Perdagangan Orang Sebagai Persoalan Republik
Hingga saat ini proses pengawasan terhadap potensi dan jaringan aktif pelaku perdagangan orang di Batam belum dibuat oleh pemerintah pusat. Belum ada operasi agresif untuk memerangi perdagangan orang.
Batam sebagai pulau dengan otorita khusus punya banyak keistimewaan sejak ditetapkan pemerintah pusat sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
Sayangnya, pulau ini juga menjadi tempat transit korban yang pergi dan pulang ke negeri jiran (Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja). Meskipun sangat terbuka, hingga saat ini proses pengawasan terhadap potensi dan jaringan aktif pelaku perdagangan orang di Batam belum dibuat oleh pemerintah pusat. Belum ada operasi agresif untuk memerangi perdagangan orang.
Untuk itu, perlu ada penyempurnaan aturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2011 tentang Perubahan atas PP No 46/2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam. Perlu ada pasal tersendiri yang mengatur tentang upaya antisipasi perdagangan orang yang memanfaatkan kawasan Batam sebagai kawasan dan pelabuhan bebas.
Kawasan Pelabuhan Batam meliputi Pulau Batam, Pulau Tonton, Pulau Setokok, Pulau Nipah, Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Galang Baru, serta Pulau Janda Berias dan gugusannya. Derasnya kawasan Batam menjadi lokasi perdagangan orang amat terkait dengan liberalisasi kawasan dagang Batam sebagai kawasan dan pelabuhan bebas.
Baca juga : Tindak Pidana Perdagangan Orang yang Terus Berulang di NTB
Baca juga : Indonesia Darurat Perdagangan Manusia
Liberalisasi kawasan perdagangan ternyata juga dimanfaatkan oleh jejaring kriminal untuk melakukan transaksi perdagangan orang, yang sering berkedok ’buruh migran nonprosedural’ atau dikesankan hanya sekadar sebagai penyelundupan orang (people smuggling). Bahkan, di Pelabuhan Batam Center, pos resmi Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) sendiri pernah dipindahkan keluar dari kawasan pelabuhan tanpa alasan yang jelas dari pihak Otorita Batam. ’Kebebasan yang kebablasan’ ini perlu dievaluasi.
Dalam peta jejaring perdagangan orang, Batam mempunyai posisi yang amat strategis dan penting untuk diawasi secara ketat. Batam adalah pintu keluar terakhir para pekerja migran ke negara-negara di kawasan ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Myanmar, dan Kamboja.
Batam sebagai titik transit dan ”re-trafficking”
Sejak 2017, di Batam berdiri Jaringan Peduli Migran, Perempuan, dan Anak Kota Batam. Jaringan ini aktif melakukan berbagai upaya untuk menangani korban perdagangan orang. Dari awalnya terdiri dari tujuh LSM, kini telah berkembang menjadi 13 LSM yang peduli terhadap korban perdagangan orang. Jaringan ini aktif memberikan pendidikan kepada aparat, menangani korban, dan membantu korban dalam proses peradilan.
Dalam tiga tahun terakhir (2020-2022), Shelter Theresia yang dikelola Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Pangkal Pinang telah menangani para buruh migran korban perdagangan orang dari 18 provinsi di Indonesia. Sebagai shelter, kasus terbanyak mereka adalah korban perdagangan orang. Rumah perlindungan ini telah menjadi rujukan dari berbagai pihak, baik dari Polresta Barelang, Polda Kepri, BP2MI, keluarga, maupun LSM atau ormas lain sebagai tempat penampungan.
Secara teknis, kesulitan utama yang dihadapi antara lain (1) kurangnya bukti hukum, (2) lambatnya penanganan dari kepolisian sehingga pelaku kabur dan tak ditangkap dengan cepat, (3) visum yang berbiaya mahal dan hasilnya keluar lama, (4) penetapan UU dan pasal tidak sesuai dengan perkara yang ditangani, (5) korban yang sudah harus pulang ke daerah asal sehingga proses peradilan tidak mungkin ditempuh.
Berhadapan dengan korban yang berasal dari berbagai provinsi jelas tidak mudah. Tanpa koordinasi memadai, hampir bisa dipastikan semua kasus segera menguap. Korban yang telantar biasanya pulang dalam kondisi trauma psikologis dan fisik.
Isu konflik antara pekerja kemanusiaan dan pejabat badan intelijen yang disinyalir menjadi beking pelaku perdagangan orang, yang dititipkan di shelter, juga terjadi. Kondisi ini sudah dilaporkan ke kepala Badan Intelijen Negara (BIN), tetapi reaksi yang muncul justru laporan ke polisi yang menuding ada pencemaran nama baik terhadap oknum bersangkutan.
Oleh karena itu, terkait dengan hal ini, ada beberapa desakan kepada pihak otoritas.
Pertama, Menkopolhukam perlu melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga (K/L) di bawahnya, seperti Kapolri, BIN, dan Kementerian Luar Negeri (cq Ditjen Imigrasi) untuk segera melakukan evaluasi dan penindakan terhadap oknum pejabat di institusi masing-masing di Batam yang terlibat dalam pembekingan terhadap kejahatan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Isu konflik antara pekerja kemanusiaan dan pejabat badan intelijen yang disinyalir menjadi beking pelaku perdagangan orang, yang dititipkan di shelter, juga terjadi.
Kedua, mendesak pencopotan/penonaktifan dari jabatan semua aparat negara yang terlibat secara aktif melakukan pembekingan atas kasus-kasus TPPO di Batam dan pembiaran atas kasus-kasus TPPO di wilayah batas negara (Batam).
Khusus di bagian ini, pemerintah pusat mungkin perlu menambahkan klausal khusus yang mengatur tentang pengawasan terhadap jejaring kriminal pelaku perdagangan orang di kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Otorita Batam.
Ketiga, meminta Menkopolhukam mengevaluasi kondisi rentan di Kawasan Otorita Batam agar perdagangan bebas tidak mengorbankan warga negara dan kemanusiaan kita.
Pemerintah punya maksud baik untuk mengembangkan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas Batam. Namun, setiap rencana tentu butuh evaluasi untuk melihat dampak ikutan dari perdagangan bebas. Termasuk di sini derasnya kasus perdagangan orang, yang memanfaatkan Batam ataupun titik penyeberangan sebagai sasaran korupsi oknum aparat.
Ilustrasi
Refleksi pekerja kemanusiaan
Sebagai pekerja kemanusiaan, penulis memiliki beberapa pandangan terkait penanganan perdagangan orang di Indonesia. Indonesia memang telah meratifikasi Protokol Palermo menjadi UU TPPO No 21/2007. Meski UU ini telah disahkan, secara operasional UU masih jauh dari efektif.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ini amat sulit dilakukan karena sifat penindakan masih sering beririsan dengan UU Ketenagakerjaan yang lebih menekankan pada persoalan administrasi ketenagakerjaan. Salah satu titik lemahnya, dengan model kontrol ini, ada pada infrastruktur kependudukan yang rentan dimanipulasi.
Kedua, dengan meletakkan elemen koordinasi di bawah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, elemen koordinasi lembaga nondepartemental semacam ini juga menjadi lebih sulit.
Rencana Aksi Nasional (RAN) yang diteken Presiden RI pada 22 Februari 2023 pun terasa tidak agresif, lebih menyasar upaya pencegahan dan rehabilitasi semata. Sementara jejaring aktif perekrut perdagangan orang cenderung dibiarkan. Bahkan, sering kali jika ada yang ditangkap pun yang diproses hanya perekrut lapangan, bukan ’kepala gurita’.
Ketiga, elemen koersif dalam counter human trafficking di Indonesia juga sangat lemah. Jejaring kriminal agresif yang memanfaatkan orang-orang miskin pencari kerja tak diperangi secara menyeluruh. Hampir tak terdengar di level Polri kegiatan antiperdagangan orang menjadi agenda utama. Kalah prioritas dibandingkan dengan kegiatan antiterorisme dan antinarkoba, bahkan perang terhadap baju bekas selundupan (thrifting).
Rencana Aksi Nasional (RAN) yang diteken Presiden RI pada 22 Februari 2023 pun terasa tidak agresif, lebih menyasar upaya pencegahan dan rehabilitasi semata.
Harga manusia Indonesia
Perdagangan orang juga bisa dilihat dalam model analisis supply chain tentang harga per kepala berbeda di setiap titiknya. Misal, di tingkat perekrut lapangan (PL), harganya Rp 400.000-Rp 1,5 juta. Di level atas broker besar harganya bisa mencapai Rp 40 juta per kepala. Liputan BBC yang mengangkat perdagangan orang dari Timor ke Malaysia, dengan titik transit di Batam, menjelaskan tentang skema ini (BBC, 3/3/2023).
