Pembahasan Revisi UU ITE Belum Tuntas, Bisa Ancam Keseimbangan Demokrasi
DPR menargetkan pembahasan substansi materi revisi UU ITE selesai pada akhir September ini. Hingga kini, masih ada sejumlah pasal yang harus dibahas, seperti perjudian dan pornografi.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik belum juga tuntas. Sejumlah pasal karet dalam undang-undang itu pun dikhawatirkan mengancam keseimbangan proses demokrasi di tengah tahapan Pemilihan Umum 2024 yang sedang berjalan. Sebab, pasal-pasal karet itu bisa memicu kerentanan kriminalisasi dengan motif politik.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan ada dua pendapat terkait pentingnya revisi terhadap UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk mengawal demokratisasi Pemilu 2024.
Salah satu harapan revisi kedua terhadap UU ITE adalah menjamin hak berekspresi dan berpendapat masyarakat tanpa ancaman kriminalisasi.
Ada yang menilai tidak perlu ada pengaturan berlebihan karena akan mengancam kebebasan sipil. Sebaliknya, ada yang menyatakan perlu ada pengaturan karena menguatnya ujaran kebencian, berita bohong, dan hal-hal negatif lainnya.
”Di tengah perdebatan itu perlu dicari jalan tengah agar proses demokratisasi berjalan optimal pada Pemilu 2024,” ujar Arya, Jumat (8/9/2023).
Dia menambahkan, salah satu harapan revisi kedua terhadap UU ITE adalah menjamin hak berekspresi dan berpendapat masyarakat tanpa ancaman kriminalisasi. Selain itu, melindungi data masyarakat dalam hal transaksi elektronik.
Namun, melihat waktu menjelang pemungutan suara yang sudah semakin dekat, Arya memandang agak berat revisi UU ITE disahkan pada tahun ini atau sampai Pemilu 2024 digelar pada Februari 2024. Dia memprediksi proses revisi tersebut akan dibahas lagi setelah Pemilu 2024.
Alasannya, beberapa agenda politik pemerintah dan DPR cukup banyak, terutama terkait pemilu, pada masa-masa ini dan yang akan datang. Agenda itu antara lain daftar caleg tetap, kampanye, kandidasi calon presiden dan calon wakil presiden, serta usulan percepatan pilkada.
”Jadi, saya melihat sepertinya DPR akan menunda pembahasannya (revisi UU ITE), kecuali ada desakan yang kuat dari masyarakat serta adanya political will dari pengambil kebijakan,” kata Arya.
Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari mengatakan pembahasan terkait substansi materi revisi kedua UU ITE saat ini belum selesai. Alasannya, masih ada sejumlah pasal yang harus dibahas, seperti perjudian dan pornografi.
”Hal itu terjadi karena belum ada titik temu antara DPR dan pemerintah. Masalahnya judi daring lagi marak, korbannya masyarakat kecil. DPR maunya penyelenggara sistem elektronik melakukan filter sendiri, tidak usah melalui Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) karena harus menunggu laporan baru ditangani, prosedurnya lebih panjang,” ucap Kharis.
Dengan prosedur panjang tersebut, penyelenggara judi daring diuntungkan karena mereka memiliki kesempatan lari. Masyarakat juga dirugikan karena mereka telanjur menjadi korban. Semakin panjang prosedurnya, semakin banyak masyarakat yang menjadi korban, semakin untung besar bandarnya.
Politisi PKS itu memprediksi pembahasan substansi materi revisi UU ITE berdasarkan daftar inventarisasi masalah akan selesai akhir September 2023. Setelah itu baru dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi. Baru kemudian dibawa ke rapat paripurna untuk meminta persetujuan pengesahan menjadi UU.
Tantangan menyelesaikan pembahasan RUU ITE antara lain menyelaraskan pasal-pasal dalam UU ITE dengan ketentuan perundang-undangan lainnya.
Anggota Komisi I DPR, Boby Adhityo Rizaldi, menambahkan, tantangan menyelesaikan pembahasan RUU ITE antara lain menyelaraskan pasal-pasal dalam UU ITE dengan ketentuan perundang-undangan lainnya. Contohnya, perjudian, ujaran kebencian, dan pornografi yang juga bersinggungan dengan undang-undang lain, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
”KUHP sendiri baru akan berlaku tahun 2026 sehingga terjadi masa transisi selama sekitar dua tahun yang harus dipikirkan agar tidak terjadi kekosongan aturan yang dijadikan pedoman dalam penegakan hukum,” ujar Boby.
Dia beralasan, apabila selama masa transisi menggunakan undang-undang yang lama, banyak pasal yang multitafsir dan penuh kontroversi. Bahkan, Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi UU ITE tidak serta-merta menyelesaikan masalah.
Dalam pembahasan revisi kedua UU ITE ini, lanjut Boby, pasal-pasal yang multitafsir dipastikan sudah tidak ada. Alasannya, sudah ada acuan norma pidananya dalam KUHP yang baru. Selain itu, penggunaan informasi dan transaksi elektronik oleh salah satu pihak dalam rangka pembelaan diri tidak bisa dimasukkan dalam kategori mendistribusikan konten. Hal itu untuk mencegah kriminalisasi terhadap korban.
Sebelumnya, masyarakat sipil mendorong agar revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE yang kini tengah berproses tidak menyisakan pasal-pasal bermasalah yang berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi warga. Sebab, hingga saat ini, pemidanaan kasus-kasus pelanggaran UU ITE masih terus berjalan. Sebagian di antaranya ditengarai tak sejalan dengan Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Implementasi UU ITE yang semestinya menjadi rujukan dalam penggunaan sejumlah pasal karet.
Berdasarkan catatan Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Paku ITE), sejak Juli 2021 hingga Januari 2023, setidaknya ada empat kasus dugaan pelanggaran UU ITE yang dilaporkan ke penegak hukum (Kompas.id, 24/7/2023).