E-Voting, Jalan Panjang, Terjal, dan Penuh Kelokan
Penerapan e-voting atau pemungutan dan penghitungan suara secara elektronik mudah diucapkan, tetapi tak mudah diwujudkan. Apalagi, e-voting sejauh ini belum menjadi solusi atas persoalan paling krusial; rekapitulasi.
Wacana e-voting kembali muncul ke ruang publik. Pekan lalu dalam Rapat Koordinasi Digitalisasi Pemilu untuk Digitalisasi Indonesia yang berlangsung hibrida di Bali, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate menyampaikan Pemilu 2024 menjadi momentum menerapkan digitalisasi dalam pemilu karena sudah banyak negara yang menerapkan e-voting atau pemungutan suara secara elektronik.
Menurut Plate, penggunaan teknologi digital dalam pemilu bermanfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik, yang sah, mulai dalam tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara, hingga transmisi dan tabulasi hasil pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sekretaris Jenderal Partai Nasdem tersebut mengutip data International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), e-voting telah digunakan di 34 negara di dunia yang dilakukan dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Pelaksanaan e-voting tersebut melibatkan badan manajemen pemilu di skala nasional maupun subnasional seperti pemilihan anggota legislatif daerah.
Namun, apakah Indonesia sudah siap untuk menuju penerapan e-voting, dan yang lebih penting lagi, apakah e-voting merupakan peta jalan yang dibutuhkan Indonesia?
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Evi Novida Ginting Manik, menuturkan, memilih teknologi yang akan digunakan dalam pemilu harus berdasarkan evaluasi praktik yang dilaksanakan pada hari pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara.
Selama ini, KPU belum menguji coba penggunaan e-voting karena persoalan terjadi pada saat rekapitulasi, bukan ketika pemungutan dan penghitungan suara. Menurut dia, pemungutan dan penghitungan suara sudah dilakukan secara transparan dengan disaksikan oleh publik.
”Apakah pemungutan dan penghitungan suara tersebut mempunyai masalah dalam memenuhi asas penyelenggaraan pemilu luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan jurdil (jujur dan adil) serta menjamin keterbukaan dalam prosesnya? Jangan sampai adopsi teknologi menghapuskan praktik pemilu yang sudah baik, benar, dan transparan,” tutur Evi saat dihubungi di Jakarta, Senin (28/3/2022).
Evi mengungkapkan, selama ini KPU belum menguji coba penggunaan e-voting karena persoalan terjadi pada saat rekapitulasi, bukan ketika pemungutan dan penghitungan suara. Menurut dia, pemungutan dan penghitungan suara sudah dilakukan secara transparan dengan disaksikan oleh publik.
Baca juga: Akselerasi TI Pemilu, Kebutuhan dan Solusi Menuju Pemilu 2024
Ruang manipulasi justru ada pada rekapitulasi seperti terjadi penggelembungan suara. Hal itu terjadi karena terlalu banyak yang direkapitulasi, berjenjang, dan memakan waktu. Karena itu, KPU menggunakan sistem e-rekap bernama Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) agar rekapitulasi berjalan cepat.
Anggota KPU, Viryan Aziz, memperkirakan, hingga Pemilu 2019, e-voting belum bisa diterapkan di Indonesia dengan pertimbangan kurangnya literasi digital, pembangunan infrastruktur teknologi, dan kemampuan menghadirkan aplikasi yang tepercaya.
Ia mencontohkan, pada Pemilu 2019, KPU memakai Sistem Informasi Penghitungan (Situng) yang bukan sebagai hasil resmi. Pada saat itu, terjadi disinformasi seolah-olah Situng menjadi alat untuk memanipulasi hasil pemilu. Padahal, Situng tidak mungkin bisa mengubah hasil pemilu. Hal itu menunjukkan, tidak mudah mengatasi faktor literasi digital yang masih kurang di Indonesia.
Sementara itu, sejumlah negara yang telah menggunakan e-voting pun telah meninggalkan e-voting. Sebab, hasil dari e-voting tersebut telah memunculkan banyak perdebatan dan publik menjadi tidak percaya.
Dalam buku Panduan Penerapan Teknologi Pungut-Hitung di Pemilu yang diterbitkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bersama International IDEA pada 2019 disebutkan, Jerman dan Belanda merupakan negara yang menyudahi penggunaan e-voting karena tak cukup memenuhi asas pemilu yang bebas dan adil. Jerman terakhir menggunakan e-voting pada tahun 2005.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Pratama, mengkritik komparasi yang digunakan oleh Menkominfo terkait penerapan e-voting. Menurut dia, tidak relevan ketika membandingkan pemilu di Indonesia dengan Estonia. Sebab, jumlah pemilih di Indonesia pada 2019 mencapai 190 juta jiwa. Adapun total jumlah penduduk Estonia pada 2019 hanya 1,3 juta.
