Sinyal Perlunya Memperkuat Anggaran Pertahanan Laut Nasional
Keamanan dan kedaulatan negara di lautan tidak hanya membutuhkan personel TNI yang andal, tetapi juga menuntut dukungan alutsista.
Tenggelamnya KRI Nanggala-402 memberikan sinyal pentingnya perhatian terhadap alat utama sistem persenjataan atau alutsista wilayah laut Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia.
Merujuk laman World Atlas, Indonesia menempati urutan lima teratas dengan kepulauan terbesar di dunia. Wilayah Indonesia mencakup 17.508 hingga 18.306 pulau besar, pulau kecil, dan terumbu karang.
Indonesia juga tercatat sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia. Garis pantai wilayah Indonesia tercatat mencapai 61.567 mil, atau setara 99.083 kilometer.
Batas wilayah maritim Indonesia sudah kerap kali berhadapan dengan pelanggaran yang kompleks. Berdasarkan laporan dari Badan Keamanan Laut dan Maritim (Bakamla), wilayah Indonesia sangat rawan terjadi kasus, mulai dari kriminalitas hingga sengketa politik.
Salah satu armada laut milik Tentara Nasional Indonesia yang berhadapan dengan kompleksitas tugas pengamanan negara adalah kapal selam KRI Nanggala-402. Kapal selam KRI Nanggala-402 termasuk salah satu armada andalan TNI Angkatan Laut. Kapal selam yang resmi menjadi bagian dari alutsista Indonesia sejak tahun 1981 itu merupakan armada pemukul yang dimiliki TNI AL.
Jauh dari publikasi, kapal selam tersebut pernah berperan sebagai ujung tombak saat terjadi konflik antara Indonesia dan Malaysia terkait dengan Blok Ambalat. Tanpa publikasi, KRI Nanggala-402 berperan penting mengawasi wilayah yang dipersengketakan. Itu sekadar contoh operasi senyap yang dijalankan oleh KRI Nanggala-402 di saat kondisi negara tengah genting.
Kerawanan laut
Dengan wilayah sedemikian luas, tak urung Indonesia juga berhadapan dengan sejumlah persoalan potensi kerawanan di wilayah laut. Sejumlah kasus itu contohnya illegal fishing atau penyelundupan barang, narkotika, dan BBM. Wilayah hukum di perairan laut juga berhadapan dengan persoalan penyelundupan manusia hingga perampokan.
Secara keseluruhan, pemetaan kasus pelanggaran kedaulatan, keamananan, dan kriminalitas di wilayah perairan laut mencatat ragam kasus yang lebih banyak ketimbang wilayah darat dan udara.
Merujuk publikasi Bakamla tahun 2020, wilayah udara lebih banyak mencatat satu jenis kasus, yakni pelanggaran batas kedaulatan Indonesia. Adapun kasus di kawasan daratan lebih banyak terkait dengan pelanggaran atau penggeseran patok batas kedaulatan, lalu lintas ilegal manusia, dan penyelundupan. Sementara wilayah laut mencatat hingga 10 jenis pelanggaran dan kriminalitas.
Baca juga : Urgensi Keberpihakan pada Pertahanan
Kawasan perairan yang rawan kegiatan ilegal itu berada di wilayah Selat Malaka, perairan Natuna, Sumatera Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan wilayah Sorong, Papua Barat. Di semua kawasan tersebut telah teridentifikasi terjadi aksi-aksi ilegal yang berhubungan dengan kejahatan transnasional.
Berdasarkan data dari United Nation Office on Drug and Crime (UNODC), jumlah pengungkapan kasus narkotika berbagai jenis di Indonesia semakin besar. Pada tahun 2016-2018, rata-rata kasus yang terungkap lebih dari 160 ton per tahun.
Sebagian besar narkotika ini diperkirakan berasal dari luar negeri yang diselundupkan ke Indonesia antara lain lewat jalur laut. Selain itu, UNODC melaporkan, di Indonesia juga terjadi kasus perdagangan manusia lebih dari 200 kasus per tahun. Human trafficking ini juga diindikasi hingga melintasi batas negara dengan motif yang beragam.
Data dari Bakamla menunjukkan, ada sejumlah wilayah yang rawan tindakan ilegal antarnegara, yaitu Selat Malaka, Kepulauan Natuna, jalur darat Serawak-Kalbar, Nunukan, Sangihe Talaud, Papua, perairan selatan Indonesia, dan NTT. Kasus-kasus kriminal yang melibatkan narkotika, penyelundupan manusia, penyelundupan barang-barang ilegal, dan terorisme juga sangat rawan terjadi di wilayah perbatasan negara.
Tantangan ke depan
Kompleksitas persoalan, khususnya di wilayah laut, tak lepas dari dinamika lingkungan strategis baik secara internasional, regional, maupun nasional. Jenis ancaman dan tantangan tidak lagi didominasi oleh ancaman militer, tetapi juga ancaman nonmiliter. Pelaku ancaman tidak terbatas hanya aktor negara (state actor), tetapi juga aktor non-negara (nonstate actor), bahkan keduanya dapat bersama-sama menjadi ancaman (hybrid threat).
Ditinjau dari sumber ancamannya, ada peluang keterkaitan antara ancaman eksternal dan internal. Dimensi ancaman mudah berkembang dari satu dimensi ke dimensi lain sehingga menjadi sangat kompleks ketika akan diurai mengatasi masalahnya.
Berdasarkan spektrumnya, ancaman keamanan nasional terbagi menjadi tiga, yakni security threat, security hazard, dan security disaster. Security threat berarti ancaman yang menimbulkan potensi dapat mengganggu pertahanan negara. Security hazard adalah ancaman yang menimbulkan risiko sangat mengganggu pertahanan, sedangkan security disaster adalah ancaman yang menimbulkan korban.
Berbagai ancaman tersebut menuntut peran besar TNI. Dengan kompleksitas persoalan terkait keamanan dan kedaulatan negara, khususnya di laut, TNI memiliki tugas menyelenggarakan operasi militer perang (OMP) dan opersi militer selain perang (OMSP).
Fungsi OMP bertujuan mengamankan kedaulatan wilayah NKRI dari serangan militer asing. Sementara itu, fungsi OMSP terbagi menjadi dua, yakni bersifat tempur dan nontempur.
Fungsi OMSP memiliki sifat tempur dalam konteks mengatasi gerakan separatis bersenjata, aksi terorisme, pengamanan batas wilayah negara, pengamanan obyek vital strategis nasional, dan melaksanakan tugas perdamaian dunia. Adapun OMSP bersifat nontempur, bentuknya dapat berupa operasi menanggulangi bencana alam, pencarian dan pertolongan (SAR), ataupun kegiatan lain bekerja sama dengan institusi lain.
Dalam konteks tersebut, jumlah dan kualitas alutsista yang dikuasai TNI, khususnya di wilayah laut, menjadi sangat vital. Keamanan dan kedaulatan negara tidak hanya membutuhkan personel TNI yang andal, tetapi juga menuntut dukungan alutsista.
Hal tersebut menuntut juga peran strategis anggaran pemerintah dalam pengadaan alutsista. Sementara anggaran alutsista sejauh ini boleh jadi belum memadai untuk mewujudkan tujuan strategis tersebut.
Sebagai gambaran, sepanjang 2016-2021, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk Kementerian Pertahanan rata-rata 13,8 persen dari total anggaran belanja negara setiap tahun. Adapun anggaran untuk Bakamla juga terbilang sangat kecil. Rata-rata alokasi anggaran untuk Bakamla kurang dari 1 persen dari total belanja negara setiap tahun sepanjang periode yang sama. Kondisi ini menjadi sinyal kuat untuk memperkuat pertahanan laut nasional. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Alutsista dan Kekuatan Militer Indonesia