Implementasi Lemah, Narasi ”Affirmative Action” di Pemilu 2024 Perlu Diperkuat
Implementasi keterwakilan perempuan dalam politik alami penurunan. UU Pemilu telah mengatur setiap tiga bakal caleg terdapat paling sedikit satu perempuan. Namun, KPU malah terbitkan aturan yang merugikan bagi perempuan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Peserta pemilu dan penyelenggara pemilu perlu memperkuat narasi hak khusus sementara atau affirmative actionketerwakilan perempuan dalam politik. Hal ini mengingat implementasi keterwakilan perempuan dalam politik cenderung mengalami kemunduran.
Mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Wahidah Suaib, mengatakan, sejak era reformasi 1998, ada kemajuan dari segi regulasi terhadap keterwakilan perempuan dalam politik. Gerakan masyarakat sipil untuk keterwakilan perempuan berhasil mendorong munculnya pengaturan keterwakilan perempuan dalam politik yang sebelumnya tidak pernah diatur tegas dalam undang-undang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Ia menuturkan, sejumlah regulasi yang mengatur soal pemilu, ada perbaikan dalam pengaturan keterwakilan perempuan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) mengatur komposisi keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Sementara dalam pemilu legislatif, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, daftar bakal calon anggota legislatif memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen. UU tersebut juga mengatur dalam daftar bakal caleg menerapkan zipper system, yakni setiap tiga bakal caleg terdapat paling sedikit satu orang perempuan.
Meskipun dari sisi regulasi ada kemajuan, dari sisi implementasi justru mengalami kemunduran. Komposisi penyelenggara pemilu perempuan dalam dua periode terakhir tidak pernah mencapai 30 persen. Begitu pula komposisi tim seleksi KPU dan Bawaslu yang di beberapa daerah tidak ada keterwakilan perempuan.
Sementara dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, penghitungan jumlah 30 persen perempuan dianggap mundur. Dalam PKPU No 10/2023 diatur, jika dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah. Sementara jika 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas. Akibatnya, ada sejumlah daerah pemilihan yang keterwakilan perempuan tidak mencapai 30 persen.
Meskipun dari sisi regulasi ada kemajuan, dari sisi implementasi justru mengalami kemunduran.
”Di tingkat regulasi memang ada kemajuan, tetapi implementasinya justru mengalami kemunduran,” ujar Wahidah saat diskusi daring bertajuk ”25 Tahun Reformasi, Quo Vadis Keterwakilan Politik Perempuan”, Selasa (20/6/2023).
Dalam kesempatan yang sama, mantan anggota KPU dan DKPP, Ida Budhiati, mengatakan, penyelenggara pemilu dan parpol peserta pemilu seharusnya tunduk pada undang-undang. Oleh karena itu, pembentukan aturan turunan seharusnya tidak boleh bertentangan dengan UU. PKPU No 10/2023 justru tidak berkontribusi meningkatkan representasi perempuan dalam lembaga legislatif.
”Hari ini justru setback ke belakang. Kepastian hukum politik afirmasi yang diatur dalam konstitusi dan UU Pemilu jadi samar, bahkan nyaris tidak terdengar,” katanya.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Diah Pitaloka, mengatakan, narasi-narasi tentang affirmative action atau hak khusus sementara untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen harus ditingkatkan. Sebab, saat ini sebagian besar narasi yang berkembang dalam kontestasi pileg dan pilpres cenderung hanya politik praktis yang kompetitif untuk meraih kemenangan.
Ia khawatir, minimnya narasi mengenai affirmative action membuat publik tidak peduli sehingga ruang keadilan bagi perempuan dalam pemilu terpinggirkan. Padahal, narasi mengenai keterwakilan perempuan mesti diwariskan kepada generasi pemilih yang terus berkembang. ”Dukungan kepada caleg perempuan harus diperkuat agar bisa memenangkan sebanyak mungkin caleg perempuan lolos di parlemen,” tuturnya.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah menilai, parpol sekadar menempatkan aturan kuota 30 persen caleg perempuan sebagai persyaratan administratif untuk mengikuti pemilu. Sementara pada lembaga penyelenggara pemilu, aturan keterwakilan perempuan masih dianggap sebagai imbauan moral. ”Penyelenggara pemilu dan parpol justru mereduksi aturan keterwakilan perempan,” katanya.
Ia mengingatkan, perempuan yang menduduki posisi sebagai penyelenggara pemilu dan anggota legislatif untuk berperan aktif mendorong lahirnya kebijakan yang responsif jender. Dengan demikian, representasinya akan semakin dirasakan publik dan perhatian terhadap keterwakilan perempuan meningkat.
”Jangan sampai publik menilai keberadaan perempuan tidak ada manfaatnya. Ini bisa memukul mundur gerakan peningkatan keterwakilan perempuan,” tutur Hurriyah.