Soal Usia Capres-Cawapres, Putusan MK Diharapkan Tak Timbulkan Persoalan Baru
Perkara pengujian batas usia minimal capres-cawapres mesti ditangani hati-hati sebab kental kepentingan politis sesaat. Ada kemungkinan timbul problematika baru kalau Mahkamah Konstitusi salah dalam memberikan respons.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi diminta untuk berhati-hati dalam menangani perkara pengujian batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden. Sebab, perkara tersebut sangat kental dengan kepentingan politis sesaat.
”Kalau MK salah dalam merespons, bukan tidak mungkin timbul problematika baru dalam penyelenggaraan pemilu karena, bagaimanapun, perkara-perkara tersebut berkaitan dengan proses tahapan penyelenggaraan pemilu,” kata pendiri Themis Indonesia Law Firm yang juga ahli hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, Rabu (23/8/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kalau MK salah dalam merespons, bukan tidak mungkin timbul problematika baru dalam penyelenggaraan pemilu karena, bagaimanapun, perkara-perkara tersebut berkaitan dengan proses tahapan penyelenggaraan pemilu.
Menurut Feri, permasalahan usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) merupakan open legal policy yang kewenangan pengaturannya ada di tangan pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah. Konstitusi pun tidak mengatur secara eksplisit masalah usia calon.
Apabila kesepakatan politik mengenai usia tersebut tiba-tiba diubah di tengah jalan, menurut Feri, hal tersebut akan berdampak pada perlindungan konstitusi. Dia pun meminta MK untuk tetap memperhatikan asas-asas serta prinsip penyelenggara pemilu yang benar-benar adil.
”Oleh karena itu, MK harus berhati-hati dan memastikan perkara-perkara seperti ini tidak menguntungkan pihak-pihak tertentu,” kata Feri.
Hingga saat ini, MK telah meregistrasi sembilan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu. Masih ada setidaknya tiga permohonan baru yang didaftarkan pada 18 Agustus lalu yang hingga kini belum diregister dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi.
Selain itu, MK juga menerima setidaknya lima permohonan menjadi pihak terkait di dalam perkara tersebut. Selain dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi serta DPP Partai Gerindra, MK setidaknya menerima tiga permohonan menjadi pihak terkait dalam perkara 29, 51,55/PUU-XXI/2023. Hal ini disampaikan Ketua MK Anwar Usman saat memimpin persidangan pengujian Pasal 169 huruf q UU Pemilu pada Selasa (22/8/2023) lalu.
Permohonan menjadi pihak terkait tersebut muncul, antara lain, dari Evi Anggita Rahma dan kawan-kawan, Rahan Fiki dan kawan-kawan, Oktavianus Rasubala, serta Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR). MK akan mendengarkan keterangan dari keempat pihak terkait tersebut pada Selasa (29/8/2023) mendatang.
”Untuk permohonan pihak terkait, majelis sudah bermusyawarah. Walaupun sudah agak terlambat (diajukan), majelis sudah mengambil kesimpulan bahwa keterangan pihak terkait akan didengar pada sidang yang akan datang,” ujar Anwar Usman.
Sementara itu, Partai Garuda yang sedianya mengajukan ahli untuk didengar keterangannya pada Selasa kemarin batal menghadirkan ahli. Pemohon dengan nomor perkara 51/2023 tersebut hanya akan mengajukan keterangan ahli secara tertulis.
Sementara itu, pemerintah pun batal mengajukan ahli. Begitu pula perkara 55/2023 yang diajukan sejumlah kepala daerah yang batal mengajukan ahli. Adapun untuk perkara di luar yang diajukan PSI, Partai Garuda, serta sejumlah kepala daerah, MK belum menjadwalkan agenda persidangannya.