Ketua Paguyuban Korban UU ITE M Arsyad mempertanyakan pembahasan RUU ITE tertutup. Padahal, UU ITE mengandung pasal kontroversial. Namun, Ketua Panja RUU ITE DPR Abdul Kharis berdalih karena pembahasan yang bertele-tele
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama lebih dari sebulan, pembahasan daftar inventarisasi masalah Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik berlangsung tertutup. Meski menyadari revisi undang-undang tersebut merupakan salah satu yang paling menyita perhatian masyarakat, DPR beralasan tak ingin menunjukkan perdebatan panjang yang berlarut-larut ke hadapan publik. Masyarakat sipil khawatir, pembahasan tertutup membuka ruang bagi pembentuk undang-undang untuk memertahankan atau bahkan memuat pasal bermasalah yang mengancam demokrasi.
Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang terbengkalai sejak akhir 2021 mulai dibahas pada akhir Mei lalu. Namun, rapat yang melibatkan Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) ITE dari Komisi I DPR dan pemerintah itu tak satu pun dilaksanakan secara terbuka. Tidak terkecuali rapat panja yang berlangsung di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (5/7/2023). Sejak awal pekan ini, rapat Panja RUU ITE dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut.
Ketua Panja RUU ITE Abdul Kharis Almasyhari, di Jakarta, Rabu, menjelaskan, pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU ITE telah berlangsung lebih dari empat minggu. Dalam rentang waktu tersebut, pembentuk UU telah menyelesaikan pembahasan revisi Pasal 27, Pasal 28, dan sebagian Pasal 45. Ketiga pasal itu merupakan bagian dari lima pasal perubahan dan satu pasal baru yang sebelumnya diajukan oleh pemerintah.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu tidak memungkiri bahwa revisi UU ITE telah dinantikan publik. Akan tetapi, ia mengklaim, tidak ada intensi untuk menyembunyikan sesuatu meski pembahasan selama beberapa pekan terakhir dilakukan secara tertutup. Rapat-rapat tidak digelar secara terbuka karena selalu terjadi perdebatan yang berlarut-larut.
Contohnya, pembahasan Pasal 27 RUU ITE baru tuntas pada Selasa (4/7) sejak pertama kali dibahas pada akhir Mei. ”Tiga minggu berturut-turut tertutup terus karena satu ayat pun tidak rampung. Satu ayat karet itu (Pasal 27) membahasnya sampai tiga minggu,” kata Kharis yang juga menjabat Wakil Ketua Komisi I DPR.
”Tiga minggu berturut-turut tertutup terus karena satu ayat pun tidak rampung. Satu ayat karet itu (Pasal 27) membahasnya sampai tiga minggu. ”
Selama ini, UU ITE menjadi perhatian publik lantaran ada sejumlah pasal karet yang mengancam kebebasan berekspresi, bahkan kriminalisasi warga. Oleh karena itu, pembahasannya tak hanya melibatkan pembentuk UU, tetapi juga penegak hukum. Sebab, perumusan pasal yang diubah harus disertai dengan simulasi penggunaannya oleh penegak hukum. Hal itu penting agar tidak ada lagi pasal yang bersifat multitafsir dan berpotensi merugikan masyarakat.
”Kami buat exercise, kalau pasalnya berbunyi begini polisi bagaimana, kejaksaan bagaimana, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bagaimana. Oke, kalau masih mungkin tembus, kita ganti redaksinya begini bagaimana,” ujarnya mengilustrasikan dinamika yang terjadi pada setiap rapat.
Anggota Panja RUU ITE dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Tubagus Hasanuddin membenarkan, perdebatan panjang dan berlarut terjadi sejak awal RUU ITE dibahas. Perdebatan dimaksud terkait dengan bagaimana merumuskan pasal-pasal secara tepat agar tidak menjelma sebagai pasal karet yang merugikan. Contohnya saat merumuskan pasal soal keonaran.
“Kami buat exercise, kalau pasalnya berbunyi begini polisi bagaimana, kejaksaan bagaimana, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bagaimana. Oke, kalau masih mungkin tembus, kita ganti redaksinya begini bagaimana”
Menurut Hasanuddin, kerumitan dalam merumuskan pasal-pasal itu mendorong Panja untuk menyepakati rapat-rapat dilaksanakan secara tertutup. Hal itu dilakukan untuk mencegah penyebaran informasi yang tak utuh. “Dari pada tersiar sebelum final, nanti tambah ribut lagi di luar,” ujarnya.
Anggota Panja RUU ITE dari Fraksi Partai Golkar Dave Akbahshah Fikarno Laksono mengklaim, tidak ada intensi khusus untuk menyelenggarakan rapat-rapat secara tertutup. Pihaknya justru menerima masukan dari berbagai pihak agar semua perdebatan yang terjadi sepanjang pembahasan bisa diselesaikan. Ia pun meyakini, proses revisi UU ITE tidak membutuhkan waktu lama.
”Masih ada satu minggu lagi masa sidang ini, semoga bisa segera selesai, lalu diharmonisasi dan sinkronisasi untuk dibawa ke rapat paripurna,” kata Dave.
Dipertanyakan
Ketua Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Paku ITE) Muhammad Arsyad mempertanyakan pembahasan RUU ITE yang dilakukan secara tertutup. Padahal, UU ITE mengandung beberapa pasal kontroversial yang menyita perhatian publik. Saat mengikuti audiensi dengan Komisi I DPR Maret lalu, Paku ITE pun mengajukan diri agar dilibatkan dalam pembahasan.
Pengawasan publik sepanjang pembahasan RUU ITE sangat penting. Jika pembahasan berlangsung tertutup hingga akhir, ia khawatir, pasal-pasal bermasalah masih akan tetap ada.
Ia menambahkan, pengawasan publik sepanjang pembahasan RUU ITE sangat penting. Jika pembahasan berlangsung tertutup hingga akhir, ia khawatir, pasal-pasal bermasalah masih akan tetap ada. ”Walaupun kami melihat di awal-awal konsentrasi pembahasan terkait pasal-pasal yahng dihapus di KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), tetapi kami melihat Komisi I cenderung menghidupkan lagi pasal-pasal bermasalah di UU ITE dan telah dihapus di KUHP yang baru berlaku tiga tahun ke depan,” kata Arsyad.
Sejumlah pasal yang dimaksud adalah Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29, yakni tentang pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama baik, dan ujaran kebencian. Tak hanya itu, keberadaan pasal baru yang diusulkan, yakni Pasal 28A tentang keonaran juga dinilai berpotensi menjadi instrumen pembungkaman masyarakat sipil.
Lebih dari itu, bagi Arsyad, proses revisi UU ITE yang tidak transparan bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hal itu juga menunjukkan ketidakseriusan DPR dan pemerintah dalam menjamin hak-hak warga. ”Keseriusan pemerintah dan DPR dalam meningkatkan kebebasan berpendapat itu tidak ada. Dan itu berbanding lurus dengan (kecenderungan) para pengguna UU ITE,” katanya.