Dalam hubungan internasional dikenal prinsip ”si vis pacem para bellum” yang berarti, ’jika ingin perdamaian, maka bersiaplah untuk perang’. Untuk itu, Indonesia perlu pertimbangkan sistem ekonomi saat perang meletus.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski tak berada dalam konflik bersenjata, Indonesia dinilai perlu menyiapkan sistem keuangan atau ekonomi yang bisa diterapkan pada masa perang. Untuk itu, negara perlu menyusun konsep mencakup alokasi anggaran, kerangka wajib militer, mobilisasi industri untuk kebutuhan perang, hingga penjatahan barang bagi pihak sipil. Dengan demikian, Indonesia memiliki kontijensi untuk memobilisasi sumber daya ekonomi dalam mendukung perang.
Hingga kini, merujuk data Universitas Pertahanan (Unhan) tahun 2023 mengenai Strategi Perang Semesta RI, potensi terjadinya perang di Indonesia tetap ada, di antaranya yang dipicu oleh konflik internasional, perang terbuka Indonesia, dan perang terbatas. Ketiga hal itu berdampak besar bagi negara dan semakin berbahaya jika berlangsung secara bersamaan.
Adapun kemungkinan besar yang terjadi di Indonesia adalah terorisme, separatisme, dan ancaman non-tradisional lainnya. Ketiga hal ini, dalam skenario tertentu dan pengaruh internasional, bisa berujung perang yang melibatkan Indonesia.
Pengamat pertahanan dari Binus University, Tangguh Chairil, mengatakan, Indonesia memang sudah lama tidak berperang sehingga kurang persiapan dalam wartime economy atau ekonomi semasa perang. Dalam hubungan internasional dikenal prinsip si vis pacem para bellum yang berarti ’jika ingin perdamaian maka bersiaplah untuk perang ’.
”Tidak ada (negara) yang ingin berperang. Tapi, kalau itu terjadi, Indonesia harus siap. Karena itu, dibutuhkan persiapan agar bisa langsung diaktifkan,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Adapun persiapan termasuk dalam bidang perekonomian. Indonesia, kata Tangguh, sempat mempunyai pengalaman wartime economy pada 1960-an ketika mobilisasi pelepasan Irian Barat (kini Pulau Papua) dan persiapan konfrontasi dengan Malaysia. Saat itu, alokasi anggaran untuk pertahanan mencapai 60-70 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Meski demikian, pengalaman yang dimiliki Indonesia sudah terlalu lama. Sejak itu, Indonesia belum pernah berada dalam kondisi perang, kecuali konflik berintensitas rendah, seperti kontra-pemberontakan, kontra-terorisme, dan separatisme.
”Oleh karena itu, sistem ekonomi masa perang terbaru perlu disusun. Yang jelas, dalam wartime economy, alokasi anggaran untuk pertahanan pasti meningkat,” ucap Tangguh.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, sebelum masuk ke penentuan alokasi anggaran, negara butuh menyiapkan sistem ekonomi terlebih dulu.
Selain itu, industri dalam negeri dipacu untuk mendukung kebutuhan perang, seperti memproduksi alat utama sistem persenjataan (alutsista). Di sisi lain, diterapkan skenario wajib militer dan penjatahan barang-barang untuk mendukung pertahanan sipil.
Tangguh mencontohkan, Amerika Serikat saat perang membuat badan baru untuk meningkatkan produksi industri militer. Mereka juga menaikkan pajak dan menjual war bonds (obligasi perang). Industri sipil yang ada di AS juga dimobilisasi untuk memproduksi kendaraan alutsista.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, sebelum masuk ke penentuan alokasi anggaran, negara butuh menyiapkan sistem ekonomi terlebih dulu. Hal ini mencakup kebutuhan energi, alutsista, dan logistik. Pada prinsipnya, suplai kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dari dalam negeri.
”Dalam antisipasi perang, suatu negara semakin tinggi ketahanannya jika kemandiriannya tinggi. Artinya, suplainya tidak tergantung dari luar. Sementara saat ini ekonomi lebih terbuka, katanya.
Selain itu, saat perang meletus kemungkinan disrupsi juga semakin tinggi, khususnya pada sektor suplai arus atau distribusi produk di dalam negeri. Salah satunya, kata Faisal, terganggunya distribusi pangan yang bisa berujung pada inflasi.
Dari sisi anggaran, Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk mengalokasikan dana pertahanan yang begitu besar. Ini karena RI punya mandatory spending, antara lain untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Karena itu, perlu ada anggaran yang dikorbankan dalam langkah kontijensi perang.
”Tidak semestinya anggaran pertahanan meningkat sampai 60-70 persen lagi, itu bisa berdampak pada ketidaksehatan fiskal dan kehancuran ekonomi,” ungkapnya.
Melihat kondisi tersebut, Indonesia bisa menaikkan anggaran pertahanannya, tetapi tidak lebih dari 50 persen dari APBN. Angka tersebut bisa dicapai dari pertukaran anggaran pendidikan, infrastruktur, dan lainnya demi pendanaan perang.
Rektor Universitas Pertahanan (Unhan) Letnan Jenderal Jonni Mahroza mengakui bahwa Indonesia belum memiliki sistem ekonomi atau keuangan masa perang. Padahal, sistem tersebut dibutuhkan sebagai langkah kontijensi–situasi yang diperkirakan akan segera terjadi, tetapi mungkin juga tidak akan terjadi.
”Iya, belum ada sistem ekonomi dan keuangan selama perang. Karena itu, perlu rencana kontijensi Indonesia. Sebab, kemungkinan perang itu tidak menentu apakah karena kita sendiri atau orang lain yang perang dan RI ikut kena dampaknya,” ucapnya beberapa hari lalu.
Konflik internasional yang kini terjadi, misalnya Rusia-Ukraina, menjadi pelajaran berharga. Akses ke keuangan internasional bagi Rusia ditutup. Hal yang sama bisa berlaku terhadap Indonesia karena akses keuangan internasional di Singapura, kata Jonni, rentan dengan situasi perang di kawasan.
Dalam konteks sistem keuangan masa perang, RI juga perlu memitigasi embargo ketika ketergantungannya dengan internasional sangat tinggi.
Dalam konteks sistem keuangan masa perang, RI juga perlu memitigasi embargo ketika ketergantungannya dengan internasional sangat tinggi. Hal itu bisa menjadi ”senjata” bagi negara lain untuk melemahkan kondisi Indonesia. Menurut Jonni, perdagangan intra-ASEAN perlu didorong dan meningkatkan penggunaan mata uang lokal dalam transaksi.
”Unhan sudah ada kajiannya (sistem keuangan masa perang), dari program studi ekonomi pertahanan. Kajian kalau tak dibuat jadi aturan perundangan kan tidak efektif juga, jadi hanya sebatas pengetahuan,” tuturnya.