Menurut Heroik, sangat tidak mungkin menggunakan e-voting pada 2024. Sebab, ada peralihan secara drastis dari tata cara pemungutan dan penghitungan suara yang sebelumnya konvensional menjadi e-voting. Apalagi, e-voting belum pernah diuji coba dalam pemilu legislatif maupun eksekutif, baik kepala daerah maupun presiden.
E-voting baru diuji coba pada pemilihan kepala desa (pilkades). Menurut Heroik, uji coba tersebut belum signifikan karena levelnya kecil serta jumlah pemilih dan partisipannya sedikit.
Dari sisi infrastruktur teknologi juga masih kurang. Ia mengingatkan, putusan Mahkamah Konstitusi telah menyebutkan, penggunaan teknologi harus memenuhi dan memperkuat prinsip kepemiluan yang luber dan jurdil. Selain itu, perlu dilihat dari segi infrastruktur teknologi dan sumber daya manusia masyarakat.
Pada uji coba rekapitulasi secara elektronik yang dilakukan KPU pada 2020 terjadi kendala pada jaringan internet yang belum memadai di beberapa daerah. Alhasil, terjadi keterlambatan dalam pengumpulan data.
Situasi tersebut sangat berpengaruh pada kepercayaan publik, apalagi pada e-voting. Heroik menegaskan, kepercayaan publik harus menjadi nilai utama, baik dari pemilih maupun peserta pemilu. Di beberapa negara yang menggunakan e-voting, ketika terjadi sengketa, maka e-voting selalu menjadi sasaran yang dipersoalkan.
Ia mencontohkan, pada pemilu di Amerika Serikat (AS), antara Hillary Clinton dengan Donald Trump terjadi isu manipulasi terhadap e-voting dengan adanya peretasan terhadap e-voting. Alhasil, KPU Federal AS sampai membuat tim khusus untuk menginvestigasinya.
Heroik juga mengingatkan, dalam menerapkan teknologi informasi dalam pemilu, ada langkah-langkah yang harus dijalani, yakni identifikasi persoalan, kemudian mencari solusi apa yang perlu diterapkan, lalu jenis teknologi apa yang tepat untuk dipilih, mempersiapkan aturan hukumnya, kemudian pengadaan, baru uji coba terus-menerus secara bertahap.
Di Indonesia, KPU telah mengidentifikasi masalah yang dihadapi pada tahap rekapitulasi suara, bukan di pemungutan dan penghitungan suara. Dari persoalan yang dihadapi kemudian solusi yang dipilih oleh KPU ialah rekapitulasi elektronik. KPU juga telah memilih teknologi yang digunakan menerapkan kombinasi optical character recognition (OCR) dan optical mark recognition (OMR). Uji coba juga telah dilakukan di pilkada serentak 2020.
Dalam menerapkan teknologi informasi dalam pemilu, ada langkah-langkah yang harus dijalani, yakni identifikasi persoalan, kemudian mencari solusi apa yang perlu diterapkan, lalu jenis teknologi apa yang tepat untuk dipilih, mempersiapkan aturan hukumnya, kemudian pengadaan, baru uji coba terus-menerus secara bertahap.
Ibarat jalan, penerapan teknologi informasi kepemiluan membutuhkan persiapan yang panjang. ”Dalam persiapan yang panjang itu, bisa saja dalam perjalanan konklusinya bukan e-voting. Tidak bisa dipaksakan,” kata Heroik.
Menurut Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, wacana e-voting harus didahului dengan tahap edukasi dan sosialisasi terkait dengan sistem serta akuntabilitasnya. ”Bagaimana menghindari adanya suatu intervensi untuk melakukan manipulasi di dalam penghitungan suara itu kan yang harus dipastikan lebih jauh,” kata Hasto.
Ia menegaskan, penggunaan e-voting harus melalui kesepakatan bersama dalam kerangka untuk meningkatkan akuntabilitas pemilu. Penggunaan e-voting harus bisa dipastikan pemilu dapat berlangsung secara jujur dan adil. Perubahan sistem ini tidak boleh dilakukan secara terburu-buru dan harus dilakukan bertahap.
“Menurut kami, perlu dilakukan uji coba lebih dahulu dalam ruang lingkup yang lebih kecil, misalnya dalam skala pilkada kota dahulu kemudian kabupaten baru diangkat di tingkat nasional,” tutur Hasto.