Mahfud MD: MK Terlalu Lama Memutus Batas Usia Capres-Cawapres
Uji materi batas usia capres cawapres semestinya bisa diputus MK dengan cepat. Mahfud mengingatkan bahwa batas usia capres-cawapres merupakan kewenangan DPR dan pemerintah.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mempertanyakan lambatnya proses uji materi terkait dengan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden di Mahkamah Konstitusi. Apalagi, pendaftaran capres-cawapres untuk Pemilihan Presiden 2024 di Komisi Pemilihan Umum kurang dari satu bulan lagi, yakni pada 19-25 Oktober.
Mahfud mengatakan, uji materi terkait dengan hal tersebut bukan hal yang rumit, apalagi sulit. ”Menurut saya sederhana, sih, kok terlalu lama memutus itu?” ujar Mahfud kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sebelumnya, Mahfud menjelaskan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden menjadi minimal 35 tahun atau maksimal 70 tahun adalah openlegal policy (kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang). Sebagai open legal policy, lanjutnya, ketentuan soal batas usia capres pun semestinya ditentukan oleh DPR bersama pemerintah sebagai positive legislator.
”Kalau Mahkamah Konstitusi itu kerjanya negative legislator, artinya hanya membatalkan kalau sesuatu bertentangan dengan UUD 1945,” ujar Mahfud.
Urusan suka dan tidak suka, atau pantas dan tidak pantas, kata Mahfud, sebenarnya bukan kewenangan MK untuk memutus. Sepanjang tidak dilarang oleh konstitusi, lanjutnya, MK tidak boleh membatalkan sesuatu.
Karena itu, masalah batas usia capres dan cawapres bukan MK yang mengatur. Persoalan batas usia capres dan cawapres itu termasuk open legal policy. Karena itu, DPR bersama pemerintah yang semestinya menetapkan hal tersebut.
Persoalan batas usia capres dan cawapres itu termasuk ’open legal policy’. Karena itu, DPR bersama pemerintah yang semestinya menetapkan hal tersebut.
”Itu teori hukumnya. Ketika pertama kali MK lahir di Austria tahun 1920, Hans Kelsen membentuk pengadilan itu di Vienna dengan dalil MK adalah negative legislator, sedangkan parlemen adalah positive legislator. Dia (legislator) yang membuat, MK yang membatalkan (aturan perundangan) kalau salah. Dan kita tidak boleh mengintervensi Mahkamah Konstitusi,” kata Mahfud yang pernah menjabat sebagai Ketua MK pada periode 2008-2013.
Dia menambahkan, ilmu tersebut sudah diketahui oleh semua hakim konstitusi. ”Kita tidak boleh mengintervensi biar dia melihat sendiri apakah benar ini open legal policy atau tidak. Kalau ini tidak open legal policy, ada masalah yang harus segera diselesaikan itu apa, harus jelas nanti di dalam putusannya,” ujarnya.
Hingga Agustus 2023, terdapat setidaknya 12 permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu. Materi yang diujikan berkaitan dengan batas usia minimal capres/cawapres. Di tengah pengajuan uji materi itu, beberapa partai mendorong agar Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, dapat maju sebagai cawapres, sementara usianya belum memenuhi syarat seperti ditetapkan UU Pemilu.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Jamil, pun meminta MK berhati-hati dan tidak terseret kepentingan politik para pemohon uji materi tersebut. Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Jazilul Fawaid juga meminta MK tegas menolak permohonan tersebut.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto juga menilai, gugatan ini tidak relevan karena klausul ini adalah open legal policy. Adapun Plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Mardiono, kendati tidak menyepakati atau menolak uji materi, berharap MK segera memutus uji materi serta memberikan kepastian hukum.