2022), impor pangan Indonesia pada 2021 mencapai 20,18 miliar dollar AS atau Rp 284,54 triliun.
Tingginya harga pangan selalu dipicu pula adanya permainan kartel pangan. Mereka adalah oligark pangan yang dekat dengan sumbu kekuasaan (politik). Bahkan, Dirut Perum Bulog Budi Waseso (2019) melaporkan, produk-produk pangan Bulog sebanyak 94 persen dikuasai oleh kartel, sementara Bulog, sebagai perusahaan negara, hanya menguasai 6 persen,
Permainan kartel, oligarki, dan monopoli seperti ini sudah lazim karena merekalah yang menjadi pilar penyokong dana politik. Liberalisasi politik yang mengiringi era Reformasi memberi ”karpet merah” kepada para oligark untuk melipatkgandakan pengaruhnya. Tidak heran, jika kebijakan di era Reformasi ini, tidak pernah berhenti memproduksi ketimpangan dibandingkan pemerataan ekonomi.
Tumbuhnya praktik oligarki berkorelasi dalam ekosistem politik yang tidak demokratis. Sejarah mencatat, sejak 1950-an oligarki ekonomi mampu menggagalkan ”Politik Benteng” dan Demokrasi Parlementer sehingga pemerintahan jatuh bangun dan demokrasi gagal menyejahterakan rakyat (Robison dan Hadiz, 2013). Demikian pula, era Orde Baru, oligarki ekonomi tumbuh di tengah demokrasi yang lumpuh. Namun, para oligark tidak berhasil menguasai dan mendikte politik Presiden Soeharto.
Merujuk riset Damanhuri (2023), pada era Refomasi, prosedur dan mekanisme demokrasi politik berjalan, tetapi oligarki ekonomi yang mengendalikan politik. Dampaknya ketimpangan makin buruk, seperti terlihat rasio gini pengeluaran rata-rata. Bahkan, jika merujuk Indeks Oligarki/Material Power Index (Winters, 2009), ketimpangan itu kian menganga. Merujuk data Forbes (2022), jumlah rata-rata kekayaan 40 orang terkaya dibagi pendapatan per kapita, pada 2014 sebesar 678.000 kali lipat, pada 2018 sebesar 750.000 kali, dan 2020 sebesar 822.000 kali, serta pada 2022 sebesar 1.060.500 kali lipat.
Menghapus dwifungsi
Penguasaan sumberdaya ekonomi dan politik yang tumpang tindih dan berlarut hingga saat ini dipicu karena kelompok oligark memiliki immunity to change (Hadiz, 2013, Robison, 2004). Perburuan rente yang terjadi di Indonesia, tampak dalam The Crony Capitalism Index yang secara berkala dilansir The Economist. Praktik kronisme membuat ekonomi menjadi tidak efisien.
Guna mengurangi beban negara yang disandera dwifungsi oligarki itu perlu kelembagaan politik dan ekonomi diatur secara konsisten. Teringat Bung Hatta (1981), demokrasi politik saja tidak cukup untuk mencapai demokrasi yang sebenarnya atau kedaulatan rakyat, atau rakyat yang berdaulat. Selain demokrasi politik, harus ada pula demokrasi ekonomi yang memakai dasar bahwa segala penghasilan yang menguasai kependudukan orang banyak, harus berlaku di bawah tanggungan orang banyak juga.
Karena itu, untuk mengurangi campur tangan oligarki ekonomi ke oligarki politik, maka perlu perbaikan di tingkat hulu, terutama di partai politik. Bagaimanapun parpol adalah salah satu pilar demokrasi, kawah candradimuka melahirkan pemimpin politik, dan katalis pembangunan.
Jika sistem politik bekerja bermutu atau proses demokratisasinya tidak “kosmetik”, akan melahirkan pemimpin yang kapabel dan berintegritas. Jika di tingkat hulunya sarat biaya politik tinggi, pemimpin politik yang terpilih justru tersandera beban konsesi atau barter ekonomi-politik.
Guna mengurangi konsesi dari oligarki ekonomi, skema pemberian bantuan keuangan kepada parpol berdasarkan perolehan suara parpol yang mendapat kursi di DPR sudah tepat dan harus dilanjutkan. Bentuk dan besaran pemberian bantuan keuangan kepada parpol, masih dimungkinkan dilakukan penyempurnaan, disesuaikan kondisi dan kapasitas keuangan negara dengan basis purchasing power parity PPP).
Demikian juga, sumbangan para ”investor politik” harus dimitigasi di awal dan disikapai dengan penuh tanggungjawab. Selain itu, bantuan dana aspirasi yang berbasis tata kelola yang baik dan akuntabel perlu dilanjutkan dengan prinsip tepat manfaat dan tepat sasaran.
Mukhaer Pakkanna, Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta