Yenny Wahid: Hilirisasi Kemerdekaan Prasyarat Indonesia Sejahtera
Yenny Wahid tak hanya ingin meneruskan visi Gus Dur, tetapi juga punya mimpi besar tentang Indonesia. Lalu, apa gagasan Yenny untuk mewujudkan mimpi besar tentang Indonesia itu?
Mendekati Pemilihan Umum 2024, kesibukan Zannuba Ariffah Chafsoh yang akrab disapa Yenny Wahid semakin padat. Hampir setiap pekan, putri kedua Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid itu menerima panggilan telepon dan undangan pertemuan dari elite partai politik dan tim sukses sejumlah bakal calon presiden.
Yenny juga kerap mendampingi ibundanya, Sinta Nuriyah, mengikuti berbagai agenda, dari agenda kenegaraan hingga menerima kunjungan para elite politik, termasuk bakal calon presiden. Sebagai tokoh Nahdlatul Ulama, keluarga KH Abdurrahmah Wahid atau Gus Dur selalu dimintai restu oleh banyak kalangan, tak terkecuali mereka yang akan mengikuti kontestasi politik. Apalagi, di belakang mereka ada para loyalis dan pengikut Gus Dur yang tentu punya pengaruh di kalangan nahdliyin. Tak ayal, hampir semua elite partai politik maupun bakal capres selalu ”sowan" ke Ciganjur, kediaman keluarga Gus Dur, untuk bersilaturahmi dan merebut simpati.
Di sela kesibukannya itu, Kompas berkesempatan berbincang dengan Yenny di kediamannya di Cipete, Jakarta Selatan, Senin (14/8/2023). Selama hampir dua jam, Yenny mencurahkan gagasannya mengenai Indonesia yang bergerak dari negara berkembang menuju negara maju. Tak lupa, cerita tentang para elite dan partai politik yang mendekati, bahkan meminangnya untuk menjadi bakal calon wakil presiden. Perjumpaannya dengan bakal capres dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Ganjar Pranowo, di Ciganjur, sehari sebelumnya, juga sempat disinggung. Ganjar datang ke Ciganjur untuk bersilaturahmi dengan ibundanya, Sinta Nuriyah.
”Saya anggota PKK, perempuan kebanyakan kegiatan,” ujar Yenny sambil tertawa saat membuka obrolan.
Baca juga: Yenny Wahid Sebut Ciganjur Buka Pintu untuk Semua Bakal Capres
Satu tahun terakhir, nama Yenny terus mengemuka dalam bursa Pemilihan Presiden 2024. Pada Oktober 2022, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menetapkan Yenny sebagai bakal cawapres yang akan diusung mendampingi Ganjar. Dukungan itu diperoleh dari hasil Rembuk Rakyat yang dilakukan PSI.
Belakangan, Direktur The Wahid Institut tersebut juga disebut sebagai salah satu bakal cawapres yang diajukan Partai Nasdem untuk mendampingi capres Anies Rasyid Baswedan. Awal pekan ini, Ketua DPP PDI-P Ahmad Basarah juga menyebut Yenny punya peluang yang sama dengan kandidat lain untuk menjadi bakal cawapres pendamping Ganjar.
Bakal capres yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tak mau ketinggalan. Seusai mengikuti upacara peringatan HUT Ke-78 RI di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (17/8/2023), Menteri Pertahanan itu juga mengungkapkan akan mengatur pertemuan dengan Yenny Wahid.
”Pertama yang harus dicatat adalah bahwa saya tidak pernah menyodorkan diri, tetapi kemudian ada dua partai yang mengusung, pertama adalah PSI, dan kedua adalah Nasdem,” kata Yenny menanggapi kabar yang menyebut namanya masuk dalam bursa pilpres.
Yenny tetap menjaga jarak yang sama dengan semua parpol dan bakal capres. Sebab, belum ada satu pun gabungan parpol yang secara resmi mendeklarasikan dan mengusung Yenny sebagai bakal cawapres. Baginya, pinangan dari sejumlah parpol hanya satu saja faktor yang belum bisa termanifestasikan apabila belum memenuhi kecukupan syarat pengajuan capres-cawapres.
”Keinginan sejumlah parpol untuk menggandeng saya, itu kan faktor-faktor di luar saya semua, bukan keputusan saya. Jadi saya serahkan saja pada proses politik yang sedang berjalan, sambil terus melakukan komunikasi,” ujarnya.
