MK Diminta Tafsir Ulang Pasal Masa Jabatan Pimpinan KPK
Putusan MK yang memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK diminta diberlakukan untuk periode pimpinan KPK 2023-2028. Salah satu alasannya, hukum tidak berlaku surut.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat (24/5/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi atau MK diminta untuk memberikan tafsir ulang terhadap putusan Nomor 112/PUU-XX/2022 yang memperpanjang masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dari 4 tahun menjadi 5 tahun. MK diminta memberlakukan norma baru dalam putusan tersebut untuk pimpinan KPK periode yang akan datang (2023-2028).
Permohonan diajukan oleh Perkumpulan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang diwakili oleh koordinatornya Boyamin Saiman dan advokat asal Bali, Christophorus Harno. Keduanya menguji Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2022 yang sudah diubah dengan putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022: masa jabatan pimpinan KPK selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Boyamin saat dikonfirmasi Minggu (18/6/2023) mengungkapkan, pihaknya berkeinginan bahwa putusan MK No 112/2022 tersebut diberlakukan untuk periode pimpinan KPK mendatang (2023-2028). Pasalnya, hukum tidak berlaku surut dan tujuan independensi KPK tercapai mengingat sifat masa jabatan pimpinan KPK berbeda dengan jabatan eksekutif dan legislatif.
Menurut dia, secara sosiologis dan psikologis, perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat ini juga tidak tepat. Sebab, dalam penilaian Boyamin, pimpinan KPK saat ini tidak berprestasi, melanggar kode etik, serta tampak terpengaruh oleh kekuasaan politik. ”Sehingga, tidak perlu diperpanjang masa jabatannya dengan cara memberlakukan putusan MK Nomor 112/PUU-XX/2022 untuk periode selanjutnya (2023-2028),” kata Boyamin.
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman di Gedung Badan Reserse Kriminal Polri, Selasa (28/3/2023), di Jakarta.
Sementara itu, bagi Christophorus Harno, perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK saat ini membuat hak konstitusionalnya dirugikan. Ia yang ingin mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK pada periode mendatang harus menunggu satu tahun lagi untuk dapat mengikuti seleksi.
Pada kurun waktu yang hampir bersamaan, salah satu advokat bernama Marion juga mengajukan pengujian Pasal 21 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 16 juncto Pasal 31 UU No 18/2003 tentang advokat. Pasal itu terkait dengan tindakan perintangan penyidikan terhadap tersangka ataupun terdakwa korupsi yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun.
Marion merasa norma tersebut merugikan hak konstitusionalnya, baik sebagai individu maupun advokat. Sebab, pasal tersebut telah dikenakan kepada Stefanus Roy Rening, advokat yang kini menjadi tersangka perintangan penyidikan perkara dugaan korupsi yang melibatkan Lucas Enembe.
Menurut pemohon, Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi tidak sejalan dengan Pasal 16 UU Advokat yang memberi imunitas kepada advokat sehingga tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana ketika menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien dalam sidang pengadilan.
Pengacara Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe, Stefanus Roy Rening, ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan perintangan penyidikan (obstruction of justice) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (9/5/2023).
”Tindakan penyidik APH (aparat penegak hukum) KPK yang menetapkan sebagai tersangka tersebut merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia advokat dalam kedadaan damai, di mana tindakan tersebut secara jelas dan tegas bertentangan dengan UUD 1945,” demikian kata Marion dalam berkas permohonannya.
Ia menguraikan, apa yang dilakukan oleh Stefanus Roy Rening merupakan suatu strategi advokasi dan bukan dengan sengaja merintangi penyidikan sebagaimana dimaksud Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi. Hal serupa juga dilakukan oleh advokat pada umumnya untuk membela kepentingan hukum klien. Advokat pada umum, dan juga Stefanus Roy Rening, sebenarnya tidak memiliki suatu opzet atau dolus atau mens rea untuk melakukan perbuatan dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa.
Oleh karena itu, Marion meminta MK untuk menyatakan Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan konstitusi. Pasal tersebut perlu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Hingga kini, kedua permohonan tesebut belum diregister oleh Kepaniteraan MK. Permintaan tafsir Pasal 34 UU KPK baru didaftarkan pada Jumat (16/6/2023) pekan lalu, sedangkan permohonan Marion baru didaftarkan pada 12 Juni lalu.
ADRYAN YOGA PARAMADWYA
Sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Tambah kewenangan kejaksaan
Masih terkait dengan perkara korupsi, MK juga menerima permohonan pengujian UU No 16/2004 tentang Kejaksaan. MK diminta memperluas kewenangan jaksa agar tak hanya dapat menyidik kasus korupsi, tetapi juga perkara kolusi dan nepotisme.
Perkara diajukan oleh MAKI, Lembaga Pengawasan, Pengawalan, dan Penegakan Hukum Indonesia yang diwakili ketuanya Arif Sahudi, serta mahasiswa Fakultas Hukum Arkaan Wahyu Re A.
MAKI dkk menguji kewenangan kejaksaan menyidik kasus korupsi yang diberikan kewenangannya oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, khususnya pada penjelasan umum (alinea V) dan dipertegas pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Di dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa ”instansi yang berwenang” adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kejaksaan, dan Kepolisian.
UU Kejaksaan, khususnya Pasal 30, juga mengatur kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasar undang-undang. Di bagian penjelasan Pasal 30 Ayat (1) disebutkan, kewenangan yang dimaksud sesuai diatur di dalam UU Pengadilan HAM dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kejaksaan dinilai akan lebih hebat lagi apabila bisa menyidik perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme.