Cegah Dibahas dalam Senyap, Masyarakat Perlu Kawal Isu Revisi UU TNI
Rencana revisi UU TNI perlu diawasi bersama. Sebab, lewat revisi itu, timbul kekhawatiran kembalinya masa Orde Baru. Jika ini luput dari perhatian, perubahan regulasi ini dapat disahkan tanpa sepengetahuan publik.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana perubahan Undang-Undang TNI yang mencuat belakangan ini menjadi pertanda mundurnya demokrasiIndonesia. Masyarakat perlu mengawal rencana tersebut agar tak serta-merta disahkan parlemen tanpa sepengetahuan publik, apalagi jelang Pemilu 2024 ini membuat fokus banyak pihak terpecah.
Peneliti politik, keamanan, dan hubungan internasional di Pusat Penelitian Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Poltak Partogi Nainggolan, menyampaikan, di kalangan anggota DPR, isu reformasi sektor keamanan memang tak ”seksi” dibandingkan pembelian alat utama sistem persenjataan. Alhasil, tak banyak anggota DPR yang membahas soal reformasi sektor keamanan, termasuk mencuatnya isu revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI tersebut.
”Justru dengan kapasitas anggota (DPR) yang lemah, kesempatan dia (TNI) untuk mem-propose ini (Revisi UU TNI). Dia leluasa tanpa di-challenge, apalagi resistensi,” ujar Partogi dalam Diskusi Publik bertajuk ”Involusi Sektor Pertahanan” di Jakarta, Jumat (16/6/2023).
Dalam diskusi itu, hadir pula pembicara lain dari beragam kalangan. Mereka adalah pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Bivitri Susanti; Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf; Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Wahyudi Djafar; serta Deputi Internal Wahana Lingkungan Hidup Indonesia M Ishlah.
Partogi pun mengkritisi DPR yang hampir tak memiliki sikap kritis pada periode terakhir jabatannya. Sebab, isu sektor keamanan dianggap tak menarik, insentif politik tak ada. Komisi I lebih banyak mengomentari soal pemilihan umum dibandingkan fokus isu keamanan.
Dalam draf revisi UU TNI yang beredar, TNI dianggap tak menghormati demokrasi dan tak menghargai supremasi sipil. Sejumlah perubahan bersifat kontroversial, seperti prajurit aktif dapat menduduki jabatan sipil serta anggaran tak lagi di bawah Kementerian Pertahanan, tetapi langsung kepada Kementerian Keuangan.
Partogi pun mengkritisi DPR yang hampir tak memiliki sikap kritis pada periode terakhir jabatannya.
Bivitri Susanti, pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, mengatakan, bahwa saat ini semua pihak tengah memperhatikan dinamika pemilihan umum. Hal ini patut diwaspadai, sebab pemerintah dapat berusaha mengambil kesempatan guna membahas hingga mengesahkan RUU TNI. Preseden buruk ini telah terjadi beberapa kali, seperti UU Mineral dan Batubara yang diproses enam hari serta revisi UU KPK yang diproses selama 13 hari.
”Jadi saya punya kekhawatiran akan ada juga pola curi-curi kesempatan karena RUU TNI ini diinginkan dan sudah lama dibahasnya, tetapi dengan situasi yang seperti sekarang,” katanya.
Penolakan terhadap Revisi UU TNI juga disuarakan Al Araf. Bagi dia, revisi UU itu akan membuka kotak pandora yang mengarah pada rezim dengan politik buruk. Sebab, fungsi TNI akan diperluas seperti pada masa Orde Baru.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memastikan bahwa revisi UU TNI tak akan mencederai reformasi. Sebab, lingkup profesionalitas akan terdefinisikan dengan baik dan pas. Tindakan-tindakan eksesif masa lalu tak akan terjadi karena kuatnya kontrol publik (Kompas.id, 22/5/2023).
Dibahas akhir periode
Jelang akhir masa jabatan DPR, parlemen akan membahas RUU sektor keamanan. Tren ini terjadi sejak 2004.
Wahyudi mengatakan, pada 2004, DPR mengesahkan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004. Setelah itu, bahasan revisi UU Peradilan Militer pada 2009 meski prosesnya akhirnya berhenti karena tak ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Selanjutnya, pengesahan RUU Perubahan Hukum Disiplin Prajurit ABRI menjadi UU Hukum Disiplin Prajurit TNI terjadi pada 2014. Terakhir, pada 2019, mereka mengesahkan UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan.
”Artinya, tahun 2024 menjelang peralihan nanti, hampir pasti akan ada pembahasan RUU terkait sektor keamanan. Pertanyaannya adalah yang dibahas apakah revisi UU TNI atau revisi UU Peradilan Militer?” kata Wahyudi.
Apabila DPR berkomitmen melanjutkan proses demokrasi yang dicapai 25 tahun terakhir, semestinya pihaknya memprioritaskan Revisi UU Peradilan Militer. Apalagi, hal itu juga merupakan janji Presiden Joko Widodo sesuai dengan Nawacita yang digaungkan pada 2014 guna memotong impunitas TNI. Regulasi ini semestinya dapat diwujudkan sebelum periode berakhir karena mayoritas parlemen diisi partai pendukung pemerintah.
Guna mengawal isu ini, maka masyarakat sipil perlu mengingatkan dan menyadarkan DPR. Berbagai dampak bahaya yang ditimbulkan jika UU TNI resmi direvisi. ”Dalam DPR yang bisu, lawan mereka (adalah) masyarakat sipil,” ujar Partogi.
Menurut dia, kecenderungan militer mendominasi pemerintahan ini terjadi pada negara tetangga, antara lain Myanmar dan Thailand. Ketika proses demokrasi telah berjalan baik, pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, justru dikudeta junta militer.
Guna mengawal isu ini, maka masyarakat sipil perlu mengingatkan dan menyadarkan DPR.
Sementara itu, Thailand mengalami kudeta militer sejak 2014 di bawah pimpinan Jenderal Prayuth Chan-ocha yang sekarang menjabat Perdana Menteri (Kompas.id, 17/5/2023).
”Di Indonesia makin memburuk, bukan belajar dari keadaan yang sudah terjadi, seharusnya kita tidak mengulangi ya,” kata Partogi.