Tak mudah mengurai dan memotong akar perdagangan orang. Peneliti pun kadang terdiam berhadapan dengan kemiskinan akut yang terjadi di daerah kantong perekrutan di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur.
Data Badan Pusat Statistik pun terasa ’terlalu tinggi’ dan tak menjelaskan buruknya kemiskinan yang jadi faktor pendorong. Misalnya, dalam riset mikro di beberapa desa, jumlah pendapatan uang tunai per kepala keluarga (KK) di kantong perekrutan lebih kecil dari Rp 100.000 per KK.
Di tangan PL yang biasanya adalah orang dekat korban, ’uang sirih pinang’ bervariasi, mulai dari Rp 400.000 hingga Rp 2,5 juta. Jumlah uang ini bukan jumlah yang kecil untuk mereka. Warga yang pergi seolah menjadi tumbal untuk keluarga.
Debt bondage (uang pengikat) semacam ini sekilas bisa dianggap sebagai bentuk simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan untuk kedua pihak, khususnya jika kisah transaksi semacam ini hanya dibaca di wilayah perekrutan atau transit terakhir.
Narasi akhir menjadi lain jika data dari KBRI di Malaysia jadi acuan. Duta Besar RI untuk Malaysia Hermono mencatat ada 4.500 kasus penganiayaan terhadap TKI di Malaysia yang tak terselesaikan (BBC, 2/3/2023), dengan titik lemah pada kejaksaan Malaysia. Kementerian Luar Negeri RI sering kali mengeluh karena aspek pencegahan dalam negeri tak dijalankan maksimal.
Data pencegahan yang dilakukan Dinas Nakertrans NTT yang bekerja sama dengan TNI- AU di Bandar Udara El Tari, Kupang, misalnya, menyatakan, pada 2018 terdapat 1.364 warga yang dicegah Satgas Anti Trafficking untuk berangkat dan 7 persen dari jumlah itu adalah anak-anak.
Adapun data korban yang dilaporkan di Polda NTT pada 2013-2018 hanya 757 orang. Bisa dibandingkan dengan total kasus nasional yang ditangani kepolisian se-Indonesia periode 2015-2019 sebanyak 2.648 korban, sebagaimana dikutip dalam Perpres No 19/2023 tentang RAN Pencegahan dan Penanganan TPPO Tahun 2020- 2024. Dari sini terlihat secara nasional penanganan perdagangan orang memang amat tak memadai, dari sisi SDM ataupun sumber daya finansial.
Pada 2023, data penjemputan jenazah di Kupang, NTT, mencatat 650-an warga dipulangkan dalam peti jenazah dalam tujuh tahun terakhir. Dari angka ini, hanya 2 persen yang dikategorikan prosedural.
Keluhan keluarga ataupun KBRI di Malaysia yang menyatakan tak ada kewajiban kepolisian Malaysia meminta izin atau menginformasikan kepada KBRI tentang pelaksanaan otopsi juga menjadi catatan tersendiri. Sebab, rumor tentang perdagangan organ manusia begitu kencang, tetapi tidak menjadi agenda bersama Interpol. Berdasarkan rumor, organ manusia dari NTT dianggap baik, khususnya ginjal mereka, sehingga menjadi target.
Menjaga Republik, menjaga kemanusiaan
Mengelola negara dengan populasi 273 juta jiwa memang tak mudah. Namun, alasan ini seharusnya tak jadi pembenaran atas ketiadaan kajian para korban perdagangan orang. Dalam bahasa BP2MI sebagian besar dari mereka adalah ’TKI Non Prosedural’. Dalam bahasa Presiden RI, mereka yang meninggal adalah ’warga negara’.
Apa pun sebutannya untuk mereka hingga hari ini, Lemhanas, BIN, atau lembaga strategis negara lainnya tidak mempunyai telaah strategis tentang kejahatan perdagangan orang secara komprehensif.
Setidaknya dua kali dalam pidato Presiden RI Pertama dalam penutupan Konferensi Asia Afrika pada 18 April 1955 menekankan bahwa tanda tertinggi dari moralitas adalah tunduknya segala hal terhadap kemanusiaan. Ia juga memberi penjelasan lebih lanjut, ”Namun, hari-hari ini kita berhadapan dengan situasi di mana kesejahteraan manusia tidak selalu menjadi pertimbangan utama.”
Tantangan RI terkini adalah bagaimana memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi seluruh warga negaranya.
Chrisanctus Paschalis Saturnus Pimpinan Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Pangkalpinang