Pembangunan ekonomi beberapa tahun terakhir ini sudah lebih merata dan tidak lagi Jawa sentris. Namun, pemerataan itu belum berdampak optimal pada penciptaan lapangan kerja dan perbaikan taraf hidup masyarakat.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
Jalan mulus dengan jaringan listrik di sisi jalan Trans-Selaru di Pulau Selaru, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Maluku, Sabtu (12/5/2018). Pembangunan infrastruktur di salah satu pulau yang dekat dengan Australia itu berjalan pesat dalam tiga tahun terakhir.
Membangun dari pinggiran dan Indonesia sentris. Kedua jargon yang menjadi janji kampanye Presiden Joko Widodo sembilan tahun lalu itu kini mulai terealisasi lewat pembangunan ekonomi yang tidak lagi terpusat di Jawa. Namun, tugas besar masih tersisa agar buah manis pembangunan yang merata itu benar-benar ikut dirasakan oleh masyarakat.
Data menunjukkan, pembangunan ekonomi di masa pemerintahan Presiden Jokowi sudah lebih merata. Seiring dengan pembangunan infrastruktur yang masif serta pemberian berbagai insentif fiskal kepada investor, sejak tahun 2020, realisasi investasi yang masuk ke luar Jawa sudah lebih mendominasi dibandingkan investasi ke Jawa.
Sebagai perbandingan, berdasarkan data Kementerian Investasi, pada 2019, penanaman modal di luar Jawa baru mencakup 46,3 persen dari total investasi. Angka itu naik pada 2020 menjadi 50,5 persen, meningkat lagi menjadi 52 persen pada 2021 dan 52,7 persen pada 2022. Tahun ini, sampai semester I, investasi luar Jawa juga masih mendominasi, yakni 52,3 persen.
Laju investasi yang pesat itu ikut mengerek pertumbuhan ekonomi di luar Jawa. Meskipun sampai sekarang Jawa masih mendominasi struktur perekonomian nasional secara spasial, kontribusinya semakin mengecil, digantikan oleh bangkitnya ekonomi di luar Jawa.
Sebagai gambaran, data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pada tahun 2019, struktur ekonomi Indonesia masih didominasi Jawa, yang menyumbangkan 59 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Namun, pada 2022, kontribusi perekonomian Jawa terhadap PDB nasional menurun menjadi 56,48 persen.
Sebagai gantinya, sumbangsih perekonomian wilayah lain meningkat. Kontribusi Sulawesi terhadap PDB nasional naik dari 6,33 persen (2019) menjadi 7,03 persen (2022), kontribusi Kalimantan naik dari 8,05 persen (2019) menjadi 9,23 persen (2022), dan kontribusi Maluku dan Papua naik dari 2,24 persen (2019) menjadi 2,5 persen (2022).
Pembangunan yang mulai berimbang itu pun diapresiasi publik. Hasil Survei Kepemimpinan NasionalKompas bidang ekonomi pada Agustus 2023 menunjukkan, 68,4 persen responden puas terhadap kinerja pemerintah dalam memeratakan pembangunan antarwilayah.
Kendati demikian, publik menilai kinerja pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja dan menurunkan pengangguran kurang maksimal. Sebanyak 47,2 persen responden menyatakan tidak puas, sementara 46,3 persen sudah puas.
Meski pembangunan sudah merata dan pertumbuhan ekonomi di luar Jawa melejit, masyarakat masih sulit mengakses pekerjaan layak.
Ekonom Senior dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Hendri Saparini, menilai, di satu sisi, pembangunan ekonomi di era Jokowi memang sudah lebih baik ketimbang pola pembangunan sebelumnya yang terlalu Jawa sentris dan kota sentris.
”Paling kentara memang pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor tertentu yang tidak lagi berpusat di Jawa dan perkotaan sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di luar Jawa,” kata Hendri.
Namun, dimensi pembangunan ekonomi tidak hanya terbatas pada apa yang bisa dilihat, tetapi juga yang dirasakan masyarakat. Ia mencontohkan, meskipun pembangunan sudah merata dan pertumbuhan ekonomi di luar Jawa melejit, masyarakat masih sulit mengakses pekerjaan layak, seperti tergambar lewat hasil survei Kompas.
Strategi pembangunan ekonomi masih didominasi investasi padat modal dan teknologi ketimbang padat karya. Itu salah satu faktor yang membuat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa melejit, tetapi pengangguran dan kemiskinan masih tinggi.
Data tingkat kemiskinan terakhir per Maret 2023 menunjukkan, kenaikan angka kemiskinan dan ketimpangan bahkan dijumpai di kawasan tengah dan timur Indonesia yang ekonominya sedang tumbuh tinggi akibat hilirisasi nikel, seperti di Sulawesi dan Maluku.
”Masyarakat puas dengan apa yang bisa mereka lihat, tetapi jika ditanya apakah mereka merasa lebih baik dengan kebijakan ekonomi saat ini, konteksnya bisa berbeda. Sebab, nyatanya, banyak yang masih sulit mencari kerja dan memenuhi kebutuhan dasar,” kata Hendri.
Terobosan
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Widjaja Kamdani menilai, pembangunan ekonomi yang semakin merata membantu menciptakan iklim berusaha yang kondusif, efisiensi biaya logistik, serta menggerakkan perekonomian di daerah.
Namun, perlu terobosan agar pembangunan ekonomi itu berdampak pada masyarakat dalam bentuk penyerapan tenaga kerja. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sejauh ini berbagai cara sudah dilakukan, tetapi dampaknya belum signifikan.
”Kita tidak bisa berharap investor mau mempekerjakan tenaga kerja di era digitalisasi jika kualitas SDM kita masih didominasi tenaga kerja unskilled atau low-skilled,” katanya.
Solusi lain untuk mendorong penciptaan lapangan kerja masif adalah mendorong pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memberdayakan UMKM sejauh ini dinilai masih sporadik, belum berkelanjutan.
Pemerintah perlu kembali memprioritaskan investasi padat karya yang saat ini mulai ’sekarat’.
”Sudah ada upaya dari pemerintah, tetapi ini perlu kerja yang lebih keras, terutama bagaimana memastikan pelibatan UMKM kita dalam investasi-investasi besar,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad.
Pemerintah juga perlu kembali memprioritaskan investasi padat karya yang saat ini mulai ”sekarat”. ”Seharusnya insentif dan karpet merah diberikan untuk investor yang bisa memberikan lapangan kerja paling banyak meskipun sektor tersebut adalah industri-industri lama seperti alas kaki, tekstil, atau besi dan baja,” katanya.
Hendri juga menyoroti perlunya strategi pembangunan ekonomi yang relevan dengan struktur sosial masyarakat. Hilirisasi tambang mampu menarik investasi bernilai jumbo, tetapi itu belum sepadan dengan struktur masyarakat yang lebih banyak bergerak di sektor tradisional seperti pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Strategi investasi perlu diarahkan ke investasi berskala menengah di sektor-sektor relevan, di mana masyarakat lebih berpeluang untuk terserap sebagai pekerja. ”Istilahnya, kalau kita bermimpi mau maju, masyarakatnya juga harus dilibatkan dalam mimpi itu. Kalau tidak, yang terjadi adalah gap seperti sekarang ini,” kata Hendri.
Arah kebijakan ekonomi pemerintah untuk mendorong kualitas pertumbuhan ekonomi dan pembangunan SDM di tahun terakhir menjabat memberikan angin segar. Hal itu tampak dari postur RAPBN 2024 yang mengalokasikan belanja besar di bidang pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Namun, anggaran besar itu harus diiringi dengan belanja yang tepat serta kebijakan yang terintegrasi.
”Jangan sampai kita mengulang problem yang sama. Anggaran besar, programnya banyak, tetapi berjalan sendiri-sendiri dan tidak mengerucut ke satu output yang sama,” katanya.