Presiden: Pemerintah Belum Bahas Rencana Revisi UU Peradilan Militer
Masyarakat sipil terus mendorong pemerintah dan DPR segera merevisi UU Peradilan Militer karena sudah tidak relevan. UU ini juga dinilai memiliki permasalahan norma dan penerapannya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah belum membahas rencana untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, termasuk kajian terhadap UU tersebut. Di sisi lain, masyarakat sipil mendorong pemerintah dan DPR segera merevisi UU Peradilan Militer yang dinilai sudah tidak relevan setelah lahirnya UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Di Gedung Sekretariat ASEAN, Jakarta, Selasa (8/8/2023), Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah belum mendorong revisi terhadap UU Peradilan Militer. ”Belum sampai ke sana (dorong revisi UU Peradilan Militer),” kata Presiden Jokowi dalam keterangan persnya di hadapan awak media.
Saat dihubungi, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pengajuan revisi undang-undang tidak bisa tiba-tiba karena sudah ada jadwalnya. Ia menjelaskan, waktu pengajuan revisi UU untuk diusulkan masuk dalam daftar Prolegnas 2024 adalah pada November. Sebelum ditetapkan, pemerintah dan DPR terlebih dahulu mendiskusikannya di Badan Legislatif.
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Asep Nana Mulyana mengatakan, pihaknya siap membuat kajian terkait UU Peradilan Militer. Namun, sejauh ini belum ada pembahasan terkait revisi UU ini.
Sebelumnya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Mahfud MD sempat memberi sinyal positif terhadap usulan masyarakat untuk merevisi UU Peradilan Militer. Namun, di DPR belum pernah ada pembicaraan terkait revisi itu.
Wacana merevisi UU Peradilan Militer muncul akibat polemik penanganan dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) yang melibatkan Kepala Basarnas 2021-2023 Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto. Penetapan Henri dan Afri sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai protes Pusat Polisi Militer TNI dengan alasan, mengacu UU Peradilan Militer, anggota TNI aktif yang melanggar hukum harus ditangani polisi militer. KPK menyerahkan Henri dan Afri ke Puspom TNI untuk diproses.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani, yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, mendorong pemerintah dan DPR segera merevisi UU Peradilan Militer. Sebab, katanya, UU tersebut sudah tidak relevan setelah lahirnya UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Selain itu, lanjut Julius, UU No 31/1997 juga memiliki permasalahan norma dan penerapannya. Dalam penanganan kasus dugaan korupsi di Basarnas, misalnya, dalih bahwa anggota TNI aktif yang melakukan tindak pidana berada di bawah yurisdiksi peradilan militer menunjukkan adanya eksklusivitas TNI dalam sistem peradilan di Indonesia yang cenderung memperkuat sentimen kekebalan hukum di institusi militer.
Menurut Julius, pernyataan tersebut merupakan kekeliruan dalam pengimplementasian UU No 31/1997. Mengacu pada TAP MPR Nomor VII/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam Pasal 3 Ayat (4) telah diatur secara jelas bahwa ”Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum”.
Ketentuan ini kembali diperkuat dalam Pasal 65 Ayat (2) dan Ayat (3) UU No 34/2004. ”Pasal tersebut seyogianya menjadi sebuah landasan dalam melaksanakan prinsip perlakuan yang sama dan setara di depan hukum,” kata Julius.
Melihat tidak adanya pembicaraan di DPR terkait revisi ini, menurut Julius, harapan satu-satunya ada pada Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu). Perppu tersebut sangat dibutuhkan untuk mewujudkan sistem peradilan militer yang transparan dan akuntabel.
Pemeriksaan saksi
Pemeriksaan saksi untuk tersangka dari pihak swasta dalam kasus dugaan suap proyek pengadaan barang/jasa di Basarnas oleh KPK terus berlanjut. Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan, pada Senin (7/8/2023), penyidik memeriksa empat saksi. Mereka adalah dua pegawai PT Kindah Abadi Utama Saripah Nurseha dan Tommy Setyawan serta dua anggota staf PT Dirgantara Elang Sakti Eka Sejati Suri Dayanti dan Sony Santana.
”Para saksi hadir dan digali pengetahuannya, antara lain, terkait dengan dugaan proses setting-an (pengaturan) untuk memenangkan perusahaan tersangka MG (Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan) dan kawan-kawan ketika mengikuti lelang proyek di Basarnas,” kata Ali melalui keterangan tertulis.
Selain Mulsunadi, KPK juga telah menetapkan tersangka terhadap Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil. Selain itu, lanjut Ali, para saksi juga diperiksa terkait dugaan pemberian uang kepada Henri dan Afri agar proses pengaturan tersebut dapat disetujui.