Selain soal syarat ambang batas pencapresan, Yenny juga mempertimbangkan keselarasan nilai dan visi dari bakal capres yang diusung. Sebab, menurut dia, pemimpin Indonesia ke depan harus memiliki visi untuk membawa Indonesia naik kelas dari negara berkembang menjadi negara maju. Oleh karena itu, presiden terpilih yang menggantikan Presiden Joko Widodo punya tugas besar untuk memastikan capaian pembangunan yang sudah berjalan tidak berhenti.
Dalam pandangan Yenny, tidak semua negara dengan sumber daya alam melimpah bisa memanfaatkan kekayaan alamnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sehingga muncul fenomena yang disebut kutukan sumber daya alam. Kondisi itu di antaranya terjadi sejumlah negara di Afrika. Negara-negara itu kaya akan sumber daya alam, tetapi pemimpinnya tidak mampu memanfaatkannya untuk kepentingan pembangunan masyarakat.
Para pendiri bangsa telah mencanangkan kemerdekaan sebagai hulu bangsa Indonesia. Sebagai generasi penerus, para pemimpin negeri semestinya menjalankan hilirisasi kemerdekaan, salah satunya dengan membangun industri yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Langkah itu perlu dilakukan agar Indonesia keluar dari negara agraris menuju negara industri sekaligus memberikan pemerataan ekonomi bagi seluruh masyarakat.
Pengalaman negara-negara Afrika itu harus dijadikan pelajaran bagi Indonesia yang juga punya sumber daya alam melimpah. Jangan sampai, fenomena di negara-negara Afrika itu terjadi di Indonesia.
Menurut Yenny, Indonesia mesti melihat negara-negara maju, seperti Norwegia dan Amerika Serikat, dalam memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki. Para pemimpin di negara maju bisa mengelola hasil dari sumber daya alam itu untuk kepentingan masyarakat.
Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat juga sudah tertuang dalam UUD 1945. Hal itu merupakan amanat para pendiri bangsa yang dituangkan dalam konstitusi.
Baca juga: Yenny Wahid Masuk Bursa Cawapres, PKS: Tanda Demokrasi Semakin Baik
Karena itu, menurut Yenny, hilirisasi sumber daya alam merupakan keniscayaan. Sebab dengan cara itu, sumber daya alam Indonesia punya nilai tambah. Tak hanya itu, hilirisasi juga bisa menciptakan berbagai industri pengolahan bahan baku. Ini berarti lapangan kerja juga bertambah dan perekonomian masyarakat akan meningkat.
Pemerataan ekonomi
Mantan Ketua Umum Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB) itu mengatakan, para pendiri bangsa telah mencanangkan kemerdekaan sebagai hulu bangsa Indonesia. Sebagai generasi penerus, para pemimpin negeri semestinya menjalankan hilirisasi kemerdekaan, salah satunya dengan membangun industri yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Langkah itu perlu dilakukan agar Indonesia keluar dari negara agraris menuju negara industri sekaligus memberikan pemerataan ekonomi bagi seluruh masyarakat.
Menurut dia, sumber daya manusia di Indonesia yang melimpah juga harus difasilitasi agar menjadi kekuatan yang produktif. Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia, Indonesia punya modal kuat untuk berkembang menjadi negara maju. Namun, syaratnya, penduduk usia muda harus memiliki keterampilan yang memadai agar mampu memanfaatkan sumber daya alam melimpah. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi meningkat dan di saat yang sama terjadi pemerataan ekonomi bagi masyarakat.
Yenny melihat, pemerintahan Presiden Jokowi sudah memulai usaha-usaha pengentasan kemiskinan. Kemiskinan ekstrem yang di era-era sebelumnya berada di angka dua digit kini sudah turun menjadi di bawah 10 persen. Namun, menurut Bank Dunia, ada sekitar 40 persen yang berada di situasi hampir miskin, yang rentan miskin.
Oleh sebab itu, pemerataan ekonomi harus terlaksana dengan membangun sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil. Pemerintah harus bisa memastikan semua lapisan masyarakat, terutama masyarakat miskin dan rentan miskin bisa terdampak dari pengelolaan kekayaan alam. Akhirnya, program dan kebijakan yang bersifat karitatif seperti bantuan sosial bisa dikurangi karena masyarakat sudah lebih sejahtera.
