Buat Salurkan Tenaga Kerja, Cap Imigrasi Palsu Digunakan untuk Peroleh Visa
Cap keimigrasian palsu digunakan ODG, tersangka penyalur tenaga kerja nonprosedural, untuk mendapatkan visa AS bagi sejumlah tenaga kerja. Dengan cap tersebut, diharapkan penerbitan visa memiliki peluang lebih besar.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemalsuan cap keimigrasian digunakan seorang perempuan, penyalur tenaga kerja, ODG (37), tersangka kasus penyaluran tenaga kerja ke luar negeri nonprosedural. Untuk mendapatkan cap itu, setiap calon tenaga kerja harus membayar Rp 11,5 juta sampai Rp 22 juta.
Cap keimigrasian itu digunakan untuk meyakinan otoritas negara tujuan sehingga bisa memperoleh visa kunjungan dengan tujuan agar bisa bekerja di negara tersebut. Modus ini pun terungkap setelah Kedutaan Besar Amerika Serikat melaporkan adanya kejanggalan pada cap keberangkatan dan kedatangan pada 10 paspor pemohon visa Amerika yang diurus oleh ODG.
Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Silmy Karim, Rabu (2/8/2023), di Jakarta, mengatakan, melalui pengujian forensik, cap keimigrasian keberangkatan dan kedatangan sejumlah negara yang dibubuhkan pada 10 paspor tersebut terbukti palsu. Bahkan, tanggal yang tertera pada cap yang dibubuhkan di paspor itu berada pada periode pandemi, di mana banyak negara menerapkan lockdown.
Menurut Silmy, cap keimigrasian itu dibutuhkan agar pemohon visa dipercaya oleh otoritas AS sebagai orang yang telah melakukan banyak perjalanan luar negeri. Dengan demikian, peluang visa AS untuk diterbitkan jauh lebih besar.
”Untuk membuat visa AS, seseorang harus terbukti bonafit atau dapat dipercaya dan telah melakukan banyak perjalanan luar negeri. Namun, cap perjalanan korban itu palsu dan terjadi saat pandemi,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Silmy mengungkapkan, pada salah satu dari 10 paspor itu ditemukan cap keimigrasian keberangkatan dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 9 Januari 2022 dan kedatangan pada 2 Februari 2022. Antara periode keberangkatan dan kedatangan itu, di paspor tersebut juga terdapat cap keimigrasian kedatangan dan keberangkatan ke sejumlah negara, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam.
Padahal, menurut Silmy, perjalanan ke sejumlah negara di Asia Tenggara itu tak pernah terjadi.
Adapun visa kunjungan ke AS diajukan, lanjut Silmy, adalah agar bisa masuk ke negeri Paman Sam. Dengan demikian, pemohon visa yang penerbitan visanya diurus oleh ODG bisa bekerja di sana meski secara ilegal atau nonprosedural.
Dari keterangan para korban diketahui bahwa mereka direkrut untuk bekerja di AS oleh ODG melalui grup media sosial Facebook mengatasnamakan PT MCP.
Penelusuran Kompas pada profil tersangka dan laman resmi PT MCP, ODG sempat memublikasikan penawaran lowongan kerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di salah satu grup Facebook pada 29 Juli 2021. Dalam laman PT MCP juga terdapat komentar text ”bypassing” yang apabila diklik, komentatornya akan dialihkan ke laman ”agent”. Terjemahan bypassing agent berarti agen pelewatan.
PT MCP terdaftar sebagai perusahaan berbadan hukum yang bergerak di sektor konsultan pariwisata. Saat ditanya lebih lanjut mengenai pemegang jabatan lainnya dalam perusahaan, Silmy berkata, ”Sedang kami dalami. Bisa jadi pemilik capnya tidak hanya ODG, bisa lebih dari satu orang (atau berupa sindikat),”
Pemalsuan cap untuk pembuatan visa termasuk dalam kategori tindak pidana penyelundupan manusia (TPPM). Hal tersebut merupakan gerbang untuk menuju tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Lebih jauh, perbudakan modern yang berupa tidak ada kepastian pembayaran upah, penyiksaan, penyekapan, dan lainnya.
Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian I Nyoman Gede Surya Mataram menambahkan, semua korban tidak mengetahui bahwa cap yang dibubuhkan ODG adalah palsu. Saat ini, bukti-bukti, seperti lima paspor korban, satu paspor tersangka, satu buah diska lepas (flashdisk) tersangka, rekening koran BCA atas nama PT MCP dan profil perusahaan telah dikumpulkan.
Atas hal itu, ODG diduga coba menyelundupkan manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian Jo Pasal 53 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) atau Pasal 121 huruf a UU No 6/2011. ODG terancam penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun. Ia juga perlu membayar pidana denda paling sedikit Rp 500 juta dan paling banyak Rp 1,5 miliar.
Sebelumnya, Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani menilai, pengiriman pekerja migran secara ilegal atau nonprosedural sangat berbahaya dan kerap dilakukan oleh sindikat-sindikat. Sebanyak 95 persen dari pekerja migran yang meninggal dan sakit berangkat secara ilegal.
Tiga tahun terakhir, BP2MI mencatat sekitar 2.200 jenazah—sebanyak dua sampai tiga peti jenazah per hari—pekerja migran dipulangkan dari luar negeri. Sebanyak 3.500 pekerja migran pulang dalam kondisi sakit, depresi ringan hingga berat, hilang ingatan, bahkan cacat fisik. Adapula 103.000 pekerja migran dideportasi karena kasus keimigrasian.
Selain itu, Studi Bank Dunia tahun 2017 melaporkan, jumlah pekerja migran Indonesia di luar negeri mencapai 9 juta orang. Padahal, data resmi BP2MI terkini mencatat jumlahnya hanya 4,7 juta orang. Selisih data pun dianggap sebagai warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja secara nonprosedural di luar negeri.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo berpandangan, sindikat penyelundupan dan perdagangan orang bergerak dengan melibatkan banyak pihak. Pihak-pihak itu berperan sebagai perekrut dari negara asal hingga penerima di negara tujuan. Keterlibatan aparat pelayan publik juga sangat memungkinkan dalam rantai penyelundupan dan perdagangan orang.
”Dalam kejahatan penyelundupan dan perdagangan manusia membutuhkan pihak yang mengurus pembuatan dokumen. Pada saat bersamaan, sindikat juga membutuhkan pihak yang bisa mengawal dokumen,” ujarnya.
Sindikat beroperasi secara berjenjang dan terus eksis karena termasuk bisnis yang menguntungkan mereka. Kerugian hanya ditanggung oleh calon pekerja melalui cara-cara yang ilegal.