Pemerintah Berupaya Pertahankan Lahan PTPN II di Deli Serdang
Pemerintah tengah berupaya merebut tanah PT Perkebunan Nusantara II yang berada di Deli Serdang, Sumatera Utara. Modusnya serupa dengan kasus lain yang memperalat masyarakat untuk memenangkan gugatan tanah di pengadilan.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tanah seluas 464 hektar di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara, kini tengah dipertahankan oleh pemerintah dari klaim sejumlah pihak. Setelah ditelisik, tanah tersebut merupakan aset badan usaha milik negara, PT Perkebunan Nusantara II. Dalam kasus ini, negara berpotensi merugi Rp 1,7 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan, pemerintah sedang berupaya merebut tanah milik PT Perkebunan Nusantara (PT PN) II di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara. Hal ini terjadi setelah PTPN II menemukan bukti pemalsuan terkait Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang pada 20 Desember 1953. Akibatnya, 17 persen aset PTPN II berisiko hilang yang setara dengan Rp 1,7 triliun.
Tanah seluas 464 hektar itu diklaim milik masyarakat dari 234 orang berstatus penggugat sesuai putusan Pengadilan Negeri (PN) Lubuk Pakam. Hal itu diperkuat dengan alas hak Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang pada 20 Desember 1953, sekaligus bukti pada proses gugatan perdata.
Namun, pihak PTPN II kalah dalam kasus perdata itu. Kejanggalan ini baru diketahui ketika akan dieksekusi, pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengatakan tanah tersebut milik PTPN II dan belum pernah ada perubahan.
”Oleh sebabnya, kami menolak dulu eksekusi karena kemudian kami menemukan indikasi tindak pidana. Bahwa para penggugat itu diduga kuat menggunakan surat keterangan palsu,” ujar Mahfud di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (18/7/2023).
Contohnya, ditemukan kesalahan penulisan lokasi perkebunan. Ejaan ”Tandjong Morawa” menjadi ”Tanjung Morawa” serta penulisan ”Tanggal 20 December 1953”, seharusnya ”20 Desember 1953”.
Kemudian, pada 27 Juni 2023, terbit putusan PN Lubuk Pakam yang menyatakan terdakwa yang diduga mafia tanah, Murachman, terbukti tak melakukan tindak pidana pemalsuan Surat Keterangan tentang Pembagian dan Penerimaan Tanah Sawah/Ladang pada 20 Desember 1953.
Masyarakat yang mengklaim tanah tersebut bahkan tak mengetahui letak tanah yang dimaksud.
Jaksa penuntut umum lantas mengajukan kasasi karena terbukti adanya tindak pidana pemalsuan surat yang menjadi dasar hak masyarakat. ”Kami pun terus merasa ini harus dipersoalkan sampai final ke putusan pengadilan tingkat kasasi untuk menyelamatkan harta negara,” kata Mahfud.
Masyarakat yang mengklaim tanah tersebut bahkan tak mengetahui letak tanah yang dimaksud. Dalam proses gugatan perdata, diketahui mereka dimanfaatkan pihak lain atau pemilik modal (pebisnis) yang dijanjikan akan mengantongi kompensasi Rp 1,5 miliar per orang jika gugatannya menang. Temuan ini juga akan disampaikan pemerintah ke Mahkamah Agung.
Secara terpisah, pengajar hukum agraria dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Suparjo, mengatakan, modus mafia tanah secara umum serupa terjadi di berbagai tempat. Ada rangkaian dari orang-orang yang ”berkepentingan”, seperti praktik spekulasi tanah sebagai modus kriminalnya. Selain itu, mereka bersentuhan dengan para otoritas.
Dalam hal ini, tanah-tanah kehutanan dan perkebunan jadi sasaran mafia tanah. Oleh karena itu, pencegahan perlu dilakukan dari internal pemerintah. Sanksi keras dan tegas harus ditegakkan.
”Mereka justru sebagai pemegang amanah atau mandat Undang-Undang Agraria yang di garis depan. (Perlu) dibuat sistem, ya dibuat reward and punishment, bagaimana orang bekerja baik dan tak mengkhianati pekerjaannya,” kata Suparjo.
Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai aset-aset negara banyak hilang melalui model konvensional, seperti yang dialami PTPN II. Ia menganggap, kasus mafia tanah melibatkan oknum-oknum pemerintah. Permasalahan ini terjadi di banyak tempat.