Pengawasan yang lemah di KPK terjadi karena pimpinannya tidak punya spirit integritas yang tinggi. Hal itu terlihat dari pimpinan KPK yang juga melakukan sejumlah pelanggaran sehingga tidak memberikan teladan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyaknya terjadi kasus dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai karena pengawasan di internal KPK lemah. Hal itu tak terlepas dari ketiadaan keteladanan dari pimpinan KPK yang juga kerap melanggar aturan dan etika.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, permasalahan utama dari berbagai pelanggaran pidana dan etika yang terjadi di KPK adalah karena ketiadaan keteladanan dari pimpinan. Ketika pimpinan KPK tidak mempunyai standar integritas yang tinggi, bahkan juga melakukan pelanggaran, pengawasan di internal KPK pun menjadi lemah.
Seperti diberitakan sebelumnya, berbagai kasus dugaan pelanggaran etik dan pidana dilakukan pegawai KPK, seperti pungutan liar, pemotongan uang perjalanan dinas, hingga perbuatan asusila terhadap istri tahanan. Pelanggaran tidak hanya dilakukan pegawai, tetapi juga pimpinan KPK, seperti penggunaan helikopter untuk perjalanan pribadi, berkomunikasi dengan pihak yang beperkara, hingga dugaan penerimaan gratifikasi.
”Pengawasan yang lemah itu terjadi karena pimpinannya tidak punya spirit integritas tinggi. Kalau pimpinannya punya spirit integritas yang tinggi, ya dia ingin memastikan bahwa organisasinya itu dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai integritas yang selama ini diusung oleh KPK,” kata Zaenur saat dihubungi di Jakarta, Jumat (30/6/2023).
Pengawasan yang lemah itu terjadi karena pimpinannya tidak punya spirit integritas tinggi. Kalau pimpinannya punya spirit integritas yang tinggi, ya, dia ingin memastikan bahwa organisasinya itu dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai integritas yang selama ini diusung oleh KPK.
Belum tegas
Menurut Zaenur, Dewan Pengawas (Dewas) dan Inspektorat KPK masih belum tegas untuk menegakkan integritas di KPK. Pada berbagai sidang pelanggaran etik, Dewas tidak tegas dalam menjatuhkan sanksi.
Sebagai contoh, pada kasus terbaru, Dewas hanya menjatuhkan sanksi sedang terhadap pegawai KPK yang melakukan perbuatan asusila terhadap istri tahanan KPK. Itu menunjukkan Dewas tidak dapat menegakkan etika di KPK dengan keras. Akibatnya, wibawa Dewas tidak cukup disegani di internal KPK.
(Integritas) itu dijaga betul, termasuk oleh sesama pegawai dengan mereka saling melaporkan ketika diketahui melakukan pelanggaran.
Zaenur mengatakan, pengawasan oleh Inspektorat di KPK juga tidak berjalan secara efektif. Selain itu, status pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN) membuat kontrol antarpegawai semakin rendah. Sebab, seorang ASN harus patuh kepada pimpinan dan perintah. Itu semakin membuat pimpinan dan pegawai mudah melakukan pelanggaran.
Situasi itu berbeda dengan KPK sebelum periode ini yang mempunyai standar integritas yang sangat tinggi. ”(Integritas) itu dijaga betul, termasuk oleh sesama pegawai dengan mereka saling melaporkan ketika diketahui melakukan pelanggaran,” kata Zaenur.
Bersih-bersih
Ini adalah bentuk dari sinergisitas dari Dewas KPK sebagai pengawas kita dan juga kita sebagai pelaksananya. Dewas melakukan pengawasan, lalu ditindaklanjuti sama kami dan Inspektorat juga mengumumkan sesuatu, lalu ditindaklanjuti oleh kami.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, keterbukaan KPK menyampaikan kasus pelanggaran di internal merupakan bagian untuk bersih-bersih. Transparansi yang dilakukan KPK agar masyarakat bisa mengecek apa yang ada di KPK. Jika KPK menutup-nutupinya, itu perlu dipertanyakan.
Asep menegaskan, KPK tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum, baik di luar maupun dalam KPK. ”Ini adalah bentuk dari sinergisitas dari Dewas KPK sebagai pengawas kita dan juga kita sebagai pelaksananya. Dewas melakukan pengawasan, lalu ditindaklanjuti sama kami dan Inspektorat juga mengumumkan sesuatu, lalu ditindaklanjuti oleh kami,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal KPK Cahya Hardianto Harefa mengatakan, kasus pemotongan uang perjalanan dinas bisa terungkap karena pengawasan yang dilakukan oleh atasannya. Ketika atasan pegawai tersebut melihat adanya dugaan pelanggaran, langsung berkoordinasi dengan Inspektorat.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menambahkan, pengawasan di KPK saat ini tidak hanya oleh Inspektorat, tetapi juga Dewas. ”Tentu ini untuk menjaga marwah dari kelembagaan KPK. Momen bersih-bersih terhadap oknum-oknum yang memanfaatkan situasi saat KPK sedang berupaya menurunkan angka korupsi di negeri ini,” kata Ali.
Ia menegaskan, KPK tidak akan menoleransi perbuatan yang berhubungan dengan pelanggaran etik, apalagi pidana. KPK pasti akan menindak tegas.