Kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam politik sudah lama digaungkan, tetapi implementasinya belum maksimal. Regulasi juga kurang menguatkan posisi perempuan dalam bidang politik.
Oleh
AHMAD HALIM
·4 menit baca
Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah memilih tujuh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan lima anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) periode 2022-2027. Sayangnya dalam komposisi tersebut, hanya ada satu perempuan, yaitu Betty Epsilon Idroos dan Loly Suhenty, di setiap lembaga KPU dan Bawaslu. Padahal, banyak nama populer yang layak untuk menjadi anggota KPU dan Bawaslu.
Bukan kali ini saja 30 persen keterwakilan perempuan tidak terpenuhi, tetapi sejak tahun 2012 perempuan sebagai anggota KPU-Bawaslu kurang dari 30 persen. Hal ini tentu menimbulkan protes dari para aktivis perempuan, salah satunya anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, yang mengatakan, ”Dalam diri perempuan juga ada keterwakilan daerah, keahlian, agama, suku, organisasi masyarakat, dan lain sebagainya. Kalau mau, dicari irisan terbanyak.”
Protes yang dilontarkan aktivis perempuan tersebut sangat wajar, sebab semua perempuan yang lolos dalam tahapan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR adalah mantan penyelenggara pemilu. Jadi, untuk wawasan kepemiluannya sudah pasti sangat mumpuni, ditambah mereka memiliki inovasi-inovasi untuk pemilu/pilkada serentak di tahun 2024.
Lalu pertanyaannya adalah mengapa kuota 30 persen keterwakilan perempuan tidak terpenuhi? Padahal dalam regulasi sudah mengamanatkan bahwa dalam menentukan komposisi di panggung politik (anggota legislatif dan KPU-Bawaslu) harus memperhatikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan (Pasal 10 Ayat (7) dan Pasal 92 Ayat (11) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum).
Tindakan afirmatif
Sesungguhnya, perjuangan perihal 30 persen keterwakilan perempuan dalam dunia politik sudah ada sejak era reformasi 1998, yakni melalui dorongan kebijakan affirmative action (tindakan afirmatif). Tindakan afirmatif bertujuan agar perempuan memperoleh peluang dan kesempatan yang setara dalam bidang politik.
Dengan perjuangan tersebut, menghasilkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan dalam setiap regulasi. Contoh, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan, pendirian parpol menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan; dan kepengurusan partai tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota disusun dengan menyertakan paling rendah 30 persen keterwakilan perempuan (Pasal 2 Ayat [2] dan [5], dan Pasal 20).
Tindakan afirmatif bertujuan agar perempuan memperoleh peluang dan kesempatan yang setara dalam bidang politik.
Kemudian Undang-Undang Pemilu (UU No 12/2003 dan UU No 10 Tahun 2008, UU No 7/2017 dan UU No 10/2016 tentang Pilkada) selalu muncul frasa 30 persen keterwakilan perempuan. Bahkan dalam Pasal 55 Ayat (2) UU No 10/2008 menerapkan zipper system, yakni dari tiga kursi di suatu daerah pemilihan (dapil) satu kursi harus diisi oleh caleg perempuan.
Penguatan keterlibatan perempuan dalam regulasi di bidang politik juga tertuang dalam Pasal 7 dan 8 International Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (ICEDAW) dan Konvensi Hak Politik Perempuan yang semua menyuarakan bahwa perempuan memiliki hak politik yang sama dengan laki-laki.
Akar masalah
Meskipun demikian, minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam panggung politik selalu tidak terpenuhi. Hal tersebut karena, pertama, ada masalah internal pada diri perempuan. Menurut Murniati (2004:118) perempuan kurang menyadari bahwa dirinya adalah seorang pribadi yang memiliki hak-hal asasi manusia yang sama.
Perempuan memiliki beban kerja domestik; perempuan kurang dapat menerima kekuasaan (yang dipercayakan) dan dalam merebut kekuasaan lebih cenderung mengalah; perempuan kurang mampu mengendalikan emosi, sehingga pemikirannya kurang stabil dan mudah terpengaruh; dan perempuan lebih sering tergantung pada laki-laki daripada hidup secara mandiri; dan perempuan selalu mempertimbangkan dan tergantung pada figur atau karisma pemimpin organisasi.
Sistem proprosional terbuka dalam pemilu/pilkada belum ramah perempuan.
Kedua, sistem proporsional terbuka dalam pemilu/pilkada belum ramah perempuan. Meskipun dalam data KPU jumlah pemilih perempuan lebih banyak daripada jumlah pemilih laki-laki, yakni sekitar 126.000 (perempuan 92.929.422, laki-laki 92.802.671). Namun, karena permasalahan internal yang telah penulis jabarkan di atas, perempuan lebih memilih laki-laki sebagai pemimpin.
Selain itu, pemahaman agama menjadi salah satu faktor mengapa laki-laki lebih dipilih untuk menjadi pemimpin. Padahal, menurut para ulama kontemporer, perempuan tetap bisa menjadi pemimpin dengan prasyarat tidak melakukan hal-hal yang menjadi penyebab kemunduran bangsa dan negaranya, yaitu tidak adanya kompetensi dan kecakapan (NU Online, Muhammad Iqbal Syauqi: Kepemimpinan Perempuan dalam Kajian Hadist).
Ketiga, regulasi yang kurang menguatkan posisi perempuan. Meskipun dalam regulasi sudah tercantumkan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan, faktanya dalam mengajukan calon anggota legislatif, partai politik tidak sungguh-sungguh memiliki komitmen dalam memberdayakan perempuan. Pengajuan tersebut dilakukan hanya demi memenuhi persyaratan saja, tidak lain.
Hal tersebut senada dengan hasil studi Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) tahun 2020 yang menyebut sejumlah faktor penyebab rendahnya keterwakilan perempuan di bidang politik antara lain adalah jaminan regulasi yang masih lemah.
Oleh karena itu, selain meningkatkan pemahaman terhadap perspektif jender di berbagai sektor, jaminan regulasi yang lebih ramah terhadap kaum perempuan harus segera dilakukan, yakni dengan melakukan revisi UU Pemilu. Semoga.
Ahmad Halim, Pegiat Pemilu, Kader PMII DKI Jakarta