Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate dalam rapat dengan Komisi I DPR di Jakarta, Senin (13/2/2023), mengatakan, UU ITE harus direvisi kembali agar pengaturannya lebih baik lagi di masa datang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Warga melintasi mural yang dibuat untuk melawan penyebaran informasi palsu di masyarakat (hoaks) di Jalan KH Hasyim Ashari, Tangerang, Banten, Senin (22/2/2021). Pemerintah dan DPR telah memutuskan untuk merevisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengusulkan tujuh poin perubahan dalam Rancangan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Poin perubahan itu telah disesuaikan dengan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pembahasan RUU ITE tersebut, menurut rencana, akan dimulai setelah masa reses DPR atau pertengahan Maret 2023.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate dalam rapat dengan Komisi I DPR di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (13/2/2023), mengatakan, implementasi UU ITE selama hampir 15 tahun berjalan penuh dinamika. Masyarakat telah mengajukan 12 permohonan pengujian konstitusionalitas UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi sejak 2008 sampai 2022.
Pemerintah menghormati berbagai perbedaan pendapat yang disampaikan masyarakat terhadap ketentuan UU ITE. Pemerintah juga secara aktif mendengarkan beragam masukan terhadap pelaksanaan UU ITE.
MAWAR KUSUMA WULAN KUNCORO MANIK
Menkominfo Johnny G Plate ketika memberikan keterangan pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (24/8/2022).
Namun, revisi tersebut belum dapat menjawab kebutuhan pelaksanaan yang ada. Bahkan, implementasi beberapa pasal UU ITE di lapangan dianggap kerap menimbulkan polemik.
Merespons dinamika yang ada, pemerintah telah melakukan beberapa strategi agar UU ITE dapat diimplementasikan secara optimal. Bahkan, pasca-diundangkannya UU ITE di tahun 2008, UU tersebut kemudian direvisi pada 2016.
”Namun, revisi tersebut belum dapat menjawab kebutuhan pelaksanaan yang ada. Bahkan, implementasi beberapa pasal UU ITE di lapangan dianggap kerap menimbulkan polemik,” ujar Plate.
UU ITE, lanjut Plate, kini diusulkan untuk direvisi kembali. Harapannya, pengaturan dalam UU tersebut menjadi lebih baik. Seiring dengan itu, pemerintah juga telah menempuh dua strategi.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana rapat dengar pendapat Komisi I DPR dengan ahli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (25/1/2023). Agenda rapat adalah untuk mendapatkan masukan dan pandangan terkait Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Strategi pertama, sebagai strategi jangka pendek, Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara RI, telah menetapkan pedoman implementasi atas pasal-pasal tertentu UU ITE pada 2021. Pedoman ini bertujuan agar aparat penegak hukum pada tingkat penyidikan ataupun penuntutan dapat memiliki pemahaman yang sama dan dapat menerapkan ketentuan pidana konten ilegal secara konsisten.
Kedua, strategi jangka panjang, pemerintah juga menyiapkan rancangan perubahan kedua terhadap UU ITE dan naskah akademisnya. RUU ITE dan naskah akademis tersebut telah disampaikan kepada Ketua DPR pada 19 Desember 2021.
Penyusunan rancangan perubahan kedua terhadap UU ITE ini diperlukan untuk meningkatkan penataan dan pengaturan informasi dan transaksi elektronik.
Tak hanya itu, Kemenkominfo juga telah mengadakan diskusi publik UU ITE pada September dan Desember 2022. Dari diskusi tersebut, terdapat masukan bahwa UU ITE perlu menyertakan norma keadilan restoratif (restorative justice). Usulan ini kemudian direncanakan dimuat dalam UU ITE.
”Penyusunan rancangan perubahan kedua terhadap UU ITE ini diperlukan untuk meningkatkan penataan serta pengaturan informasi dan transaksi elektronik,” ucap Plate.
Tujuh poin perubahan
Plate mengungkapkan, perubahan kedua terhadap UU ITE ini juga diharmonisasi dengan UU No 1/2023 tentang KUHP. Setidaknya ada tujuh perubahan materi muatan UU ITE yang diusulkan pemerintah. Pertama, perubahan terhadap ketentuan Pasal 27 Ayat 1, Ayat 3, dan Ayat 4 mengenai kesusilaan, penghinaan, dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan, dan/atau pengancaman dengan merujuk ketentuan KUHP.
