Menambah Suara, Ada 4 Program Jokowi yang Perlu Dilanjutkan Bakal Capres
Legitimasi yang dimiliki Presiden Joko Widodo dinilai sangat kuat. Ia diminta untuk menunjukkan sikap negarawan dan tidak ”cawe-cawe” atau mempromosikan bakal capres tertentu.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengamat politik dan ekonomi nasional menyoroti empat program Presiden Joko Widodo yang perlu dilanjutkan bakal calon presiden mendatang. Hal itu dinilai mampu menambah perolehan suara mereka dalam kontestasi Pemilu 2024. Di luar hal tersebut, masih ada sejumlah masalah yang dipandang perlu penyelesaian.
Survei Litbang Kompas periode Agustus 2023 menemukan sosok Jokowi turut mempengaruhi peluang perluasan dukungan publik. Elektabilitas bakal calon presiden (capres) akan naik lebih tinggi apabila berkomitmen melanjutkan program pemerintahan sebelumnya ketimbang semata-mata mendapatkan dukungan atau direkomendasikan oleh Presiden.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno berpandangan, ada empat hal program Jokowi yang perlu dilanjutkan bakal capres untuk memperoleh berkah elektoral. Hal ini seperti pembangunan infrastruktur, keberlanjutan Ibu Kota Nusantara (IKN), bantuan sosial, dan blusukan.
”Program pembangunan infrastruktur yang selama ini digaungkan harus dilanjutkan dan disorot bakal capres. Pembangunan ini tidak semata-mata membangun jalan tol, ya,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (23/8/2023).
Infrastruktur perkotaan, lanjut Adi, dinilai sudah cukup memadai sehingga rumusan pembangunan dapat mengarah pada daerah perdesaan. Dalam konteks ini, gagasan para bakal capres perlu mencakup peningkatan produksi, proses pemasaran, hingga perbaikan jalur distribusi. Fokusnya adalah peningkatan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja yang masif dari desa.
Kemudian, pembangunan IKN harus menjadi kerangka pembangunan agar tak bersifat Jawa-sentris atau Jakarta-sentris. Definisi yang perlu dibangun adalah IKN sebagai peradaban bangsa yang mencakup kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya nasional.
”IKN harus dipersepsikan tidak hanya proyek politik yang bersifat sesaat, tetapi juga proyek pencapaian kemajuan Indonesia jangka panjang. Stigma negatif harus dihilangkan,” ucap Adi.
IKN harus dipersepsikan tidak hanya proyek politik yang bersifat sesaat, tetapi juga proyek pencapaian kemajuan Indonesia jangka panjang. Stigma negatif harus dihilangkan.
Program bantuan sosial juga dinilai perlu dilanjutkan dan ditingkatkan. Sebab, hal tersebut berdampak langsung dan bermanfaat nyata bagi masyarakat. Terakhir, kata Adi, blusukan ala Jokowi sangat penting sebagai strategi ”serangan darat” untuk meyakinkan pemilih. ”(Hal ini) karena pemilih suka bakal capres yang datang langsung ke mereka,” ujar Adi.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan, dukungan publik semakin besar apabila bakal capres berkomitmen untuk melanjutkan program-program unggulan, misalnya, pembangunan IKN, kebijakan hilirisasi, dan revolusi mental. Hal ini menunjukkan masyarakat sudah memiliki relativitas dan independensi dalam memilih.
”Preferensi publik dalam memilih cukup kompleks sehingga tidak terlalu menjadikan sikap Jokowi sebagai satu-satunya variabel utama dalam memilih. Justru, yang menjadi fokus masyarakat adalah program-program yang berpihak pada kepentingan rakyat,” katanya.
Belum efektif
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Indonesia, Roy Valian Salomo, menyebutkan, capaian menggembirakan di akhir masa jabatan itu menunjukkan kepemimpinan Jokowi memang berbeda dibandingkan dengan para pendahulunya. Jokowi memiliki legitimasi yang kuat dari masyarakat.
Namun, ia mengingatkan bahwa kebijakan populis yang selama ini diterapkan tidak selamanya mencerminkan kondisi riil pemerintahan. Pemerintah harus lebih meningkatkan kinerja di bidang reformasi birokrasi yang dianggap belum efektif.
