Pemilu 2024 Tetap Gunakan Sistem Proporsional Terbuka
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi sistem pemilu proporsional terbuka yang diajukan sejumlah pihak. Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional daftar terbuka.
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan mempertahankan sistem proporsional terbuka sebagai sistem pemilu yang akan diterapkan di dalam Pemilu 2024. MK menolak permohonan sejumlah kader partai dan bakal calon anggota legislatif untuk mengubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup atau coblos partai. Sistem proporsional terbuka dinilai lebih dekat dengan konstitusi yang mengamanatkan bahwa keadulatan berada di tangan rakyat.
”Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan uji materi sistem pemilu proporsional daftar terbuka, Kamis (15/6/2023). Sidang dihadiri delapan dari sembilan hakim konstitusi, yakni Anwar Usman, Guntur Hamzah, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Suhartoyo, Daniel Yusmic P Foekh, Arief Hidayat, dan Manahan MP Sitompul. Hanya hakim Wahiduddin Adams yang tidak hadir karena sedang menjalankan tugas MK di luar negeri.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga hadir di persidangan putusan. Mereka adalah Arteria Dahlan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Habiburokhman (Fraksi Partai Gerindra), Aboe Bakar Al-Habsyi (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), dan Supriansa (Fraksi Partai Golkar).
Uji Materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diajukan pada 14 November lalu. Uji materi diajukan oleh enam pemohon, yakni Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Mereka meminta MK mengubah sistem pemilu proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Mereka menguji Pasal 168 Ayat (2), Pasal 342 Ayat (2), Pasal 353 Ayat (1) huruf b, Pasal 386 Ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 Ayat (2), dan Pasal 426 Ayat (3) UU No 7/2017. Para pemohon mendalilkan bahwa norma-norma di dalam pasal tersebut mengakibatkan pemilu dibajak oleh calon anggota legislatif pragmatis yang hanya bermodal popularitas.
MK menolak dalil-dalil yang diajukan diajukan para pemohon, seperti membuat maraknya politik uang, politik berbiaya tinggi, dan melahirkan korupsi politik. Dalil sistem proporsional terbuka mengakibatkan banyak suara tidak sah karena pemilih kebingungan saat mencoblos serta membuat pemilu menjadi sangat rumit juga ditolak. Begitu pula dalil bahwa sistem proporsional terbuka lebih menonjolkan individu dan mengurangi peran partai politik (parpol) yang dalam UUD 1945 disebut sebagai peserta pemilu juga ditolak.
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengungkapkan, parpol masih memiliki kewenangan untuk recall atau mengganti anggota DPR/MPR dari partainya karena sejumlah alasan tertentu. ”Parpol menjadi satu-satunya pintu untuk menjadi anggota legislatif,” tuturnya.
Majelis juga menolak dalil pemohon bahwa sistem proporsional terbuka membahayakan NKRI dan merusak ideologi Pancasila. Hakim Konstitusi Enny memaparkan, sistem pemilu telah dirancang guna membangun kehidupan demokrasi yang lebih baik. Dalam hal ini, sistem pemilu yang dipagari dengan prinsip-prinsip yang dapat membatasi aktor politik tak merusak ideologi negara, sistemnya tak perlu dikhawatirkan membahayakan. Sejumlah UU telah mengantisipasi hal itu, seperti larangan parpol menganut asas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang diatur dalam UU No 2/2011 tentang Perubahan atas UU No 2/2008 tentang Partai Politik.
Parpol masih memiliki kewenangan untuk recall atau mengganti anggota DPR/MPR dari partainya karena sejumlah alasan tertentu. Parpol menjadi satu-satunya pintu untuk menjadi anggota legislatif.
Dalam pertimbangan putusannya, MK menggunakan penafsiran tekstual atau original intent selain penafsiran sistematis. MK menilai sistem pemilu proporsional terbuka lebih dekat dengan konsep pemilu dalam UUD 1945. Konstitusi mengamanatkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Karena itu, jika calon anggota legislatif (caleg) terpilih ditentukan oleh partai politik, hal itu dinilai mengingkari kedaulatan rakyat.
