Revisi UU ITE Dijanjikan Tak Makan Waktu Lama
Panja RUU ITE Komisi I DPR bakal mulai pembahasan pasal-pasal dalam UU ITE yang perlu direvisi, April mendatang. Saat ini, Komisi I DPR masih menjaring masukan berbagai pihak.
JAKARTA, KOMPAS — Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dari Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat menargetkan untuk memulai pembahasan pasal-pasal dalam revisi UU ITE pada April 2023. DPR berkomitmen untuk terus menghimpun aspirasi masyarakat dan tidak membahas RUU ITE secara berlarut-larut. Ditargetkan, pembahasan tuntas dalam satu masa sidang setelah Lebaran.
Setelah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2023 atas usul pemerintah, pembahasan pasal-pasal dalam revisi UU ITE mulai menemui titik terang.
Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, menindaklanjuti penugasan dari pimpinan DPR untuk membahas revisi UU ITE, pihaknya telah membentuk Panitia Kerja RUU ITE. ”Panja sudah dibentuk, saya yang menjadi ketuanya,” kata Kharis di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (28/3/2023).
Meski telah terbentuk, panja belum mulai bekerja untuk membahas RUU ITE secara spesifik. Sebab, hingga saat ini, Komisi I masih berkonsentrasi untuk menyerap aspirasi masyarakat. Pada Senin (27/3/2023), misalnya, Komisi I menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang menghadirkan masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE, di antaranya Amnesty International Indonesia, South East Asia Freedom of Expression Network (Safenet), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Tak hanya itu, komisi juga mengundang dan meminta masukan perbaikan UU ITE dari Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech).
Baca juga: Cegah Kriminalisasi Masyarakat, UU ITE Diusulkan Direvisi Total
Kharis mengatakan, masih terbuka kesempatan bagi seluruh pihak menyampaikan usulan terkait RUU ITE. Menurut rencana, Komisi I masih akan menyelenggarakan satu kali RDPU mengundang pihak-pihak yang bisa memberi masukan terkait revisi UU ITE sebelum memulai pembahasan pasal per pasal dalam revisi. Ia juga tak menutup kemungkinan untuk menambah jumlah RDPU asalkan pihak yang akan diundang benar-benar menguasai permasalahan dan memiliki usulan konkret terkait RUU tersebut.
Ia menargetkan, pembahasan oleh panja akan dimulai pada masa persidangan DPR ini. Tepatnya pada pekan terakhir masa sidang DPR di bulan Ramadhan atau minggu pertama dan kedua April. Ia pun berkomitmen pembahasan tidak akan berlarut-larut.
”Saya menargetkan, (pada) masa sidang setelah Lebaran selesai (pembahasan RUU ITE),” katanya.
Masa sidang DPR saat ini berlangsung hingga 13 April. Setelah itu, DPR memasuki masa reses. Jadwal sidang DPR berikutnya dimulai pada pertengahan Mei.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Rizki Aulia Rahman Natakusumah, menambahkan, pihaknya juga berkomitmen untuk melibatkan publik dalam pembahasan RUU ITE. Oleh karena itu, selain melalui RDPU di Komisi I, Fraksi Partai Demokrat juga aktif mengadakan audiensi baik dengan organisasi masyarakat sipil, asosiasi, maupun perkumpulan korban kriminalisasi UU ITE.
Berdasarkan usul yang terhimpun sejauh ini, kata Rizki, masyarakat tidak hanya menginginkan pembahasan terbatas pada tujuh poin revisi yang diusulkan pemerintah. Selain berfokus pada persoalan hak asasi manusia, kebebasan berpendapat dan berekspresi, publik juga menyoroti sinkronisasi pemidanaan yang ada di RUU ITE dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan pada akhir Desember 2022. Tak hanya itu, sejumlah usul terkait transaksi elektronik juga sempat disampaikan.
