Panglima TNI Pastikan Dugaan Korupsi di Basarnas Disidik Transparan
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono meminta masyarakat memantau penyidikan dan penanganan kasus suap Kepala Basarnas di Puspom TNI. Terkait itu, Menko Polhukam Mahfud MD pertimbangkan untuk revisi UU Peradilan Militer.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Panglima TNI Laksamana Yudo Margono memastikan penyidikan kasus suap di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas yang diduga melibatkan dua perwira TNI aktif dikerjakan obyektif dan transparan oleh Polisi Militer TNI dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Penempatan tentara di jabatan sipil dan celah munculnya uang komando juga akan dievaluasi.
”Yang jelas TNI tidak melindungi personelnya yang melakukan tindak pidana. Itu pasti akan diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku,” kata Panglima TNI Laksamana Yudo Margono seusai mengikuti rapat yang dipimpin Wakil Presiden Ma’ruf Amin terkait dengan kelaparan di Papua, di kediaman Wapres, Jakarta, Rabu (2/8/2023).
Sebelumnya, KPK menetapkan dua perwira TNI aktif yang ditempatkan di Basarnas sebagai tersangka penerimaan suap di Basarnas, yakni Kepala Basarnas 2021-2023 Marsekal Madya Hendri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto. Namun, keduanya diserahkan ke Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI untuk diperiksa lebih lanjut.
Menurut Yudo, Puspom TNI juga meyakinkan bahwa penyidikan dan persidangan akan berlangsung obyektif dan transparan. ”Saya jamin obyektif karena memang itu sudah kewenangannya. Boleh dikontrol. Kan, sekarang ini di luar enggak bisa disembunyikan,” katanya.
Yudo menambahkan, TNI tunduk pada aturan perundangan. Karena itu, penanganan tersangka personel TNI aktif dikerjakan Puspom TNI. Yudo mengajak masyarakat dan media massa memantau penanganan kasus ini bersama-sama.
Sejauh ini KPK sudah memberikan bukti-bukti dan berkas kepada Puspom TNI untuk kasus yang melibatkan Henri dan Afri tersebut. Hal ini, menurut Yudo, diperlukan supaya penyidikan tak perlu dilakukan dari nol. Namun, untuk memastikan transparansi, media massa dipersilakan memantau seperti selama ini terjadi.
Hingga Kamis (31/7/2023), tim penyidik Puspom TNI sudah menetapkan Henri dan Afri sebagai tersangka kasus dugaan suap barang dan jasa di Basarnas. Keduanya ditahan di Instalasi Tahanan Militer milik Puspom TNI AU.
Afri ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 25 Juli. Saat itu, Afri menerima uang dari Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya Rp 999,7 juta sekitar pukul 14.00 di parkiran salah satu bank di Mabes TNI AL atas perintah Henri.
Berdasarkan pemeriksaan, sejak 2021 hingga 2023, Afri bertugas menerima laporan penyerapan anggaran setiap awal bulan yang memuat data pemenang, judul, nilai, serta progres pengadaan barang dan jasa. Lalu, Afri atas perintah Henri menghubungi rekanan yang telah selesai melakukan pekerjaan dan telah menerima pencairan secara penuh untuk memberikan dana komando.
Mengenai adanya uang komando ini, Panglima TNI mengaku tidak mengetahuinya karena hal ini bagian dari pemeriksaan yang dilakukan KPK dan POM.
Evaluasi uang komando
Dana komando dari pihak swasta ini dikelola untuk operasional Kepala Basarnas. Afri juga melaporkan pengelolaan dana ini kepada Kepala Basarnas. Komandan Puspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko dalam keterangan pers, Senin (31/7/2023) malam, di Jakarta, menjelaskan, Puspom TNI masih menyidik aliran dana komando, baik siapa saja yang terlibat maupun ke mana aliran dana digunakan.
Mengenai adanya uang komando ini, Panglima TNI mengaku tidak mengetahuinya karena hal ini bagian dari pemeriksaan yang dilakukan KPK dan Puspom TNI. Namun, Panglima TNI menegaskan bahwa modus uang komando ini tidak boleh diterapkan.
Pengawasan internal TNI AD, TNI AL, dan TNI AU juga sesungguhnya sudah ada melalui inspektorat jenderal di masing-masing matra. Di sisi lain, setiap enam bulan ada pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Ke depan, lanjut Yudo, modus uang komando dalam kasus suap Basarnas ini akan menjadi bahan evaluasi TNI.
Presiden Joko Widodo mengatakan akan mengevaluasi personel TNI yang memegang jabatan sipil. Hal ini disampaikan Presiden Jokowi seusai meresmikan proyek sodetan Sungai Ciliwung, Jakarta, Senin (31/7/2023).
Kendati demikian, Presiden belum memanggil Panglima TNI terkait hal ini. Hal itu pun dikonfirmasi oleh Yudo. ”Belum, belum. Belum, saya dipanggil, tentunya kita siap untuk evaluasi. Kalau itu memang yang terbaik, melaksanakan evaluasi,” tambah Yudo.
Dengan adanya kasus suap ini, Panglima TNI juga akan mengevaluasi penempatan personel TNI di jabatan sipil. ”Dengan adanya kasus seperti ini, akan kami evaluasi, pasti semua hal yang selalu terjadi seperti ini harus kami evaluasi,” ujarnya.
Di sisi lain, desakan untuk revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer menjadi lebih kuat. Saat ini, mengikuti aturan tersebut, penyidik untuk anggota TNI aktif dan pihak yang berwenang menetapkan personel militer aktif sebagai tersangka adalah Polisi Militer.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, misalnya, mengusulkan adanya revisi UU Peradilan Militer yang dinilai sering menjadi sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili anggota TNI di peradilan umum.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD seusai rapat yang sama mengatakan, usulan ini akan dicatat untuk dipertimbangkan. ”Nanti kami agendakan, kan, sudah ada di Prolegnas, ya, di Prolegnas jangka panjang. Nanti kita bisa bicarakan, kapan prioritas dimasukkan. Saya sependapat itu perlu segera dibahas,” katanya.
Kendati demikian, sepanjang UU No 31/1997 masih berlaku, penanganan tersangka dari personel militer aktif tetap di Polisi Militer. Mahfud menambahkan, Puspom TNI bisa dipercaya untuk menangani kasus dugaan korupsi ini. ”Saya percaya. Nyatanya, kami koordinasi sehari, langsung tersangka,” ujarnya.