Kedua, perubahan ketentuan Pasal 28 sehingga hanya mengatur ketentuan mengenai berita bohong atau informasi menyesatkan yang menyebabkan kerugian materiil konsumen. Ketiga, penambahan ketentuan Pasal 28A di antara Pasal 28 dan Pasal 29 mengenai ketentuan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat.
Perubahan kedua terhadap UU ITE ini juga diharmonisasi dengan UU No 1/2023 tentang KUHP.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Mural yang menyuarakan keadilan untuk musisi Jerink menghiasi tiang jalan layang di Jalan Ciledug Raya, Jakarta, Jumat (19/2/2021).
Keempat, perubahan ketentuan penjelasan Pasal 29 mengenai perundungan (cyber-bullying). Kelima, perubahan ketentuan Pasal 36 mengenai pemberatan hukuman karena mengakibatkan kerugian terhadap orang lain.
Keenam, perubahan ketentuan Pasal 45 terkait ancaman pidana penjara dan denda serta menambah pengaturan mengenai pengecualian pengenaan ketentuan pidana atas pelanggaran kesusilaan dalam Pasal 27 Ayat 1. Ketujuh, perubahan ketentuan Pasal 45A terkait pidana atas pemberitahuan bohong dan informasi menyesatkan yang menimbulkan keonaran di masyarakat.
Dengan adanya perubahan tersebut, Pasal 622 Ayat 1 huruf r UU KUHP kemudian diusulkan untuk dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dalam pasal tersebut, terdapat sejumlah ketentuan dalam UU ITE, meliputi Pasal 27 Ayat 1, Pasal 27 Ayat 3, Pasal 28 Ayat 2, Pasal 30, Pasal 31 Ayat 1, Pasal 31 Ayat 2, Pasal 36, Pasal 45 Ayat 1, Pasal 45 Ayat 3, Pasal 45A Ayat 2, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 51 Ayat 2.
Dibahas seusai reses
Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari, yang memimpin rapat tersebut, menyampaikan, rapat kerja untuk pembahasan RUU ITE akan dijadwalkan pada kesempatan selanjutnya setelah DPR memasuki masa reses. Sebagaimana diketahui, DPR akan memasuki masa reses pada 17 Februari 2023. Kemudian, DPR akan memulai bersidang kembali pada 14 Maret 2023.
Pembahasan akan segera dilakukan setelah masa reses berlangsung. Mudah-mudahan DIM bisa segera kami kirim untuk kemudian menjadi bahan rapat dalam forum panitia kerja pembahasan RUU.
Dua unsur pimpinan Komisi I DPR, Abdul Kharis Almasyhari (kiri) dan Bambang Kristiono (kanan), saat memimpin rapat di Komisi I DPR, Jakarta, Rabu (1/2/2023).
Semua fraksi, ujar Abdul Kharis, sebenarnya sudah menyiapkan daftar inventarisasi masalah (DIM) atas RUU ITE yang disampaikan pemerintah. Namun, DIM tersebut masih dikompilasi oleh sekretariat.
”Pembahasan akan segera dilakukan setelah masa reses berlangsung. Mudah-mudahan DIM bisa segera kami kirim untuk kemudian menjadi bahan rapat dalam forum panitia kerja pembahasan RUU,” kata Abdul Kharis.
Anggota Komisi I DPR, Christina Aryani, mengatakan, pengharmonisasian RUU ITE dengan UU KUHP bertujuan agar perubahan UU ini dapat menjawab sesuai tujuan diundangkannya UU ITE. Dengan begitu, implementasi UU ITE tidak lagi menimbulkan permasalahan multitafsir seperti yang dulu.
Ia tidak dapat memastikan seberapa cepat pembahasan RUU ITE tersebut. Sebab, cepat atau lambatnya pembahasan bergantung pada proses di panitia kerja (panja) nanti. ”Yang terpenting, kami harap, panja dapat memastikan UU yang terbentuk nanti tidak bermasalah lagi. Kalau UU direvisi dan tetap bermasalah, ya, enggak bener,” tuturnya.