”Hilirisasi kemerdekaan artinya kita harus memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi cukup tinggi dibarengi dengan pemerataan ekonomi. Ini sebenarnya cita-citanya Gus Dur, saya hanya meneruskan visi beliau saja,” kata Yenny.
Menurut dia, ada dua tantangan yang harus diatasi untuk mencapai hilirisasi kemerdekaan. Pertama, seluruh masyarakat harus bisa mendapatkan pendidikan yang memadai. Pendidikan ini membuat masyarakat memiliki keahlian untuk bisa menghidupi dirinya dan keluarganya. Oleh karena itu, sistem pendidikan harus disiapkan agar talenta-talenta muda bisa bersaing di tengah persaingan global.
Selain itu, tantangan infrastruktur menjadi hal yang mesti diselesaikan oleh pemimpin selanjutnya. Di satu sisi, letak geografis Indonesia sangat strategis karena berada di tengah jalur dagang dunia. Namun di sisi lain, letak geografis Indonesia berupa kepulauan menjadi tantangan dalam membangun infrastruktur guna memperlancar mobilitas masyarakat.
Baca juga: Gagasan Keberlanjutan Menuju Negara Maju
Yenny menuturkan, wacana tentang hilirisasi sudah ada sejak era Orde Baru. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, Indonesia mulai mengolah bahan baku untuk mendapatkan pertambahan nilai ekonomi.
Sayangnya, upaya hilirisasi itu belum berhasil karena ekonomi rente. Orang-orang di sekitar kekuasaan lebih diuntungkan kalau Indonesia melakukan impor barang jadi dibandingkan mengolah bahan mentah. Mereka kemudian memengaruhi kebijakan sehingga upaya hilirisasi tidak tercapai dengan optimal.
”Ini adalah korupsi dan korupsi itu besar sekali dampaknya bagi pembangunan masyarakat, bagi kualitas hidup masyarakat kita. Jadi, Indonesia ini kalau mau menjadi negara maju, maka harus bisa mengatasi masalah korupsi ini,” ujar Yenny.
Lebih jauh, peningkatan lapangan pekerjaan bisa dicapai apabila pertumbuhan ekonomi tinggi dan memberikan kemudahan izin untuk berusaha. Proses perizinan harus dibuat mudah dan transparan dengan menyediakan sistem berbasis digital untuk memberikan kepastian hukum pada orang yang ingin berinvestasi. Pungutan liat juga mesti dihilangkan karena dapat mengganggu orang untuk berinvestasi.
Baca juga: Gus Muhaimin: Mewujudkan Keadilan Politik dan Kesejahteraan Hidup
”Begitu iklimnya tidak kondusif, orang tiak akan mau berinvestasi sehingga tidak tercipta lapangan kerja baru,” katanya.
Permisif soal korupsi
Menurut dia, korupsi masih terjadi karena masalah kultur dan sistem. Kultur masyarakat Indonesia masih cukup permisif soal korupsi. Hal itu terlihat ketika masyarakat memberikan penekanan lebih ke arah kesalehan di permukaan. Masyarakat juga cenderung menganut patron klien sehingga menjadikan orang di puncak kekuasaan untuk mengayomi orang yang berada di bawahnya.
”Masyarakat kita gampang terlena oleh orang yang kelihatannya saleh secara agama walaupun hasilnya hasil korupsi,” tuturnya.
Ia melihat, ada gap antara religiusitas dan perilaku sosial masyarakat. Di satu sisi, masyarakat dari berbagai latar belakang agama memiliki religiusitas yang cukup tinggi, tetapi tidak diikuti dengan sikap menjunjung nilai-nilai kejujuran. Akhirnya, seolah ada dua kompertemen terpisah antara nilai-nilai keagamaan dan implementasinya.
Bukan hanya itu, politik uang masih belum bisa dihilangkan dari masyarakat. Di setiap pemilu, sebagian pemilih cenderung mengharapkan sesuatu yang berbentuk, nyata, dan instan dari politikus. Pemilih enggan dibohongi oleh janji-janji dan retorika yang sering kali dilupakan setelah pejabat menduduki kursi legislatif dan eksekutif.
Akibatnya, politik transaksional terus tumbuh subur. Sebab, masyarakat tidak terbiasa melakukan negosiasi politik untuk memperjuangan kepentingan masyarakat atau komunitasnya. Dalam berbagai kasus, masyarakat sering ditinggalkan oleh wakil rakyat setelah mereka menduduki jabatan politik. ”Sampai ada istilah, kalau sudah duduk, lupa berdiri,” ujar Yenny.
