Kualitas belanja pemerintah dan konsumsi rumah tangga perlu diperbaiki guna menjaga momentum positif pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, sepekan setelah Lebaran, harga sejumlah pangan pokok masih tinggi.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Suasana belanja di pasar swalayan di kawasan Karang Tengah, Kota Tangerang, Banten, Selasa (26/4/2022). Jelang Lebaran, pusat perbelanjaan ritel, pasar swalayan, hingga pasar tradisional mulai diserbu pengunjung yang hendak berbelanja stok bahan makanan untuk Lebaran.
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I-2022 cukup positif dan menjadi penanda pemulihan ekonomi yang selama dua tahun lebih terimbas pandemi Covid-19. Momentum ini perlu dijaga dengan memperbaiki kualitas pertumbuhan, terutama dari sisi konsumsi pemerintah dan rumah tangga.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi Indonesia pada triwulan I-2022 tumbuh 5,01 persen secara tahunan. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh ekspor yang tumbuh 16,22 persen, konsumsi rumah tangga 4,34 persen, dan investasi 4,09 persen.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto, Rabu (11/05/2022), menilai, meski ekonomi tumbuh positif, ada dua komponen yang perlu diperbaiki kualitas pertumbuhannya, yaitu konsumsi pemerintah dan rumah tangga. Konsumsi pemerintah yang seharusnya menjadi mesin pertumbuhan justru terkontraksi.
Pada triwulan I-2022, konsumsi pemerintah tumbuh minus 7,74 persen secara tahunan. Kontraksi konsumsi pemerintah pada triwulan I-2022 itu sangat kontras dengan pertumbuhan konsumsi pemerintah pada triwulan I-2021 yang sebesar 2,25 persen. Kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) yang biasanya di atas 10 persen kini hanya 5,45 persen.
”Kondisi tersebut menunjukkan mesin pertumbuhan pemerintah macet. Hal itu juga tidak sejalan dengan realisasi penerimaan negara. Penerimaan negara meningkat, tetapi belanja justru direm,” kata Listyo dalam telekonferensi pers Indef bertajuk ”Evaluasi Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2022: Jaga Momentum, Perbaiki Kualitas”.
Meski ekonomi tumbuh positif, ada dua komponen yang perlu diperbaiki kualitas pertumbuhannya, yaitu konsumsi pemerintah dan rumah tangga.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan negara pada triwulan I-2022 sebesar Rp 501 triliun, tumbuh 32,1 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Pendapatan negara dalam APBN itu terdiri dari penerimaan perpajakan Rp 401,8 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 99,1 triliun.
Menurut Eko, dengan realisasi pendapatan yang tumbuh positif, seharusnya belanja pemerintah, terutama di 15 kementerian/lembaga, ditingkatkan. Jika hal tersebut dilakukan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2022, pasti akan jauh lebih tinggi.
”Kualitas pertumbuhan konsumsi atau belanja pemerintah ini perlu diperbaiki untuk mengungkit percepatan pemulihan ekonomi pada tahun ini. Jangan sampai pola belanja pemerintah yang biasanya menumpuk di akhir tahun kembali berulang di tengah pemulihan ini,” ujarnya.
Selain konsumsi pemerintah, kata Eko, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Jika dibandingkan triwulan IV-2021, pertumbuhannya hanya 0,19 persen. Selain itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga secara tahunan, dipengaruhi oleh low base effect atau rendahnya pertumbuhan pada triwulan I-2021 yang minus 2,21 persen.
Hal itu sebenarnya menunjukkan konsumsi rumah tangga yang mencerminkan daya beli masyarakat belum pulih total. Kendati akan menjadi sumber pertumbuhan pada triwulan II-2022 lantaran efek geliat konsumsi pada Ramadhan-Lebaran, konsumsi rumah tangga, terutama masyarakat kelas menengah bawah, tetap perlu dijaga.
