Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengingatkan pemilih marginal perlu mendapat perhatian dari penyelenggara pemilu.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta penyelenggara pemilu memastikan perlindungan terhadap hak-hak dari seluruh pemilih, terutama kelompok pemilih marginal. Sebab, pemilih marginal, seperti pemilih disabilitas atau pekerja rumah tangga atau masyarakat di daerah terpencil, rentan kehilangan dan kesulitan mendapatkan akses untuk menyalurkan hak pilihnya.
Saat Deklarasi Pemilu Ramah Hak Asasi Manusia di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Minggu (11/6/2023), Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Atnike Nova Sigiro mengatakan, pemilu merupakan sarana mewujudkan hak politik setiap orang yang telah dilindungi di dalam konstitusi. Oleh karena itu, hak untuk memilih dan dipilih harus dapat diberikan kepada semua warga negara, termasuk kelompok pemilih marginal. Setiap warga negara yang sudah memiliki hak pilih tidak boleh mendapatkan diskriminasi untuk menyalurkan hak pilihnya.
Ia mengingatkan, pemilih marginal perlu mendapat perhatian dari penyelenggara pemilu. Sebab mereka termasuk pemilih yang rentan mendapatkan diskriminasi sehingga berpotensi tidak dapat menggunakan hak pilihnya saat pemungutan suara 14 Februari 2024. Kelompok pemilih marginal tersebut, antara lain, pemilih disabilitas, pekerja asisten rumah tangga yang tidak bisa pulang ke daerah saat pemungutan suara, pemilih yang tinggal di luar negeri, serta masyarakat yang tinggal di daerah terpencil.
”Pemilu bukan hanya sekadar persoalan legitimasi kekuasaan politik atau syarat dari sebuah negara demokrasi. Lebih daripada itu, pemilu merupakan salah satu mekanisme penting dalam pemenuhan hak konstitusional warga negara sebagai bagian dari hak asasi manusia,” ujarnya.
Deklarasi Pemilu Ramah HAM diikuti Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja, perwakilan partai politik peserta pemilu, serta pemantau pemilu. Dalam acara tersebut, seluruh kelompok kepentingan pemilu menandatangani deklarasi.
Empat poin yang termaktub dalam deklarasi tersebut adalah menjamin pemenuhan hak pilih kelompok marginal-rentan; menjamin akses yang inklusif terhadap kelompok marginal-rentan; mewujudkan pemilu yang bebas diskriminasi, nirkekerasan, dan adil; serta mewujudkan pemilu yang bebas hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian.
”Keempat poin dalam Deklarasi Pemilu Ramah HAM akan menjadi komitmen bersama dalam mewujudkan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada 2024 yang bebas, berkeadian, serta menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia,” tutur Atnike.
Ia menuturkan, hukum dan perundang-undangan pemilu memang tidak memperbolehkan ada diskriminasi terhadap pemilih. Sebab aturan pemilu telah menjamin tidak adanya diskriminasi terhadap kelompok pemilih. Namun, diskriminasi bisa terjadi karena situasi sosial, terutama kepada kelompok marginal.
Oleh sebab itu, KPU dan Bawaslu harus memperhatikan situasi sosial untuk memastikan tidak ada satu pun pemilih yang mendapatkan perlakuan diskriminatif. KPU mesti memastikan seluruh kelompok pemilih marginal terdaftar sebagai pemilih sekaligus memfasilitasi penggunaan hak pilih agar akses terhadap penggunaan hak konstitusional mereka.
”Komnas HAM mendorong penyelenggaraan pemilu yang tidak manipulatif sehingga hasilnya mencerminkan kenyataan pemilihan yang sesungguhnya, bukan hasil manipulasi suara,” tutur Atnike.
Hasyim menegaskan, KPU berkomitmen memberikan perhatian khusus kepada pemilih marginal. Oleh karena itu, KPU mengidentifikasi semua warga negara yang memiliki hak pilih untuk didaftarkan sebagai pemilih di Pemilu 2024. Termasuk di dalamnya mengidentifikasi pemilih disabilitas, pemilih luar negeri, maupun pemilih yang membutuhkan lokasi tempat pemungutan suara (TPS) khusus. Dengan demikian, KPU bisa membuat TPS yang mudah diakses oleh kelompok marginal tersebut sehingga hak pilih tidak hilang.
”Masih ada problem kultural terkait pendataan pemilih disabilitas karena sebagian masyarakat tidak menginformasikan kepada KPU. Diabilitas dianggap sebagai aib. Padahal kami membutuhkan informasi tersebut agar memastikan TPS bisa diakses oleh pemilih disabilitas,” ucapnya.
Lebih jauh, lanjut Hasyim, ada kelompok pemilih yang terabaikan yang turut menjadi perhatian KPU. Mereka adalah pemilih yang pada hari pemungutan suara tidak berada di tempat TPS terdaftar. Di antaranya adalah pasien dan tenaga kesehatan rumah sakit, mahasiswa, santri, dan pekerja rantau.
Pada kelompok pemilih di rumah sakit, KPU mendata jumlah kapasitas tempat tidur rumah sakit untuk menyediakan surat suara bagi pemilih mengingat jumlah pasien saat pemungutan suara tidak bisa diprediksi. Selain itu, ia mengajak pemilih yang akan pindah tempat memilih untuk mendaftarkan ke KPU setempat hingga seminggu sebelum pemungutan suara agar bisa menggunakan hak pilih di tempat domisilinya saat ini.
Bagja menambahkan, kelompok masyarakat adat yang berpindah dan pengungsi di dalam negeri harus juga menjadi perhatian KPU karena rentan tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Oleh karena itu, KPU harus mengidentifikasi dan memastikan pemilih tersebut agar bisa masuk dapat daftar pemilih tetap (DPT) yang saat ini akan dibuat.