MK Diminta Membatasi Masa Jabatan Ketua Umum Parpol
Pembatasan masa jabatan ketua umum parpol dinilai penting karena pemimpin parpol memiliki kekuasaan besar yang dapat melahirkan dinasti dan otoritarianisme.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun menjadi salah satu pilar utama dalam negara demokrasi, partai politik dinilai masih belum menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dari demokrasi itu sendiri. Hal tersebut salah satunya tampak dalam pergantian unsur pimpinan dan pengurus partai politik di mana masih terpusat pada figur atau kelompok atau keluarga tertentu.
Karena itu, sejumlah warga negara yang peduli terhadap kehidupan demokrasi di internal partai politik meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatasi masa jabatan ketua umum partai. Seorang ketua umum idealnya menduduki masa jabatan untuk lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode. Dengan demikian, total masa jabatan seorang ketua umum partai maksimal 10 tahun.
MK diminta untuk memberikan makna baru terhadap Pasal 2 Ayat (1) huruf b dan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Permohonan tersebut diajukan oleh Muhammad Helmi Fachozi, E Ramos Partege, dan Leonardus O Magai, tiga warga negara yang saat ini belum menjadi anggota partai politik tertentu. Mereka berkeinginan untuk memasuki dunia politik dengan menjadi kader partai, tetapi sebelumnya hendak memastikan dahulu masa jabatan ketua umum partai melalui pengujian norma terkait.
Kuasa hukum para pemohon, Zico Leonardo Djagardo Simanjuntak, saat dihubungi, Kamis (29/6/2023), membenarkan bahwa perkara serupa pernah diajukan kepada MK sebelumnya. Akan tetapi, perkara tersebut diputuskan MK tidak dilanjutkan pemeriksaannya karena para pemohon dinilai tidak serius dalam mengajukan pengujian norma pembatasan masa jabatan ketua umum partai. Pemohon hanya menghadiri sidang perdana, tetapi tidak mengajukan perbaikan berkas permohonan setelah dinasihati oleh para hakim. Para pemohon pun tidak hadir dalam sidang kedua dan justru meminta melalui pesan kepada Kepaniteraan MK agar perkara tersebut digugurkan.
Zico mengatakan, gugurnya perkara tersebut lebih disebabkan persoalan teknis. Surat kuasa yang diberikan oleh para pemohon yang berada di Papua telat sampai ke Jakarta. Kini, setelah melalui persiapan yang lebih matang, perkara yang sama diajukan kembali kepada MK.
Dalam permohonannya, ketiga warga yang sudah berumur 17 tahun dan berkeinginan untuk bergabung dengan partai politik menyatakan hak konstitusionalnya dirugikan. Sebab, hak mereka untuk menjadi ketua umum tereduksi sebagai akibat tidak adanya pembatasan atau larangan bagi ketua umum partai politik untuk terus-menerus menjabat sebagai ketua umum.
Selain itu, hak para pemohon untuk menjadi pengurus partai pun terhambat karena ketua umum partai akan lebih mengutamakan orang-orang terdekatnya untuk mengisi struktur kepengurusan sehingga akan membentuk dinasti dalam kepengurusan partai.
Menurut para pemohon, pembatasan masa jabatan pemimpin partai politik merupakan sebuah keniscayaan sebagai implikasi dari peran partai politik sebagai tonggak dan penggerak demokrasi, serta salah satu unsur pelaksana kedaulatan rakyat. Partai politik sebagai tiang penyangga demokrasi perlu menjalankan nilai-nilai dari demokrasi itu sendiri, termasuk di antaranya prinsip pembatasan kekuasaan di internal partainya.
”Menjadi paradoks bilamana status partai politik sebagai tonggak, pilar, dan penggerak demokrasi, tetapi tidak melaksanakan nilai dan prinsip demokrasi itu sendiri,” kata Zico.
Ketiadaan batasan masa jabatan pemimpin partai politik berimplikasi pada kekuasaan yang terpusat pada orang tertentu, mendorong terciptanya keotoritarianan dan dinasti dalam tubuh parpol. Hal itu juga menyebabkan satu figur atau kelompok bahkan keluarga tertentu memegang kekuasaan di tubuh partai dengan begitu panjang.
”Hal ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip konstitusionalisme yang menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dan menghindari excessive atau abuse of power. Limitasi kekuasaan ini dapat dilakukan dengan adanya pemaknaan baru terhadap Pasal 2 Ayat (1) huruf b UU Parpol,” demikian diungkapkan pemohon di dalam berkas permohonannya.
Pemohon menyoroti adanya dua partai besar yang kepengurusannya berkutat pada figur-figur tertentu selama lebih dari belasan tahun. Misalnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Demokrat.
Yang perlu diingat, ungkap pemohon, pemimpin parpol memiliki kekuasaan besar yang dapat melahirkan dinasti dan otoritarianisme. Tak hanya di internal partai, pemimpin partai politik dapat mengontrol anggota DPR dan juga presiden.
”Oleh karena itu, pembatasan masa jabatan pimpinan partai politik menjadi sangat urgen untuk segera diwujudkan,” ungkap para pemohon.
Tak adanya pembatasan masa jabatan ketua umum parpol juga menghilangkan kesempatan tiap anggota parpol untuk berkiprah sebagai pengurus partai. Sebagai organisasi publik yang dikelola dari dan oleh anggota, sudah sewajarnya jika tiap anggota parpol diberi kesempatan yang sama untuk menjadi pengurus dan pemimpin melalui prosedur dan tata cara yang adil dan demokratis.