Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, KPU belum bisa merespons isu-isu politik bersifat spekulatif, seperti perubahan sistem pemilu. Sebagai bagian penyelenggara pemilu, KPU melaksanakan tahapan berdasar prinsip hukum.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum tidak ingin berspekulasi mengenai sistem pemilu yang saat ini diuji materi di Mahkamah Konstitusi. KPU tetap melaksanakan tahapan pemilu sesuai sistem proporsional terbuka yang masih berlaku sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, mengatakan, KPU belum bisa merespons isu-isu politik yang bersifat spekulatif, seperti perubahan sistem pemilu. Sebagai bagian dari penyelenggara pemilu, KPU melaksanakan tahapan pemilu berdasarkan prinsip berkepastian hukum. Oleh karena itu, penyelenggaraan seluruh tahapan pemilu masih sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menggunakan sistem proporsional daftar terbuka.
Menurut dia, KPU sebagai pelaksana undang-undang akan menunggu putusan MK terkait uji materi berkenaan dengan sistem pemilu. Sepanjang belum ada perubahan, aturan dalam UU Pemilu tetap akan dilaksanakan. ”Atas dasar prinsip berkepastian hukum, KPU akan menjalankan hukum positif pemilu atau norma-norma yang ada dalam UU Pemilu yang masih efektif berlaku,” katanya di Jakarta, Jumat (2/6/2023).
Atas dasar prinsip berkepastian hukum, KPU akan menjalankan hukum positif pemilu atau norma-norma yang ada dalam UU Pemilu yang masih efektif berlaku.
Dalam melaksanakan tahapan persiapan logistik surat suara pemilihan legislatif, KPU membuat desain surat suara sesuai dengan sistem proporsional daftar terbuka. Desain surat suara yang diperlihatkan saat rapat dengar pendapat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) awal pekan ini pun berisi tanda gambar partai politik (parpol) serta daftar nama calon anggota legislatif (caleg).
”KPU akan menjalankan apa pun putusan MK terkait uji materi sistem pemilu,” ucap anggota KPU, Mochammad Afifuddin.
Siapkan strategi
Lain halnya dengan KPU, sejumlah parpol telah menyiapkan strategi lain untuk menghadapi kemungkinan perubahan sistem pemilu. Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan, PAN akan mengubah strategi pemenangan yang cukup signifikan. Sebab, strategi untuk sistem proporsional daftar terbuka dengan sistem proporsional tertutup sangat berbeda.
Lebih jauh, untuk memenangi pemilu dalam sistem proporsional tertutup, diperlukan penguatan identitas parpol. Sebab, tanda gambar parpol menjadi obyek yang akan dicoblos pemilih, lain halnya dengan sistem proporsional daftar terbuka yang memungkinkan pemilih bisa mencoblos tanda gambar parpol dan nama caleg.
Oleh karena itu, PAN akan memperkuat identitas partai agar semakin dikenal dan dipilih oleh pemilih. Penguatan dilakukan, antara lain, melalui pemasangan alat peraga kampanye secara masif serta menginstruksikan sosialisasi oleh caleg PAN dengan mengedepankan identitas parpol.
PAN akan mengevaluasi bakal caleg yang sudah didaftarkan ke KPU. Penentuan nomor urut akan diubah mengingat salah satu pertimbangan dalam penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut.
Di sisi lain, lanjut Eddy, PAN akan mengevaluasi bakal caleg yang sudah didaftarkan ke KPU. Penentuan nomor urut akan diubah mengingat salah satu pertimbangan dalam penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut. Terlebih, aturan memungkinkan adanya perubahan nomor urut, termasuk perpindahan daerah pemilihan dan lembaga perwakilan meskipun caleg sudah didaftarkan ke KPU.
Selain nomor urut, PAN menyiapkan mekanisme untuk menentukan bakal caleg yang akan dipilih untuk mendapatkan kursi. Mereka akan mengadakan exit poll untuk mengetahui caleg yang paling banyak dikenal dan memengaruhi pemilih dalam memilih PAN. ”Exit poll ini sebagai alat indikasi untuk dijadikan acuan dalam menentukan siapa caleg yang memperoleh suara terbanyak,” tutur Eddy.
Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Noor mengatakan, PBB justru berharap agar sistem pemilu diubah dari proporsional daftar terbuka menjadi proporsional tertutup. Mereka pun terlibat sebagai pihak terkait dalam sidang uji materi di MK untuk ikut mendorong perubahan sistem pemilu tersebut.
”Sistem proporsional tertutup sangat baik untuk demokrasi, kami jauh lebih siap. Namun, jika tetap mempertahankan sistem proporsional daftar terbuka, ya kami sudah pernah dan akan menghadapinya,” ujarnya.
Menurut Afriansyah, PBB sudah mengantisipasi perubahan sistem pemilu dalam pendaftaran bakal caleg ke KPU. Pihaknya menempatkan caleg prioritas dalam nomor urut pertama sehingga berada di urutan pertama dalam penentuan caleg terpilih.
Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) Mahfuz Sidik mengatakan, parpol baru seperti Gelora berharap tidak ada perubahan sistem pemilu di tengah tahapan yang sudah berjalan. Sebab, perubahan itu bisa menimbulkan ketidaktertiban dan mengarah pada kekacauan hukum. Akibatnya, prinsip hukum dalam memberikan kepastian dan ketertiban justru tidak tercapai.
Terlebih, semua parpol sudah mendaftarkan bakal caleg ke KPU yang diasumsikan menggunakan strategi pemenangan dalam sistem proporsional daftar terbuka. Oleh karena itu, ia berharap MK mempertimbangkan situasi ini dan tidak membuat pemilu dalam ketidakpastian akibat perubahan aturan di tengah tahapan. Apalagi untuk partai baru, caleg menjadi tumpuan utama dalam mendapatkan suara karena popularitas partai belum tinggi.
”Sejauh ini, kami masih terus meyakinkan semua caleg Gelora bahwa sistem pemilu menggunakan proporsional daftar terbuka. Kalau nanti, misalnya, MK dengan argumen tertentu memutuskan sistem pemilu tertutup, Gelora berharap putusan itu baru diterapkan di Pemilu 2029,” ucap Mahfuz.
Berpotensi keluar partai
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, parpol yang selama ini mengandalkan caleg untuk memperoleh suara harus memikirkan strategi lain dalam memenangi pemilu legislatif dalam sistem proporsional tertutup. Sebab, nama caleg tidak akan ada di surat suara dan keterpilihannya tidak lagi berdasarkan suara terbanyak. Situasi ini berpotensi membuat caleg yang sudah mendaftar akan keluar, bahkan pindah partai jika tidak ditempatkan di nomor urut pertama.
Di sisi lain, partisipasi pemilih berpotensi menurun karena dalam beberapa pemilu terakhir, caleg menjadi daya tarik pemilih. Mayoritas pemilih datang ke tempat pemungutan suara karena ingin menentukan wakilnya di parlemen sehingga mereka lebih banyak memilih nama caleg dibandingkan tanda gambar partai.
KPU harus melakukan sosialisasi untuk mengajak pemilih tetap tertarik ke TPS agar partisipasi pemilih tidak menurun. Apalagi, pemilih sudah terbiasa mencoblos nama caleg di surat suara.
”KPU harus melakukan sosialisasi untuk mengajak pemilih tetap tertarik ke TPS (tempat pemungutan suara) agar partisipasi pemilih tidak menurun. Apalagi, pemilih sudah terbiasa mencoblos nama caleg di surat suara,” katanya.
Data KPU mencatat, ada kecenderungan pemilih lebih antusias menggunakan hak pilihnya dengan mencoblos nama caleg. Data Pemilu 2019 menyebutkan, dari 16 partai politik peserta pemilu, kecenderungan suaranya lebih banyak disumbang oleh suara caleg dibandingkan dengan suara murni partai politik. Rata-rata suara caleg menyumbang sekitar 70 persen terhadap total suara partai politik.
Menurut Arya, parpol bisa menyiasati ketiadaan nama caleg di surat suara dengan menyampaikan daftar calegnya kepada pemilih. Dengan demikian, pemilih tetap mengetahui daftar caleg yang akan dipilih oleh parpol saat mendapatkan kursi. Strategi ini juga mendorong caleg untuk tetap bekerja keras demi pemenangan parpol sekaligus menarik pemilih tetap datang ke TPS.