Kelebihan dan kekurangan
Dalam sidang itu, hakim menjelaskan sejumlah kelebihan dan kekurangan dari tiap sistem proporsional dalam pemilu, baik terbuka maupun tertutup. Tiap model erat dengan implikasi penerapannya.
Menurut Hakim Konstitusi Suhartoyo, sistem proporsional terbuka mendorong caleg untuk bersaing dalam memperoleh suara agar meraih kursi di lembaga perwakilan. ”Hal ini mendorong persaingan yang sehat antara kandidat dan meningkatkan kualitas kampanye serta program kerja mereka,” tuturnya.
Sistem tersebut juga menciptakan kedekatan antara pemilih dan caleg yang dipilih sebab mereka dianggap mewakili kepentingan dan aspirasinya. Selain itu, pemilih dapat menentukan calonnya secara langsung sehingga mereka memiliki kebebasan menentukan calon dari partai politik. Ada pula kesempatan bagi pemilih untuk mengawasi wakil yang dipilihnya.
Meski demikian, sistem proporsional terbuka juga memiliki sejumlah kekurangan. Sistem ini membuka celah adanya politik uang. Proses pencalonan pun membutuhkan modal politik besar sehingga menghambat kandidat yang tak disokong sumber finansial yang cukup.
Selain itu, sistem ini dapat mereduksi peran partai politik serta menghasilkan jarak antara anggota caleg dan parpolnya. Pendidikan politik parpol kepada pemilih menjadi tidak optimal.
Sebaliknya, sistem proporsional tertutup juga memiliki keuntungan dan kerugiannya. Keuntungannya, parpol dapat lebih mudah mengawasi anggotanya. ”Hal ini dapat memungkinkan partai politik untuk memastikan bahwa anggotanya bertindak sesuai dengan kehendak partai politik dan kepentingan kolektif yang mereka wakili,” tutur Suhartoyo.
Majelis hakim MK juga menyampaikan sejumlah hal harus diperhatikan jika di kemudian hari sistem pemilu akan diubah. Pertama, perubahan diharapkan tidak terlalu sering dilakukan demi terwujudnya kepastian hukum suatu sistem pemilu. Perubahan hanya dilakukan dalam rangka menutup kelemahan sistem yang berlaku dan dilakukan saat penyelenggaraan pemilu baru dimulai.
Tak hanya itu, perubahan sistem pemilu ditujukan untuk menjaga keseimbangan peran parpol dan prinsip kedaulatan. Hal yang juga penting adalah perubahan sistem pemilu harus memperhatikan pendapat semua kalangan dan dengan menerapkan partisipasi bermakna.
Pendapat berbedaMeski MK memutus pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, Hakim Konstitusi Arief Hidayat memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).”Saya berpendapat bahwa permohonan pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian oleh karenanya harus dikabulkan sebagian,” katanya.Arief menyampaikan, perbaikan dan perubahan sistem proporsional terbuka yang telah diterapkan dalam empat kali pemilu perlu dilakukan. Sebab, dari perspektif filosofis dan sosiologis, pelaksanaan sistem proporsional ternyata didasarkan pada demokrasi yang rapuh. Para caleg bersaing tanpa etika dan menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih masyarakat.Baca Juga: Menembus ”Belantara” Pemilu dengan Basis Saintifik
Karena itu, Arief mengusulkan agar sistem pemilu diubah menjadi sistem proporsional terbuka terbatas. Namun, dengan pertimbangan tahapan sudah berjalan dan tak mengganggu penyelenggaraan Pemilu 2024, Arief mengusulkan agar sistem proporsional terbatas diberlakukan pada Pemilu 2029. Adapun Pemilu 2024 tetap dapat menerapkan sistem proporsional terbuka.