Kepala Center Macroeconomics and Finance Indef M Rizal Taufikurahman menambahkan, tingkat inflasi pada April 2022 mencapai 0,95 persen secara bulanan dan 3,47 persen secara tahunan. Tingkat inflasi tersebut mengindikasikan kenaikan harga komoditas global dan kebijakan pemerintah menaikkan harga pertamax telah tertransmisi ke harga-harga komoditas terkait. Komoditas penyumbang inflasi terbesar pada April 2022 adalah minyak goreng yang andilnya sebesar 0,19 persen, pertamax 0,16 persen, dan avtur yang berpengaruh pada kenaikan harga tiket pesawat 0,08 persen.
”Oleh karena itu, jangan sampai pemerintah memaksakan kenaikan harga pertalite, tarif dasar listrik (TDL), dan gas 3 kilogram. Apabila hal itu dilakukan, daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih akan rontok kembali,” kata Rizal.
Jangan sampai pemerintah memaksakan kenaikan harga pertalite, tarif dasar listrik, dan gas 3 kilogram. Apabila hal itu dilakukan, daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih akan rontok kembali.
Ia mencontohkan, kenaikan TDL pelanggan nonsubsidi saja diperkirakan dapat mengurangi pertumbuhan konsumsi rumah tangga sebesar 0,201 persen dan PDB sebesar 0,114 persen. Hal itu terjadi lantaran kenaikan TDL pelanggan nonsubsidi itu dapat meningkatkan biaya pokok produksi yang berujung pada kenaikan harga barang. Apabila terjadi, konsumen atau masyarakat yang harus menanggungnya.
Sepekan setelah Lebaran, harga sejumlah kebutuhan pokok masih cukup tinggi. Beberapa bahan pangan pokok yang naik harganya antara lain minyak goreng curah, tepung terigu, kedelai impor, daging dan telur ayam ras, serta bawang merah.
KOMPAS/NIKSON SINAGA
Pedagang menjual bahan pokok di Pasar Simpang Limun, Medan, Sumatera Utara, Selasa (29/3/2022). Beberapa hari menjelang bulan Puasa, harga sejumlah bahan pokok naik, seperti telur, daging ayam, tepung terigu, dan minyak goreng.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan per 10 Mei 2022, harga rata-rata nasional minyak goreng curah Rp 17.600 per liter atau naik 1,73 persen dari sebelum Lebaran atau per 29 Mei 2022. Harga tepung terigu Rp 11.500 per kg dan kedelai impor Rp 14.000 per kg, masing-masing naik 2,68 persen dan 3,7 persen.
Harga rata-rata nasional telur dan daging ayam ras masing-masing Rp 27.500 per kg dan Rp 40.200 per kg. Harga tersebut telur ayam naik 1,48 persen dan daging ayam 2,29 persen dari sebelum Lebaran. Begitu juga dengan harga bawang merah yang mencapai Rp 39.000 per kg atau naik 6,27 persen.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, perang Rusia-Ukraina dan anomali cuaca di sejumlah negara produsen pangan menyebabkan harga sejumlah komoditas pangan global masih tinggi. Gandum, misalnya, kenaikan harganya tidak hanya dipengaruhi oleh perang Rusia-Ukraina, tetapi juga oleh gelombang panas di India.
Hal ini membuat produsen tepung terigu Indonesia berencana menaikkan harganya dalam satu hingga dua bulan ke depan. Kenaikannya akan bertahap, yaitu 2-3 persen dari harga di tingkat pabrik saat ini yang sekitar Rp 8.000 per kg pada tahap pertama, kemudian 2,3 persen lagi pada tahap kedua.
”Kenaikan harga tersebut dilakukan secara bertahap agar tidak membebani konsumen. Adapun stok tepung terigu masih sekitar 1,91 juta ton atau cukup untuk memenuhi kebutuhan selama dua bulan ke depan,” ujarnya.