Begitu ada perpecahan, ada ketegangan, ada konflik, kita enggak bisa bangun. Pertumbuhan ekonomi pasti akan terhambat, investasi pasti akan berhenti. Jadi jangan pakai isu SARA. Kalau sudah pakai isu SARA, pasti akan ada dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi.
Sementara terkait masalah sistem, ia mengingatkan agar seluruh sistem dilakukan secara transparan. Hal itu perlu didukung dengan penguatan institusi hukum dengan mengisinya dari orang-orang yang punya komitmen penegakan hukum. Jika institusi hukum diisi oleh orang-orang yang transaksional, justru yang terjadi adalah penegakan hukum menjadi terkompromi. ”Kalau sudah begitu, yang kuat yang berkuasa. Begitu lemah, enggak akan dapatkan haknya,” katanya.
Tantangan teknologi
Di tengah tantangan global untuk menuju negara maju, ada tiga tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia, yakni teknologi, ekologi, dan ideologi. Terkait teknologi, Indonesia tergolong sangat cepat dalam hal mengadopsi teknologi terbaru. Namun, kecepatan mengadopsi teknologi terbaru itu tidak dibarengi dengan kemampuan berpikir kritis.
Salah satu contohnya, pengguna media sosial jumlahnya sangat besar, tetapi tidak diimbangi dengan akhlak yang baik. Kemampuan untuk memfilter konten-konten masih kurang sehingga orang mudah terprovokasi oleh konten hoaks. Terlebih, orang mudah terprovokasi dan tidak mengedepankan rasional jika diprovokasi dengan isu-isu agama dan politik sehingga memicu perpecahan.
”Begitu ada perpecahan, ada ketegangan, ada konflik, kita enggak bisa bangun. Pertumbuhan ekonomi pasti akan terhambat, investasi pasti akan berhenti. Jadi jangan pakai isu SARA. Kalau sudah pakai isu SARA, pasti akan ada dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Oleh karena itu, ia berharap tidak ada politik identitas dalam kontestasi Pilpres 2024 karena berpotensi menimbulkan konflik. Energi dan biaya yang terkuras untuk mengelola konflik pun sangat besar, yang semestinya bisa digunakan untuk pemerataan ekonomi masyarakat. Akan sangat banyak sumber daya yang terbuang dan mengakibatkan instabilitas nasional.
Di sisi lain, tantangan ekologi dengan adanya perubahan iklim harus ditindaklanjuti karena berdampak pada ekonomi masyarakat. Misalnya, ikan di sejumlah wilayah terus berkurang karena penangkapan besar-besaran dan kerusakan lingkungan. Jika tidak diantisipasi, dalam beberapa tahun mendapat nelayan akan kesulitan mencari ikan.
Sementara soal ideologi, jangan ada saling melekatkan stigma pada satu sama lain. Alih-alih menyatukan kekuatan untuk membangun bersama-sama, masyarakat justru saling menuding sama lain. Bahkan, ideologi mengakibatkan sekat-sekat di masyarakat.
Menurut Yenny, perempuan semestinya lebih banyak dilibatkan di ranah publik untuk memengaruhi kebijakan. Sebab, perspektif perempuan memiliki dampak besar bagi kualitas kehidupan bangsa dan negara. Keberadaan perempuan di eksekutif dan legislatif mampu mendorong kebijakan yang lebih ramah pada perempuan dan anak.
Baca juga: Tuan Guru Bajang: Mimpi Membawa Indonesia Jadi Negara ”Superpower”
Sebagai salah satu tokoh sudah lama malang melintang di dunia politik, Yenny merasa sudah lebih siap secara mental untuk mengisi jabatan publik. Sebab, saat ini putra-putrinya sudah mulai tumbuh dewasa sehingga bisa memahami aktivitas dalam pengabdian kepada masyarakat. Sebelumnya, prioritas Yenny adalah keluarga karena sebagai seorang ibu, ia ingin mendampingi putra-putrinya melewati usia emas.
”Jadi ke depan saya sudah siap untuk terjun lebih aktif di politik Indonesia. Kalau ada kesempatan untuk menduduki jabatan publik ya, insya Allah saya sudah lebih siap saat ini,” kata Yenny.