Menurut Rizki, dari unsur informasi dan transaksi elektronik, Komisi I akan berfokus pada pembahasan seputar ranah informasi untuk menjamin hak digital warga. Usul perubahan di luar itu, misalnya, yang terkait dengan transaksi elektronik, bisa memperluas cakupan revisi. Konsekuensi dari perluasan itu, pembahasan akan membutuhkan waktu yang lebih panjang.
Oleh karena itu, masih diperlukan pembahasan antara Panja Komisi I DPR dan pemerintah untuk memutuskan koridor revisi. Koridor dimaksud apakah terbatas pada poin-poin revisi yang diajukan oleh pemerintah atau bisa di luar itu. ”DPR dan pemerintah nanti harus bisa memutuskan apakah dalam revisi UU ITE ini kita akan berpatokan pada surpres (surat presiden) yang dikirim ke DPR atau ada usulan baru ain yang bisa dibahas bersama,” kata Rizki.
Baca juga: Pemerintah Usul Tujuh Poin Perubahan di RUU ITE
Bukti keseriusan
Diberitakan sebelumnya, pemerintah mengusulkan tujuh poin perubahan dalam RUU ITE. Ketujuh poin dimaksud di antaranya perubahan Pasal 27 Ayat 1, Ayat 3, Ayat 4, mengenai kesusilaan, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan, dan/atau pengancaman dengan merujuk pada KUHP. Perubahan Pasal 28 yang menyisakan ketentuan mengenai berita bohong atau informasi menyesatkan yang menyebabkan kerugian materiil konsumen, dan penambahan ketentuan Pasal 28A di antara Pasal 28 dan Pasal 29 mengenai ketentuan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran.
Ada pula perubahan ketentuan penjelasan Pasal 29 mengenai perundungan, perubahan Pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain. Selain itu, perubahan Pasal 45 terkait ancaman pidana penjara dan denda serta menambah pengaturan mengenai pengecualian pengenaan ketentuan pidana atas pelanggaran kesusilaan pada Pasal 27 Ayat 1. Juga perubahan Pasal 45A terkait pidana atas pemberitahuan bohong dan informasi menyesatkan yang menimbulkan keonaran di masyarakat.
Koalisi Serius Revisi UU ITE dalam kertas rekomendasinya yang diserahkan kepada DPR menyatakan, revisi kedua UU ITE setelah pertama kali dilakukan pada 2016 merupakan momentum untuk merevisi UU tersebut secara total. Sebab, koalisi menilai, draf revisi yang akan dibahas masih dilihat dari perspektif keamanan dan pertahanan, bukan sudut pandang perlindungan hak asasi manusia (HAM). Padahal, persoalan HAM menjadi masalah serius karena UU ITE memunculkan banyak korban kriminalisasi. Koalisi pun mencatat, pemidanaan warga dengan UU ITE tidak berkurang meski UU tersebut pernah direvisi pada 2016.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pemerintah dan DPR harus membuktikan keseriusan untuk merevisi UU ITE dengan segera membahas dan mengesahkannya sebagai UU. Selain itu, penting pula memerhatikan usul masyarakat yang menginginkan agar revisi UU ITE dilakukan secara menyeluruh, tidak terbatas hanya pada sejumlah pasal. Sebab, beberapa waktu terakhir, pembentuk UU telah mengecewakan masyarakat lantaran mengabaikan partisipasi publik dalam penyusunan sejumlah UU, misalnya UU Cipta Kerja, KUHP, dan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Usulan masyarakat kepada publik dan DPR juga terus diberi harapan palsu. Barangkali karena UU ITE ini tidak memiliki tingkat keuntungan politik apalagi ekonomi bagi mereka,” katanya.
Usman pun berharap, pembahasan RUU ITE bisa dilakukan secepatnya, setidaknya dalam satu masa persidangan. Revisi UU tersebut semakin mendesak seiring dengan berlangsungnya tahapan Pemilu 2024. Sebab, jelang pemilu UU ITE rentan digunakan untuk mengkriminalisasi seseorang dengan motif politis.
”Akan ada banyak kerentanan bahwa UU itu gagal direvisi. Bahkan, bisa kembali digunakan secara marak saat momen pemilu,” ujarnya.