Parpol Tidak Hanya Pertimbangkan Elektabilitas dalam Pilih Bakal Cawapres
Parpol tak hanya mengutamakan elektabilitas dalam menentukan bakal cawapres. Namun, cawapres dibutuhkan sebagai faktor pelengkap dari capres di berbagai aspek, seperti segmen pemilih dan latar belakang wilayah.
Oleh
IQBAL BASYARI, KURNIA YUNITA RAHAYU, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga dua bulan menjelang tahapan pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden pada Oktober 2023, belum ada bakal capres yang mendeklarasikan pasangannya. Padahal, sejumlah nama tokoh potensial bakal cawapres semakin mengerucut dan dinilai layak mendampingi para bakal capres, seperti Ganjar Pranowo, Anies Rasyid Baswedan, dan Prabowo Subianto.
Hal ini ditengarai lantaran parpol tak hanya mengutamakan elektabilitas dalam menentukan bakal cawapres. Namun, cawapres dibutuhkan sebagai faktor pelengkap dari capres dari berbagai aspek, seperti segmen pemilih, latar belakang wilayah, kapasitas, dan logistik.
Survei Litbang Kompas periode 27 Juli-7 Agustus 2023 merekam tren keterpilihan tokoh yang layak menjadi calon wapres. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ada di urutan pertama dengan elektabilitas 8,4 persen, diikuti Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (8,2 persen). Sementara Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir mendapat 8 persen. Selain itu, juga ada Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (5,1 persen).
Menanggapi elektabilitas Kamil yang berada di posisi teratas, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, di Jakarta, Senin (21/8/2023), menyebut, Golkar masih belum mengubah keputusan dari hasil musyawarah nasional, rapat pimpinan nasional, dan rapat kerja nasional. Ketua Umum Airlangga diusulkan untuk menjadi bakal calon presiden (capres) dari Partai Golkar sekaligus diberikan kewenangan menentukan keputusannya akhir.
”Mungkin, hasil survei Litbang Kompas (mengenai elektabilitas cawapres) akan menjadi pertimbangan Pak Airlangga dalam mengambil keputusan,” ucap Doli.
Menurut dia, penentuan bakal cawapres perlu memperhatikan pandangan Prabowo Subianto dan parpol koalisi, yakni Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang akan dilibatkan. Ia berharap bakal cawapres bisa jadi ”paket lengkap” sekaligus menambah dampak elektoral.
Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno melihat, salah satu faktor yang membuat Erick diapresiasi masyarakat ialah rekam jejaknya. Sebagai Menteri BUMN, Erick disebut telah mengelola BUMN hingga mampu menghasilkan kontribusi pajak dan memberi keuntungan tertinggi kepada negara sejak Era Reformasi. Erick yang juga Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia telah mengantar Tim Nasional Indonesia meraih medali emas SEA Games 2023 di Kamboja, serta menjadikan Indonesia tuan rumah Piala Dunia U-17.
”Ini memang momentumnya ada di Erick sehingga, jika dilakukan survei berikutnya, akan ada kenaikan elektabilitas lagi ke depan,” katanya.
Melengkapi
Kendati elektabilitas Erick meningkat, Eddy mengakui, modal elektoral bakal cawapres bukan penentu kemenangan di Pilpres 2024 mengingat porsi terbesar tetap ada pada bakal capres. Namun, bakal cawapres bisa melengkapi pendampingnya dari segi latar belakang dan kapasitas. Hal itu penting karena tujuan berpasangan tidak hanya untuk memenangi kontestasi, tetapi juga keseimbangan saat terpilih.
Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengatakan, elektabilitas Agus yang meningkat sejak awal 2023 menunjukkan publik makin realistis dengan tokoh yang potensial jadi cawapres. Jika tahun lalu nama yang beredar banyak, kini publik makin realistis dengan tokoh yang dinilai paling tepat dan kompeten sebagai cawapres. Agus, kata dia, dinilai konsisten turun mendengar rakyat. Agus juga mampu mengonsolidasikan kader di tengah upaya Kepala Staf Presiden Moeldoko merebut Demokrat. Di sisi lain, serangan udara memperkenalkan Agus kian masif.
Herzaky mengatakan, Agus tidak hanya memenuhi syarat elektabilitas yang menjadi salah satu kriteria pendamping Anies. Kedudukan Agus yang merupakan ketua umum parpol bisa memperkuat koalisi karena mampu memenuhi ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden. Kerentanan politik Agus juga rendah dan tidak memiliki masalah sehingga tidak menghambat koalisi. ”Dari semua kriteria di piagam perubahan, opsi menjadikan Agus sebagai cawapres merupakan pilihan paling rasional,” tuturnya.
Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi menuturkan, faktor elektoral bukan satu-satunya modal bagi bakal cawapres. Seorang calon pendamping bakal capres harus dilihat dari faktor lain, misalnya keterwakilan wilayah, suku, dan usia. ”Tentu, juga memiliki logistik yang kuat sebagai back up pencalonan presiden,” ujarnya.
PPP tengah mendorong Wakil Ketua Umum PPP Sandiaga Uno untuk menjadi bakal cawapres pendamping Ganjar. Selain memiliki modal sosial, PPP meyakini Sandiaga bisa jadi solusi kemenangan Ganjar secara elektoral. Apalagi, elektabilitas Sandiaga selalu di papan atas tokoh cawapres pilihan publik. Baidowi tidak memungkiri, ada tren penurunan elektabilitas Sandiaga enam bulan terakhir. Namun, itu terjadi karena belum berpasangan secara resmi.
Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati, mengatakan, peran utama cawapres dalam kontestasi pilpres untuk melengkapi elektabilitas capres dalam sosio-geografis dan sosio-politik. Terlebih, saat ini tak ada capres yang elektabilitasnya dominan sehingga pertimbangan dalam menentukan cawapres semakin kompleks.
Karena itu, tidak hanya faktor elektabilitas yang menjadi pertimbangan, tetapi komposisi latar belakang capres-cawapres yang diinginkan parpol koalisi. Selain itu, basis elektabilitas cawapres di akar rumput harus kuat, terutama di segmen pemilih yang tidak bisa didekati bakal capres. Dengan demikian, perlu pemetaan basis suara agar keberadaan cawapres mampu meningkatkan elektabilitas yang signifikan. ”Keberadaan cawapres idealnya juga mampu menjamin suara dari pemilih yang mengambang,” katanya.
Di sisi lain, Wasisto menilai, dinamika pemilihan cawapres cenderung lebih cair dibandingkan dengan capres. Sebab, pemilihan cawapres tidak hanya melibatkan usulan dari parpol koalisi, tetapi bisa berasal dari eksternal sepanjang disepakati oleh seluruh parpol pengusung. Oleh karena itu, bakal cawapres harus bisa mendekati elite parpol pengusung agar bisa segera diputuskan mendampingi bakal capres yang terlebih dahulu didukung.