Jangan Hanya Ingin Menang, Siapkan Ini jika Gugat Hasil Pemilu ke MK....
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengungkapkan, kerap kali pemohon perkara sengketa hasil pemilu lebih asyik dengan persoalan untuk menang. Padahal, untuk menang dibutuhkan sejumlah hal, apa saja itu?
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
Banyak gugatan atas hasil pemilu yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi kandas di tengah jalan pada Pemilu 2019. Pihak-pihak yang mempersoalkan hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum beserta penyelenggara di bawahnya kebanyakan tidak mampu menghadirkan alat bukti yang sahih berupa dokumentasi terjadinya kecurangan atau perubahan suara yang didalilkan.
Berkaca pada pengalaman Pemilu 2019 tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta para peserta Pemilu 2024, baik partai politik beserta para calon anggota legislatifnya, calon presiden dan wakil presiden, maupun calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, harus mempersiapkan bukti-bukti yang akan digunakan jika mengajukan gugatan hasil pemilu ke MK. Hal itu bisa dilakukan dengan mendokumentasikan secara baik proses ataupun pelanggaran-pelanggaran yang ditemui.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Yang terjadi di lapangan, pemohon asyik dengan persoalan untuk menang, tetapi lupa mendokumentasikan apa-apa hal yang terpenting untuk mendukung manakala ada persoalan, apakah terkait dengan penghitungan suara ataukah terkait dengan kampanye misalnya,” kata Enny saat menjadi pembicara kunci dalam seminar ”Penegakan Hukum Pemilu” di Batam, Kepulauan Riau, Sabtu (30/9/2023).
Menurut Enny, banyak perkara sengketa hasil pemilu yang diputus tidak dapat dilanjutkan hingga pokok perkara atau dismissal. Ada beberapa faktor yang membuat MK membuat putusan dismissal, misalnya pemohon tidak jelas dalam menguraikan obyektumlitis atau obyek yang disengketakan, dan ada pula yang salah dalam merumuskan petitum. Faktor lain yang membuat kandasnya sengketa adalah kurangnya alat bukti.
Enny mencontohkan, banyak pemohon yang mendalilkan adanya kecurangan seperti politik uang, kesalahan di dalam proses penghitungan suara mulai dari tempat pemungutan suara (TPS) hingga ke kabupaten/kota atau provinsi. ”Tapi, persoalannya, mereka belum tentu memiliki bukti yang kuat karena tidak mengikuti seluruh proses yang ada. Yang sering dihadapi adalah saksi dari pemohon, seharusnya saksi itu sudah mengikuti sejak awal. Maka, carilah saksi yang sehati dengan pemohon karena mereka akan jadi timsesnya (tim suksesnya), mengikuti seluruh proses yang ada,” paparnya.
Siapkan piranti sengketa pemilu
Dalam rangka menyongsong sengketa hasil pemilu, MK sudah menyiapkan piranti yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara tersebut termasuk di antaranya menyiapkan peraturan MK, bimbingan teknis kepada stakeholder seperti KPU (pusat dan daerah), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun partai politik peserta pemilu. MK, menurut Enny, juga akan melakukan sosialisasi sekaligus bimbingan teknis (bimtek) kepada para advokat yang nantinya akan mendampingi pihak-pihak yang berperkara di dalam pemilu.
”Ini (bimtek) tidak dapat menjangkau semua, 100 persen. Ada handicap (kekurangan) waktu dan budget sehingga hanya perwakilan. Khusus untuk advokat, hanya ada dua angkatan bimtek. Padahal, pengalaman saya menangani perselisihan hasil pemilu banyak hal yang perlu dipahami dengan sangat baik terutama oleh parpol, KPU, dan Bawaslu. Karena ini persidangan cepat, speedy trial, dibatasi waktu,” kata Enny.
Seperti diketahui, Undang-Undang Pemilu mengatur bahwa para peserta pemilu, baik partai politik, pasangan calon presiden-calon wakil presiden, maupun perorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, hanya memiliki waktu tiga hari atau 3 x 24 jam untuk mengajukan gugatan. MK pun dibatasi waktu dalam menyelesaikan perkara tersebut, yakni 14 hari untuk sengketa pilpres, 30 hari untuk sengketa pileg, dan 45 hari untuk sengketa pilkada.
Dalam rangka menyongsong sengketa hasil pemilu, MK sudah menyiapkan piranti yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perkara tersebut termasuk di antaranya menyiapkan peraturan MK.
Enny meminta semua pihak, termasuk KPU yang akan membantah dalil-dalil pemohon dan Bawaslu sebagai pemberi keterangan, melakukan persiapan sejak jauh-jauh hari. Hal ini pun perlu diperhatikan oleh peserta pemilu, sebab berbeda halnya dengan KPU yang kebanyakan memiliki bukti yang lebih kuat.
Hakim konstitusi Guntur Hamzah dalam acara yang sama juga mengamini banyaknya perkara masuk yang mendalilkan tentang politik uang baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Akan tetapi, dalil tersebut kebanyakan tak didukung oleh bukti yang kuat.
”Tuduhannya terlalu lemah di pembuktian, hanya sporadis disampaikan. Sementara menghadirkan bukti di persidangan tidak gampang, tidak mudah. Di sinilah tantangannya,” ungkapnya.
”E-voting”
Selain itu, Guntur Hamzah menguraikan tentang pentingnya penggunaan teknologi dalam pemilu seperti e-voting, pemungutan suara secara elektronik. Memang belum ada payung hukum yang jelas terkait pemungutan suara secara elektronik. Namun, wacana mengenai hal ini sebaiknya tidak hilang begitu saja dalam diskursus pemilu.
”Wacana ini selalu muncul tiap ada pemilihan baik pemilu atau pilkada. Tapi, kita belum serius untuk mempersiapkan bagaimana lima atau 10 tahun ke depan bisa digunakan secara efektif. Kita selalu membicarakan ini menjelang pemilu, tetapi setelah pemilu lupa lagi. Padahal, momentumnya selalu ada,” ujarnya.
Sementara itu, anggota KPU, Idham Holik, mengungkapkan, perlunya keamanan (cyber security) dalam penerapan e-voting. Keamanan digital harus menjadi prioritas. KPU membutuhkan suatu ketentuan/undang-undang yang menggaransi tentang adanya keamanan digital mengingat adanya potensi terjadinya digital activism, seperti peretasan dan sebagainya.
”Bagi saya, e-voting is the big project for our country. E-voting adalah proyek besar bagi bangsa ini. Karenanya, kami tidak mungkin dalam waktu singkat menyelenggarakan e-voting. Undang-undangnya memang sudah ada, itu betul, tapi kami pastikan andaikan kami nanti menggunakan e-voting kami harus pastikan aman. Karena pemilu tanpa kepercayaan publik, ini tidak berarti apa-apa karena ini akan berdampak pada legitimasi pemerintahan,” kata Idham.