Selain itu, pembentukan peraturan perundang-undangan seperti UU Cipta Kerja dan UU IKN dianggap masih elitis dan kurang melibatkan partisipasi publik. ”Capaian di bidang politik, hukum, dan keamanan relatif lebih bagus karena bisa dikendalikan dari dalam,” kata Roy.
Dari sisi ekonomi dan kesejahteraan, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, masyarakat saat ini mulai merasa hidup semakin sulit akibat ketidakpastian ekonomi dan kenaikan harga. Buruh-buruh juga menerima upah yang lebih rendah sebagai konsekuensi sistem kerja kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), Indeks Keyakinan Ekonomi (IKE), dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada Juli 2023 menunjukkan penurunan dibandingkan bulan sebelumnya meski masih di atas 100 yang menandakan konsumen masih dalam zona optimistis. IKK Juli 2023 sebesar 123,5 lebih rendah dari 127,1 pada Juni 2023. Adapun IKE dan IEK tercatat masing-masing sebesar 113,8 dan 133,2, lebih rendah dari 116,8 dan 137,5 pada bulan sebelumnya.
Secara spesifik, Tauhid menyoroti IKK masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 4 juta yang menurun. Hal ini menunjukkan tren konsumsi kelompok masyarakat menengah ke bawah sedang dalam kondisi tidak menggembirakan. Apalagi, hal ini terjadi beriringan dengan kenaikan harga produk pangan, seperti beras, ayam, telur, dan cabe, akibat inflasi.
Sehubungan hal tersebut, pemerintah sudah berupaya mengendalikan harga. Namun, faktanya, di lapangan harga masih sulit dikendalikan. ”Inflasi pada sejumlah komoditas pokok ini cukup menggerogoti pendapatan masyarakat,” ujar Tauhid.
Secara agregat, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan nasional menurun menjadi 9,36 persen atau 25,9 juta orang per Maret 2023. Menurut Tauhid, masih banyak kelompok yang rentan kemiskinan tetapi tidak tergambar dalam data-data. Hal ini membuat respons publik terhadap program ekonomi pemerintah tidak maksimal.
Bantuan sosial, yang diklaim sebagai jurus jitu pemerintah, sifatnya bukan mengantisipasi penurunan kesejahteraan, melainkan kenaikan harga barang. Akan tetapi, beban kenaikan harga yang perlu ditanggung publik tidak cukup untuk mempertahankan kondisinya.
”Target pemerintah untuk menekan kemiskinan di bawah 7 persen, rasio gini turun ke kisaran 0,374 pada 2024, tampak berat dicapai dicapai. Selain karena situasi pemilu, kondisi ekonomi global juga turut memengaruhi,” kata Tauhid.
Kurangi ”cawe-cawe”
Melihat capaian dan kepuasan masyarakat, menurut Roy, Jokowi memiliki legitimasi yang sangat kuat. Untuk menjaga hal tersebut, Presiden harus menunjukkan konsistensi, baik perkataan maupun perbuatan, terkait netralitas dalam kontestasi Pemilu 2024.
”Presiden harus mengurangi cawe-cawe atau endorsement langsung terhadap kandidat tertentu. Sebab, hal itu bisa dibaca publik sebagai minimnya etika ketatanegaraan karena seorang kepala negara harus netral saat perhelatan pemilu,” kata Roy.
Senada dengan Roy, Firman Noor menilai Presiden perlu lebih menghargai proses keberlanjutan demokrasi. Meski hasil survei Litbang Kompas menunjukkan tren positif, hasil riset berbagai lembaga internasional justru menemukan regresi demokrasi.
Capaian memuaskan di bidang politik, hukum, dan keamanan, bisa digunakan sebagai modal sosial untuk menjaga demokrasi agar tidak terlalu diintervensi oleh kekuasaan. Jika dilakukan, maka akan menjadi warisan baik di akhir masa jabatan.
”Tunjukkan sikap teguh bahwa Presiden adalah milik semua orang sehingga nantinya pemilih bisa menikmati pemimpin yang terpilih sesuai aspirasi mereka, bukan yang dikondisikan karena selera elite,” kata Firman.